Sentuhan

1701 Words
“Taraa….”  Kanaya menghidangkan masakan yang ia buat. Telor yang dicampur mie instan ditambah daun bawang dan Bombay lalu dimasak di atas pan kini sudah tersedia di atas meja makan. Max yang melihat hasil karya Kanaya hanya mematung. Inikah masakan yang bisa dibuat Kanaya? Dari sekian banyaknya bahan makanan yang ada di kulkas Kanaya justru membuat olahan mie instan. Max terlalu berekspektasi tinggi pada gadis itu. Ternyata Kanaya tidak sehebat yang ia kira. Kanaya mulai memotong martabak mie telor dan membaginya menjadi dua porsi. Perutnya sudah keroncongan minta diisi. Bau mie instan tercium harum membuat perutnya berbunyi. “Jadi nama makanan ini apa?” tanya Max. “Gue menamainya mie telor rindu ala Kanaya. Lo lagi kangen masakan Indo, ‘kan?” “Iya, tapi ini makanan khas mana?” Kanaya memutar bola matanya. Max kembali cerewet membuat Kanaya jengkel. Ia sudah lapar, tapi Max tidak membiarkan dia makan dengan tenang. “Ini makanan anak kost seluruh Indonesia. Kalau kepepet di tanggal tua biasanya buat mie sama telor. Tinggal makan saja apa susahnya, sih? Kalau mau makanan Indonesia bisa makan di luar.” Kanaya mulai menyantap masakannya. Matanya terpejam merasakan sensasi mie bercampur telor  di dalam mulut. “Ayo cicipi.” Max menggeleng. Ia harus menjaga badannya agar tetap sehat dan bagus. Makan telor dan mie bukan anjuran yang tepat untuknya. Kanaya yang melihat Max menolak makanan yang ia buat sedikit kecewa. Pria itu sama sekali tidak mau menyentuh sendok garpunya. “Makan sedikit, dijamin lo bakalan nagih.” Kanaya mengacungkan sepotong untuk Max, tapi pria itu tetap tak mau makan. Kanaya menyerah. Sampai kapan pun ia tidak akan bisa memaksa Max. Tanpa bicara lagi Kanaya segera menghabiskan makanannya lalu pergi meninggalkan Max yang sejak tadi menatapnya. “Mau ke mana?” tanya Max saat Kanaya berada di ambang pintu. “Mau tidur, capek masak tapi nggak di makan,” sindir Kanaya lalu pergi dari dapur. Max berbalik menatap punggung Kanaya yang mulai menjauh. Ia merasa bersalah dengan gadis itu. Seporsi martabak mie masih utuh di atas piringnya. Penasaran, Max pun mencoba sepotong. Max terdiam merasakan sesuatu yang berbeda. “Lumayan,” ujarnya lalu memakannya lagi dan lagi sampai habis tak tersisa. Max beranjak segera menyusul Kanaya ke kamarnya. Dilihatnya gadis itu sudah terlelap di atas kasur. Max mendekatinya. “Dia terlihat manis kalau sedang tidur,” gumam Max. Namun, ia segera tersadar dari ucapannya. Max segera memalingkan wajahnya menatap jendela. Gorden masih terbuka, ia segera menutupnya lalu kembali menatap Kanaya yang terlelap. Sekarang ia bingung harus tidur di mana. Dua kamar lainnya belum ada tempat tidur, sedangkan ia tidak terbiasa tidur di sofa. Harusnya Max tidak membawa Kanaya ke rumah barunya. “Kenapa saya harus bertemu dengan wanita ini? Menyebalkan sekali,” gumam Max sembari melepas satu per satu kancing kemejanya. Max membuang kemeja putihnya ke sofa. Ia beranjak ke lemari pakaian mengganti celana panjangnya dengan celana pendek. Kebiasaan Max saat tidur tidak menggunakan atasan. Ia menaiki tempat tidur king size dengan gerakan pelan agar Kanaya tidak terbangun. Max berbaring sedikit jauh dari Kanaya. Semoga saja besok pagi gadis itu tidak menuduhnya sembarangan.  Baru saja Max memejamkan mata, tangan Kanaya kini sudah memeluk pinggangnya. Max berusaha menyingkirkan tangan gadis itu. Namun, Kanaya kembali memeluk Max, bahkan kini kakinya ikut ambil peran menimpa kaki Max. Dalam sekali tarikan napas Max pun memutuskan membiarkan Kanaya memeluknya. Lagi pula bukan dirinya yang memeluk Kanaya. Max memiringkan tubuhnya membelakangi Kanaya. Bukannya menjauh, Kanaya justru mendekatkan tubuhnya pada Max, memeluk pria itu semakin erat. “Jangan pergi. Gue cinta sama lo,” gumam Kanaya membuat Max terdiam. “Tidur saja mengigau.” Max berusaha mengabaikan Kanaya. *** Radit terlihat sangat kacau pagi ini. Lingkaran hitam di sekitar matanya menandakan bahwa semalam ia hampir tidak tidur. Pikirannya tertuju pada Kanaya dan Bianca. Siapakah di antara dua wanita itu yang akan ia pilih nantinya? Radit meremas kuat rambut hitamnya. Sudah lebih dari tiga puluh menit ia terdiam dekat jendela menunggu matahari menyingsing. Ingatannya kembali saat di mana Kanaya menyatakan cinta padanya. “Nay, kenapa lo nyiksa gue seperti ini? Kenapa lo nyusul gue ke sini, Nay?” tanya Radit entah pada siapa. Hatinya sakit. Ia tidak akan sanggup melihat Kanaya terluka. Gadis itu terlalu baik untuk disakiti. “Gue memang bukan pria baik buat lo.” Radit berjongkok memegangi kepalanya yang mulai berputar. Karena bir yang ia minum semalam kini kepalanya mulai berdenyut. Bekerja dalam keadaan kacau seperti ini sama saja mencari masalah. Radit segera menghubungi temannya untuk memberitahu bahwa dia sakit.  “Dit, ada Bianca di luar,” teriak Mirna. Radit segera naik ke tempat tidur, menutupi tubuhnya sebatas d**a. “Aku tidak bisa keluar, Ma. Kepalaku pusing,” sahut Radit. Mirna segera membuka pintu kamar Radit yang ternyata tidak dikunci. Mirna sangat cemas melihat wajah Radit agak pucat. Ia segera memeriksa keningnya. Beruntung suhu tubuh Radit tidak panas. “Kamu istirahat saja, ya, Sayang. Nanti mama yang akan bilang ke Bianca kalau kamu sakit.” Radit mengangguk lemah. Saat ini ia tidak mau melihat Bianca atau juga Kanaya. Ia harus menenangkan diri terlebih dahulu. Mirna beranjak keluar dari kamar Radit. Belum sempat Radit bernapas lega kini ia harus bertemu Bianca. Wanita itu terlihat khawatir dengan keadaan Radit. “Kamu baik-baik saja?” Bianca menggenggam tangan Radit. Namun, pria itu segera menarik tangannya. “Aku hanya butuh istirahat. Bisakah kamu pergi?” Bianca terlihat kecewa. Ia merasa diusir. Tanpa bicara lagi Bianca pergi dengan langkah terhentak kesal. Biarlah  untuk saat ini gadis itu marah. *** Kanaya tersenyum dengan mata terpejam. Dalam mimpinya ia sedang memeluk Radit. Mereka bertemu di sebuah taman bunga. Kanaya sangat merindukan Radit hingga memeluk tubuh kekar itu erat. “Radit,” igau Kanaya membuat Max mulai terusik. Pelukan Kanaya semakin erat. Belitan kakinya membuat Max sulit bergerak. Rasa kantuk yang terlalu berat membuat Max tetap tertidur meski Kanaya mulai meraba tubuhnya. Kanaya tersenyum sesekali memajukan bibirnya. Tangannya tidak pernah berhenti mengusap d**a bidang Max yang tanpa atasan. Kanaya mulai menciumnya membuat Max geli hingga membuka sedikit matanya. Max berusaha menjauhkan kepala Kanaya dari badannya, tapi pelukan Kanaya yang erat membuat Max sedikit sulit melepaskannya. Dalam mimpi Kanaya sedang berbaring di atas rerumputan hijau bersama Radit. “Bisakah kau menyingkir?” gumam Max mencoba melepaskan diri dari pelukan maut Kanaya. Sepertinya Kanaya masih terbuai dalam mimpinya sehingga suara Max tak terdengar sama sekali. Kanaya terus mencium d**a bidang Max sampai pria itu membuka matanya lebar-lebar. Rasa geli saat bibir Kanaya menyentuh biji kacangnya. Perlahan mata Kanaya mulai terbuka. Ia merasa aneh dengan sesuatu yang ada di mulutnya. Kecil dan keras, Kanaya mencoba menggerakkan lidahnya. “AAAAA!” teriak Max membuat Kanaya sadar sepenuhnya. Max segera duduk sedikit menjauh dari Kanaya. Pria itu menyilangkan tangannya membuat Kanaya tersentak. “AAAAA!” kini giliran Kanaya yang berteriak histeris. Sadar akan apa yang baru saja ia lakukan membuat Kanaya malu. Dulu ia pernah salah mencium orang dan sekarang ia mengulum biji kacang seorang pria. Nasib buruk apa lagi yang akan menimpanya. “Kenapa lo nggak memakai baju?” tanya Kanaya dengan nada tinggi? Kanaya menjauhi Max. Ia menggunakan bantal sebagai pelindung sementara Max kini melilitkan selimut ke badannya. “Aku sudah terbiasa tidur tanpa atasan. Kamu kenapa mencium ‘itu’?” tanya Max membuat wajah Kanaya memerah. Kanaya menutup wajahnya dengan bantal. Rasa asin masih ia rasakan. “Aku yakin kamu pasti bermimpi jorok,” tuduh Max. “Gue nggak bermimpi jorok,” sahut Kanaya. “Terus kenapa kamu hisap-hisap punya saya segala?” Kanaya terdiam. Ingat akan mimpinya berciuman dengan Radit di suatu tempat yang tak dikenal. Bagaimana cara ia menjelaskannya pada Max tentang mimpi itu. Max bisa saja menganggap kalau Kanaya adalah wanita m***m atau mungkin dia tidak akan percaya. Kanaya terdiam sembari menundukkan kepalanya. Ia bingung menjelaskan situasi ini. “Harusnya kamu tidak di sini,” gumam Max. Pria itu segera turun dari tempat tidur. Ia bergegas ke kamar mandi untuk menghilangkan jejak air liur Kanaya di dadanya. Setelah Max masuk ke kamar mandi Kanaya segera keluar dari kamar. Ia harus mencari cara untuk meminta maaf pada Max. Bisa-bisanya ia mencium benda kecil itu. Mengingatnya membuat Kanaya histeris sendiri. “Kanaya kenapa lo nggak pernah beruntung, sih, Nay?” gumamnya. Kanaya segera  pergi ke dapur. Mungkin dengan membuat sarapan Max akan memaafkannya. Bermodalkan ingatan yang samar-samar akhirnya Kanaya bisa membuat pancake dengan topping madu. Ia tidak tahu apakah Max akan suka atau justru tidak akan makan seperti semalam. “Apa salahnya usaha,” gumam Kanaya menyemangati diri sendiri. Bau parfum bercampur sabun tercium dari hidungnya. Max berjalan mendekati Kanaya membuat gadis itu semakin gugup. Pria itu terlihat semakin tampan dengan rambut setengah basah. Kanaya hanya mampu menelan ludahnya ketika jarak mereka semakin dekat. “Gu-gue sudah buat sarapan buat lo.” Max melirik sarapan yang Kanaya maksud. Tiga buah pancake yang disusun rapi dan disiram dengan madu. Tatapan Max kembali pada Kanaya. Inilah saatnya ia menerima kemarahan Max. Sorot mata pria itu sangat dingin membuat Kanaya menggigil, tangan dan kakinya gemetar. Tanpa diduga Max malah duduk di kursi lalu menyantap sarapannya. Jantung Kanaya berdegup kencang saat potongan pertama pancake berhasil menyentuh mulut Max. Susah payah ia menelan ludahnya saat Max tak kunjung mengunyah. Apa dia akan memuntahkan makanan itu atau justru…. Max menikmatinya. Kanaya terdiam saat potongan kedua, ketiga dan seterusnya berhasil mendarat di mulut Max, tanpa ada komentar pedas. Kanaya bersyukur kalau Max menyukai pancake yang ia buat. “Pancake-nya asin,” komentar Max setelah menyelesaikan sarapannya. Kanaya mengernyit tidak percaya dengan apa yang Max katakan. “Kalau asin kenapa lo makan sampai habis?” tanya Kanaya. Max menatapnya. “Kalau tidak percaya coba saja.” Kanya memotong pancake yang masih sisa. Belum juga dikunyah rasa asin itu sudah terasa. Kanaya tersenyum kaku. “Asin,” ujar Kanaya membenarkan ucapan Max. Pria itu tersenyum miring. “Tapi kenapa kamu memakannya sampai habis?” “Pancake makanan kesukaan saya, tapi kamu menghancurkan rasanya. Sama seperti kamu menghancurkan hari saya,” ucapnya. Max mendorong kursinya, ia berdiri menjulang di depan Kanaya. “Ayo, kita ke kantor polisi.” Kanaya menggeleng. Apa Max bermaksud memenjarakannya karena ia sudah melakukan pelecehan? Bagaimana Kanaya akan bicara pada keluarganya nanti kalau ia di penjara. Kanaya memegang tangan Max, ia bersimpuh memohon agar tidak dibawa ke kantor polisi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD