Langit Merindu

998 Words
Cuaca Bandung malam ini begitu dingin, hembusan angin seolah dapat menusuk langsung hingga ke dalam tulang. Hujan baru saja berhenti beberapa jam yang lalu, menyisakan sisa genangan air di jalan. Terlihat Langit yang sudah lima kali mondar-mandir di depan rumah Gadis, hari ini Langit sulit sekali menghubungi Gadis. Padahal biasanya, hari Minggu seperti ini adalah jadwal mereka berdua untuk berlari pagi. "Kemana perginya dia?" ucap Langit, menggigiti kuku tangannya. Ia tidak berani untuk bertanya ke dalam, karena mobil milik papa Gadis masih terparkir di garasi. Tak selang berapa lama, sebuah mobil berwarna hitam melewati Langit dan berhenti di depan rumah Gadis membuat Langit segera mencari tau siapa yang turun dari mobil itu. Benar saja, sosok Gadis turun. Wajahnya terlihat begitu lelah. "Gadis!" panggil Langit menghampiri Gadis yang baru saja menutup pintu mobil. "Kamu baru pulang? Dari mana? Itu siapa?" "Langit? Sedang apa kamu di sini? Anginnya kencang, kamu tidak masuk ke dalam? Itu taxi online" Gadis balik bertanya. Ia meraba lengan Langit. "Uh ... dingin sekali badanmu, pulanglah! Aku juga akan beristirahat" ujar Gadis menepuk pundak Langit. Namun tidak ada pergerakan dari tubuh Langit saat ini, membuat Gadis kembali menghampiri Langit. "Ada apa?" "Kamu sama sekali tidak menjawab pertanyaan ku" Gadis tertawa, ia menepuk-nepuk pipi Langit dengan kedua tangannya. "Ah menggemaskan!!" ucap Gadis. "Aku baru pulang dari Dufan, ini acara dari tempat les" jelas Gadis, ia memijat pelan pundaknya. "Badanku juga sakit semua" Kini Langit tersenyum, ia mengacak-acak rambut Gadis. "Bisa kita makan dulu? Aku belum makan, cacing diperutku kasihan" ajak Langit menunjuk perutnya. "Ayolah Langit, aku lelah ... kita bisa besok makan bersama ya di kantin sekolah. Aku harus tidur, kamu tidak lihat mobil siapa yang terparkir" tunjuk Gadis dengan gerakan matanya. Langit mengerucutkan bibirnya, "Baiklah aku pulang ... istirahatlah yang cukup. Besok kita berangkat ke Sekolah bersama!" pesan Langit. Gadis mengangguk setuju, ia mengacungkan ibu jarinya. "Siap, jangan terlambat ya ... aku tidak mau berlari-lari untuk mengejar angkot!" pesan Gadis. "Aih ... menggemaskan" cibir Langit mencubit pipi Gadis. "Coba saja kamu seperti ini di sekolah, aku yakin laki-laki mana yang tidak akan tertarik" oceh Langit yang segera mendapat tonjokan di lengannya. "Diam lah!! Sana pulang!!" usir Gadis mendorong tubuh Langit. *** Bela menatap Gadis yang sedari tadi begitu sibuk mengerjakan PR Matematika. Wajahnya terlihat amat serius saat ini. "Gadis" bisik Bela, "Itu pekerjaan rumah, kenapa kamu kerjakan sekarang?" tanya Bela heran. Gadis melirik Bela, ia menaruh pulpennya. "Jika aku menyukainya, kenapa harus ku tunda?" tanya Gadis, membuat Bela sedikit ketakutan. Melihat ekspresi Bela saat ini, Gadis merasa tidak enak. Ia bukan bermaksud untuk membentak Bela, namun intonasi dan nada bicaranya memang sulit untuk ia kontrol. "Maaf Gadis, aku memang terlalu banyak bicara ya. Aku ke toilet dulu" ujar Bela, menutup bukunya lalu bangkit meninggalkan Gadis di dalam kelas sendirian karena ini adalah jam istirahat. Gadis berpikir sejenak, sepertinya ia harus meminta maaf pada Bela. Hingga akhirnya Gadis memutuskan untuk mencari Bela di kamar mandi. Betapa marahnya Gadis saat melihat beberapa kakak kelas yang tengah mempermainkan Bela dengan mengambil kacamatanya. "Apa yang kalian lakukan, hah?" teriak Gadis memukul keras pintu kamar mandi. Membuat beberapa kakak kelas disana terhenyak. Gadis menghampiri salah satunya, ia merebut kacamata milik Bela. "Apa kejadian di kantin waktu itu tidak membuat kalian kapok?" tanya Gadis menatap lekat kakak kelasnya ini. "Aku tidak ada urusannya denganmu! Lagipula apa untungnya kamu membela si cupu ini? Apa kegalakkan kamu sekarang berubah menjadi ibu peri penolong?" goda Lulu tersenyum picik. Gadis terkekeh, "Apakah ada ibu peri yang bisa menjambak rambut lawannya hingga putus? Mari kita coba" ujar Gadis melangkahkan kakinya mendekati tubuh Lulu. Lulu merasa terancam saat ini, "Ternyata benar, selain pemarah kamu juga sedikit gila!" teriak Lulu, berlari keluar kamar mandi diikuti beberapa temannya. Gadis menatap Bela yang terlihat masih ketakutan. "Pakai kacamata mu, kamu adalah orang pertama yang membuatku harus ikut campur dengan masalah orang lain!" gumam Gadis, menarik tangan Bela keluar dari kamar mandi. Kini Gadis berjalan menuju kantin sambil merangkul Bela, ia berusaha sesantai mungkin berjalan bersamaan. "Gadis!!" teriak Langit, ia segera menarik lengan Gadis. "Aku lapar dan kamu membuatku hampir mati mencarimu!" gerutu Langit. Gadis melirik sinis Langit, "Lepaskan! Jangan membuatku menghajarmu disini" gumam Gadis kesal. Langit hanya terkekeh, "Ayo kita makan!!" ajaknya lagi menarik lengan Gadis. *** Dalam perjalanan pulang Gadis terus terdiam, itu membuat Langit kebingungan. "Apa yang terjadi? Ini hanya kita berdua, kenapa diam saja?" tanya Langit kesal, ia menggoncangkan tubuh Gadis. "Aku memikirkan Bela" jawab Gadis datar. "Sepertinya aku harus mengubah penampilannya" tambahnya lagi, ini malah semakin membuat Langit bingung. Gadis terus menyusuri trotoar, pikirannya entah berada dimana dan itu membuatnya tersandung batu besar yang membuatnya jatuh tersungkur. Langit yang melihatnya hanya bisa terdiam, "Aww ..." rintih Gadis, "Kenapa kamu diam saja? Aku terjatuh!" teriak Gadis, Langit tersadar dan tertawa melihatnya. "Bagaimana bisa wanita galak ini merengek ketika terjatuh?" kekeh Langit, memberikan uluran tangannya pada Gadis. Gadis meraih tangan Langit namun sayang saat ia mencoba berdiri, kakinya tak mampu menahan tubuhnya hingga kembali terjatuh. "Kamu benar-benar terluka?" Langit menjadi panik, ia membungkukkan tubuhnya melihat kondisi kaki Gadis. "Ya ampun berdarah! Dasar bodoh!" ucap Langit segera berjongkok di hadapan Gadis. Gadis melihat tingkah aneh Langit, "Sedang apa kamu? Ayo bantu aku bangun!" pinta Gadis manja. "Cepat, naiklah ke punggungku. Sebentar lagi komplek kita, tidak akan ada yang melihat!" perintah Langit. "Benarkah? Kamu kuat?" tanya Gadis memastikan. Langit mendengus, ia mengubah posisi tasnya menjadi di dadanya. "Ayo Gadis, atau kaki kamu akan mengeluarkan banyak darah!!" Dengan terburu-buru Gadis segera memeluk tubuh Langit dari belakang. Kini Langit mencoba bangkit sambil menggendong Gadis di punggungnya. "Lihat, aku semakin kuat bukan?" ucap Langit bangga, ia mulai berjalan. Sedangkan Gadis, melingkarkan lengannya di leher Langit. "Dasar ceroboh, bagimana jika kakimu ini terkilir!" Gadis tersenyum, ia merasa kembali pada masa kanak-kanak ketika Langit menggendongnya disaat dirinya menangis karena terkena permen karet pada roknya. "Langit, apa yang kamu rasakan padaku?" tanya Gadis tiba-tiba. Langit terdiam, detak jantungnya seolah berdetak tak karuan ketika Gadis bertanya hal ini. "Apa maksudmu?" tanya Langit berlaga bodoh. "Hahaha ... aku hanya bercanda!" ucap Gadis, "Tapi sepertinya Bela menyukaimu, dia selalu bertanya. Langit dimana? Kenapa Langit tidak datang ke kelas? Sampai aku saja muak mendengarnya" cerita Gadis dalam gendongan Langit. "Memang susah jika mempunyai wajah tampan sepertiku" Gadis berpura-pura muntah, sambil menyentil telinga Langit. "Diam lah, kata-kata mu tadi sangat menjijikan!" umpat Gadis mempererat pelukannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD