Rasa Bersalah

1391 Words
Radit meremas stir mobilnya. Suara Kanaya terdengar samar-samar. Ia yakin melihat gadis itu di depan kantornya. Namun, kenapa Kanaya tidak mengatakan apa pun? Pesan yang ia kirim pun tidak dibalas sejak beberapa jam lalu. “Kanaya, lo di mana? Apa lo ada di sini? Kenapa lo nggak langsung ketemu gue?” Pertanyaan itu terus berputar di kepala Radit. Ia meremas stir mobil kuat-kuat sampai   kedatangan Bianca membuatnya rileks kembali. “Maaf nunggu lama. Kamu mau?” Bianca memberikan sebotol jus pada Radit. Dengan senang hati Radit menerimanya, bahkan ia meminum jus itu sampai habis. “Haus?” “Banget. Kamu belanjanya tumben lama.” Radit mulai menjalankan mobilnya meninggalkan mini market. “Terlalu banyak antrean.” Radit tidak bicara lagi. Bianca mulai bercerita tentang temannya. Sesekali Radit mengangguk dan tersenyum untuk menanggapi. Fokusnya hanya tertuju pada Kanaya. Radit merasa sebagai pria jahat karena berhianat pada gadis polos seperti kekasihnya. Nay, maafkan gue. *** Kanaya mengerjapkan matanya berulang kali.  Tubuhnya terasa remuk saat bergerak. Kasur empuk nan mewah yang ia tiduri ternyata bisa membuat tubuh pegal. Kanaya membuka sedikit matanya. Suasana gelap mengelilingi sekitar. Namun, bukan itu masalahnya. Kanaya melihat beberapa pot bunga dan rumput hijau. Di atasnya ada sebuah payung besar warna-warni. Kanaya segera bangun mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ia bingung kenapa bisa berada di luar, lebih tepatnya di kolam renang. Selimut lembut dan tebal masih membelit tubuhnya. Benar saja ia merasa pegal karena tidur di alas yang keras. “Ini pasti ulah Max,” gumam Kanaya. Ia menyibak selimut lembut itu lalu beranjak masuk ke dalam untuk bertemu Max. Pria itu tidak sopan membiarkan tamu tidur di luar. Saat Kanaya mendekati pintu kaca yang menjadi penghubung halaman belakang dan dalam rumah langkahnya pun terhenti. Banyak orang di dalam sana. Lebih tepatnya banyak wanita sedang bersama Max. Tatapan keduanya bertemu. Max mengisyaratkan agar Kanaya kembali ke tempat semula. Tidak ingin ambil risiko, Kanaya pun menurut. Ditatapnya Max sedang bicara dengan salah satu wanita seksi yang bergelayut manja pada lengannya. Max lebih banyak tertawa saat bersama wanita itu. “Cowok kalau lihat yang good looking dikit langsung nyantol. Max sama saja dengan pria lain di luar sana. Untung gue punya Radit yang gak suka memainkan perasaan wanita.” Kanaya semakin rindu pada Radit. Ponselnya hilang jadi tidak bisa berkabar pada pria itu. Kanaya hanya bisa duduk sambil memeluk lututnya. Secarik kertas dari Max di atas meja yang memintanya untuk tidak masuk selama pesta berlangsung. Kanaya tidak bisa berbuat apa. Perutnya mulai keroncongan perlu diisi, tapi pesta itu tak kunjung usai. Kanaya kembali berbaring lalu memejamkan matanya. Berharap ia tertidur dan lupa dengan rasa laparnya. Namun, hal itu gagal. Perutnya mulai berbunyi dan perih. Ia harus mencari cara untuk mendapatkan makanan. Kanaya mulai mencari jalan masuk yang bisa membawanya ke dapur atau tempat lain yang ada di dalam ruangan. Setidaknya ia bisa mendapatkan air atau roti. Setelah cukup lama mencari akhirnya Kanaya menemukan pintu kayu yang menghubungkan halaman belakang dan dapur. Untungnya pintu itu tidak terkunci. Kanaya langsung menyelinap masuk mencari gelas untuk minum. Rasa lega menghampiri kerongkongannya saat air dingin mengalir. Tiba-tiba seseorang memegang pundaknya membuat Kanaya menoleh. Air yang ada di mulutnya seketika menyembur mengenai seorang wanita berambut ikal. “Maaf, gue nggak sengaja,” ucap Kanaya berkali-kali. Wanita itu marah-marah membuat Kanaya panik. Tidak ada tissue di dapur membuat Kanaya mencomot lap kuning yang ada di dekat kompor. Lap ini cukup bersih untuk mengeringkan wajah wanita itu. Bukannya mendapat ucapan terima kasih, Kanaya kembali mendapat cacian. Max dan beberapa rekan wanitanya masuk ke dapur. Mereka segera memisahkan Kanaya dan wanita itu. Max meminta maaf dan meminta pesta perayaan di akhiri. Dengan berat hati para wanita itu pergi, tak terkecuali wanita cantik yang jadi korban semburan Kanaya. “Max, maaf,” ucap Kanaya setelah pria itu menutup pintu. Saat ini hanya mereka berdua yang masih tinggal bersama sisa-sisa pesta yang kacau. Max mendekati Kanaya yang terus berjalan mundur. Tembok di belakangnya membuat langkah Kanaya terhenti. Jantung gadis itu berpacu kencang. Kanaya menundukkan kepalanya ketika Max menatapnya lekat. Ia harus bersiap mendengar bentakan atau kemarahan pria itu. Max mendekatkan wajahnya pada Kanaya. Kedua tangannya mengurung kedua sisi tubuh gadis itu. Napas panas Max menerpa kulit wajah Kanaya. Bisa dirasakan kini bibir Max berada tepat di atas bibir Kanaya. “Apa kau bahagia?” tanya Max dengan suara dingin dan dalam. “Ma-maaf.” Max tersenyum. “Kau harus membayarnya,” sahut Max membuat Kanaya mengulum bibirnya lalu memejamkan mata. Max tersenyum melihat reaksi Kanaya. Ditariknya tangan gadis itu ke dapur. “Sekarang masak makanan khas Indonesia buat saya.” Max menarik kursi untuk duduk membiarkan Kanaya mulai memasak. Sejujurnya Kanaya tidak pandai dalam urusan dapur, tapi semenjak berpacaran dengan Radit kemampuannya lumayan meningkat. Kalau dijabarkan dengan angka mungkin naik sekitar 0,25 poin. Lumayanlah, dari pada jalan di tempat. Kanaya mulai mencari bahan yang bisa diolah. Tidak ada rempah, hanya bawang Bombay dan bawang putih. Sayur yang ada di kulkas juga kebanyakan selada. Kanaya mulai bingung meracik makanan apa yang akan disajikan pada Max. Kanaya melirik ke meja makan. Max duduk santai sembari menatapnya. Pria itu sengaja menyiksa Kanaya yang tidak jago masak. Tanpa sengaja Kanaya melihat sebungkus mie instan kuah di atas kulkas. Ia tersenyum senang. Diambilnya tiga butir telor, daun bawang dan bawang Bombay. Dengan bahan sederhana ini Kanaya bisa membuat makanan lezat. Menurutnya. “Kamu mau buat mie telor ceplok?” tanya Max saat Kanaya membuka bungkusan mie instan. Kanaya tersenyum miring. “Lihat saja nanti.” *** Radit mengenakan kembali pakaiannya. Malam mulai larut dan ia harus kembali ke apartemen. Dilihatnya Bianca yang sudah terlelap terbuai mimpi. “Maaf, Bi, aku harus pulang,” gumam Radit lalu beranjak pergi.Tidak ada kecupan seperti biasanya, perasaan Radit mulai kacau. Suara Kanaya terus terngiang di telinganya. Rasa bersalah terus menghantuinya. Wajah gadis itu pun terbayang setiap saat. Hampir saja Radit keceplosan menyebut nama Kanaya saat bersama Bianca. “Kanaya,” gumam Radit saat teringat sang kekasih. Senyum dan keceriaan Kanaya terekam jelas dalam ingatan. Andai ia lebih berani untuk mengakhiri hubungan dengan kanaya sebelum pindah ke Singapura mungkin wanita itu tidak akan tersakiti. Namun, Radit memilih menjalankan hubungan jarak jauh yang membuat ia sendiri tersiksa. Banyak kejadian yang ia sesalkan termasuk bertemu Bianca. Malam di mana sebuah pesta bersama teman menjadi tempat pertemuan mereka. Hubungan terus berlanjut sampai akhirnya Bianca menyerahkan diri pada Radit. Godaan dari wanita cantik itu tak bisa ditolak. Radit terlalu lemah dengan perasaannya sendiri. Sejak itu ia mulai mengabaikan Kanaya. Ia mencampakan cintanya yang tulus. Menghirup udara segar membuat perasaan Radit jauh lebih tenang. Taksi sudah menunggunya di luar rumah. Radit bergegas masuk. Pikirannya kacau, walau Bianca sempat menghiburnya sebentar tetap saja setelah itu Radit kembali mengingat Kanaya dan rasa bersalahnya. Sampai di apartemen, Radit bergegas ke dapur. Ia butuh sesuatu untuk diminum agar pikirannya lebih tenang. Suara Kanaya terus berdengung. Raut wajah gadis itu masih terkenang. Sekaleng bir menjadi sasarannya kali ini. Radit berharap setelah ini bayangan Kanaya bisa hilang dan berhenti mengusik perasaannya. “Radit.” Suara lembut itu membuat Radit menoleh. Mirna berdiri di ambang pintu menatap putra satu-satunya sedang melamun. Radit tersenyum lalu meminum kembali birnya. “Kamu kenapa? Kok suntuk banget minum?” tanya Mirna sembari mengusap bahu Radit.  “Radit hanya kelelahan. Sebentar lagi liburan, jadi banyak pekerjaan di kantor,” ujarnya. “Tapi kamu senang bukan bertemu Kanaya?” Tubuh Radit menegang. Bagaimana bisa mamanya bicara seperti itu? “Apa maksud mama?” Mirna menarik kursi untuk duduk di samping putranya. “Tadi pagi Kanaya kemari. Dia bilang mau ketemu kamu, terus mama kasih alamat kantor kamu,” jelas Mirna membuat Radit bersandar pada kursi. Ia sangat syok mendengar kenyataan tentang keberadaan Kanaya. “Jadi Kanaya ada di Singapura?” gumam Radit membuat Mirna mengernyitkan dahinya. “Tadi sore kalian belum bertemu?” Radit menggeleng sembari meremas rambut hitamnya kuat. Bagaimana cara ia menjelaskan pada Kanaya nanti. Selama ini bayang-bayang Kanaya di Singapura adalah nyata dan orang yang ia temui di restaurant benar-benar Kanaya, tapi kenapa gadis itu tidak menghampirinya? “Apa mama punya alamat penginapannya?” tanya Radit. Mirna menggeleng. Ia lupa bertanya di mana alamat hotel Kanaya menginap. “Aku mau ke kamar dulu, Ma. Aku mau istirahat, kepalaku pusing,” kata Radit lalu pergi meninggalkan Mirna di dapur. “Anak aneh. Kemarin bilang kangen sama Kanaya, giliran Kanaya di sini malah bingung,” gumam Mirna setelah Radit menjauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD