Bianca mengusap perutnya yang mulai terlihat perubahan. Wajahnya sembab, kedua matanya dihiasi lingkaran hitam. Ia benar-benar kacau. “Makan dulu. Aku sudah siapkan semuanya,” kata Radit yang muncul dari ambang pintu. Bianca tidak bergeming. Tatapannya kosong membuat Radit semakin khawatir. Bukan hanya Bianca yang akan kelaparan, tapi juga janin yang ada dalam kandungan. “Lebih baik aku mati,” kata Bianca membuat Radit tersentak.Ia segera menghampiri Binca, menarik bahu rapuh itu supaya menghadap padanya. “Jangan pernah berpikir seperti itu. Kamu tidak kasihan dengan bayi tanpa dosa yang ada di perut kamu.” Air mata Bianca kembali luruh. “Tapi buat apa?Dia lahir tanpa orang tua yang utuh, terlebih aku tidak tahu siapa ayahnya. Aku tidak akan bisa membesarkan dia seorang diri.” Bia