Gelenyar Indah

836 Words
Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku. [Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini. "Bulek Ningsih, saya ke toko dulu." "Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan." Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu." Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim membeli pembalut wanita," jawabku cepat setelah terbersit alasan ini. Aku menepuk lengan Bulek dan segera pergi. * "Mbak Lintang kapan pulang?" Pertanyaan yang menyambutku setelah masuk ke mobil luxury MPV yang diparkir di depan toko. Aku tersenyum dan duduk menikmati sejenak kursi yang biasanya aku pakai ini. Mataku terpejam, pelan, sandaran kursi diturunkan. Kebiasaan Mbak Rahmi, saat aku lelah, dia mengatur semuanya termasuk sandaran kursi ini. Setelah beberapa saat terdiam, aku membuka mata. Terlihat mbak Rahmi tersenyum memandangku dan berucap. " Capek? Pulang saja, ya?" Dia menyodorkan jus kegemaranku, jus strawberry. "Belum waktunya, Mbak! Huuft, segarnya!" teriakku sambil meregangkan badan. "Kita mulai kerja sekarang?!" Kami mulai serius bekerja, mendiskusikan tentang laporan dari beberapa manager. Mbak Rahmi mencatat semua yang aku sampaikan di setiap laporan mereka. Setelah itu, aku bubuhkan paraf di bawahnya sebagai penguat bahwa ini adalah perintahku. Ada beberapa even perjamuan, yang seharusnya aku datangi. Beberapa aku tunjuk manager yang bersangkutan, namun ada satu yang harus aku hadiri. "Ini masih satu bulan lagi. Yang ini, saya sendiri yang datang. Tolong diingatkan!" ucapku menunjuk undangan grand opening butik di ibu kota. Yang mengharuskanku datang, karena nama pemilik tertera di sana. Dia sahabatku dulu di kampus, Mahardika namanya. Banyak kenangan indah bersama, kenangan dalam ikatan persahabatan. Sudahlah, itu masa lalu. "Ini BG untuk operasional season ini, dan yang ini untuk operasioal sehari-hari," ucap Mbak Rahmi seraya meletakkan dua lembar surat berharga yang tertera nominal yang cukup besar. Aku baca berkas yang terlampir, anggaran yang diajukan dari divisi produksi dan manager keuangan. Setelah cukup, aku bubuhkan tanda tangan di BG--Bilyet Giro-- ini. Ini dana yang aku kucurkan dari kas besar ke kas operasional. Nantinya, bagian keuangan yang akan mengatur sesuai proposal yang diajukan ini. Di setiap pembayaran suplayer, dana akan dikeluarkan tetap menggunakan BG, dengan otoritas tanda tangan manager keuangan. Sengaja, aku memilih BG dibandingkan cek. Keduanya terlihat sama, namun berbeda pada ketentuan pencairan dana. Cek dapat diuangkan secara langsung berwujud tunai atau cash di bank terkait. Sedangkan, BG tidak bisa diuangkan cash, tetapi dengan pemindahan dana dari rekening nasabah kepada rekening pihak yang namanya tertera. Karena itulah, semua terlacak jelas aliran dana pada laporan bank--rekening koran--yang terbit dari bank. "Selesai!" teriakku kemudian menyeruput minuman kesukaanku. Mbak Rahmi tidak berhenti menatapku dan membujuk untuk segera pulang. "Mbak Lintang, setelah pulang harus masuk salon dan spa," ucapnya sambil memegang tanganku dan mengamatinya. "Segitu parahnya?" Aku mengambil cermin di box perlengkapan. Mobil ini seperti alat tempur, di belakang lengkap beberapa box perlengkapan yang aku butuhkan. Mulai dari sepatu, baju, make-up, bahkan bantal tidur. Semua sudah diatur oleh Mbak Rahmi ini. "Sudahlah, saya harus cepat kembali. Sekitar dua minggu lagi saya pulang. Tolong jaga rumah dan perusahaan. Oya, mana yang aku minta?" Dia mengambil tas kulit lawas berwarna coklat, tas lawas milik bapak dulu. Aku meminta alat tulis dan ponsel bekas yang bisa untuk online. Cukup untuk sekadar menuangkan cerita yang sudah penuh di otakku. Sementara, aku menulis cerpen untuk pengingatkan pembaca bahwa aku masih ada. "Baiklah, terima kasih, ya," ucapku, kemudian memeluk Mbak Rahmi. Terlihat matanya berkaca-kaca saat menatapku. Aku segera berpaling, dan keluar dari mobil. Terlalu lama berbincang dengannya akan memudarkan niatku sekarang. Berlahan, mobil meninggalkan pelataran toko. Aku menatapnya dan akan segera masuk ke toko. "Tutik!" Teriakan dan cekalan di tangan ini mengagetkanku. Hampir saja, aku menendang orang ini. Namun urung, saat kaca helm full face terbuka. Wajah yang sering terlitas di pikiranku, terlihat. Dia Den Langit. Duh! Dia menatapku lekat setelah membuka helm, ada kilatan amarah di sana. Ada apa? "Kenapa kamu masuk mobil orang tadi!" "Saya?" Sesaat aku lupa akan peranku. Duh! Susah sekali kalau mempunyai peran ganda. Aku harus kembali menjadi Astuti. "Ta-tadi ada mbak-mbak yang tanya alamat. Saya cuma kasih tahu saja," ucapku memberi alasan. "Itu sangat berbahaya, Tik! Kalau di dalam sudah ada laki-laki yang menunggu, bagaimana? Kamu dibius dan diculik! Mengerti!" "Tapi, Den ..." Dia memotong ucapku dengan menunjuk telunjuk di bibirnya. "Sudah! Jangan membantah! Kamu ini tanggung jawabku! Saya tidak mau terjadi hal buruk padamu! Ngerti?!" Aku menatapnya, menikmati bentuk kemarahan yang menumbuhkan geleyar indah di hati ini. Termasuk tangan yang masih memegang pergelanganku. Ops! *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD