“Sayang, sebaiknya kamu pulang,” kata Prima ditengah-tengah kebingungan sang istri dan para anak buahnya yang mendadak canggung dan sadar bahwa Prima selama ini membohongi istrinya soal lembur. Meski tahu bahwa hal barusan bisa dijadikan perdebatan dan bertanya lebih lanjut soal fakta yang sebenarnya disembunyikan oleh Prima, Mira tetap diam dan menuruti perintah sang suami untuk pulang. Bagi Mira, ia tak perlu bertindak gegabah, apalagi di depan perempuan selingkuhan sang suami, ia tak mau menjadi panggung di depan perempuan itu yang nantinya akan membuatnya merasa bahwa hubungannya dengan Prima akan segera berakhir.
“Mas gak bisa,”
“Aku tahu, mas,” jawab Mira cepat dengan senyuman. Prima nampak canggung, ia sudah kepalang basah berbohong soal lembur di akhir pekan di hadapan Mira karena kecerobohan salah satu anak buahnya, dan ia tak bisa punya alasan tepat sekarang ini.
“Kita nanti bicara di rumah,” jawab Prima dan Mira mengangguk saja, baginya apapun alasan Prima yang akan diungkapkannya nanti itu tidak akan membuatnya mudah percaya lagi. Prima telah menggores luka di hatinya diam-diam, membuatnya kebingungan menyembuhkan lukanya sendiri tanpa tahu kenapa. Sekalinya ia tahu kenapa sampai terluka, luka itu bukannya membaik, melainkan makin terbuka lebar.
Mira berbalik dan berjalan keluar dari tempat kerja sang suami. Hatinya carut marut kali ini, sudah jelas waktu libur Prima selama ia di Surabaya digunakan apa oleh lelaki itu. Pasti digunakannya berdua-duaan dengan sang kekasih gelapnya. Mira akan bertahan, bertahan sampai ia menemukan bukti yang valid bahwa sang suami benar-benar berselingkuh di belakangnya.
***
“Kenapa kamu malah berkenalan dengan Mira?” tanya Prima kesal kepada July. Ia takut sang istri mencurigai hubungan gelapnya dengan July.
“Bukan aku yang minta berkenalan, mas. Dia sendiri,” jawab July.
“Seharusnya kamu langsung pergi ketika tadi Mira datang,” kata Prima yang masih kesal.
“Kenapa aku yang diminta untuk pergi sih, mas? Mas lupa ya, mas tadi yang menahanku tinggal karena kita mau sama-sama ketemu calon pembeli, mas kan yang mau bantuin aku buat dapat slot pembeli bulan ini,” kata July. Prima mendesah, ia nampak frustasi, dan takut pulang ke rumah.
“Bagaimana kalau Mira curiga dengan hubungan kita, dengan kamu?” tanya Prima.
“Itu berarti sudah takdir, mas. Kamu tahu, kan, sesuatu yang disembunyikan dengan baik, suatu saat pasti akan tercium juga baunya,” jawab July ringan.
“Lalu, apakah kamu tahu setelah dia tahu, kita harus bagaimana?” tanya Prima.
“Itu mas yang mikirin, bukan aku! Aku di sini korban, mas!”
“Korban?”
“Iya, hubungan kita berlanjut setelah malam itu, kan? Kamu lupa kalau mabuk?” tanya July. Prima makin frustasi.
“Dan kenapa juga kamu harus berhenti minum pil agar tidak hamil?” tanya Prima. July terhenyak kaget.
“Kamu kecewa kalau aku hamil? Apa karena istrimu sekarang sudah hamil dan kamu berencana membuangku?” tanya July kaget dan tak terima dengan sikap Prima. Prima sadar bahwa ucapannya barusan telah kelewatan pada July, ia hanya kalut dan takut kalau Mira mencium perselingkuhannya dengan July selama ini.
“Aku bukan kecewa, aku hanya belum siap,” kata Prima beralasan.
“Karena aku hanya wanita simpananmu?”
“Kita bahkan belum menikah, July,” kata Prima.
“Kalau begitu, nikahin aku, mas! Bukankah boleh pria menikah lebih dari satu perempuan?” tanya July.
“Gak semudah itu,” kata Prima.
“Lalu kamu mau menunggu perutku besar?” tanya July pada Prima. Prima nampak bingung, “apakah kamu akan jadi lelaki pecundang yang bakalan ninggalin aku yang sedang hamil, mas?” tanya July. Prima tercekat. Wajah July merah padam, ia makin takut kalau-kalau Prima tak bertanggung jawab padanya dan meninggalkannya lalu kembali kepada Mira.
Prima diam dan tak mau mendebat July. Pikirannya penuh saat ini, yang jelas ia takut Mira tahu perselingkuhannya dan akan mengadukannya pada Amila, lalu karirnya akan hancur. Bicara dengan July pun rasanya percuma, ia tak mungkin menceritakan pada July kalau promosi jabatannya di pekerjaannya sekarang ini karena pengaruh calon adik iparnya yang akan menikahi adik iparnya. Lelaki kaya raya bernama Leo.
July pergi dari sana dengan hati yang hancur, ia benar-benar takut kalau Prima meninggalkannya. Akhirnya ia memutuskan pergi dari sana dengan alasan bertemu pelanggan.
“Tunggu dulu, July!” seru Lusi memanggilnya dari jauh. July sudah naik ke atas motornya, bersiap pergi ketika dilihatnya Lusi menenteng helm berlari ke arahnya.
“Mau ke mana?” tanya Lusi cemas, ia kasihan pada July karena perempuan itu dalam posisi mengandung. Jika terjadi sesuatu pada July, ia juga akan menyesal. Mata July yang memerah dan berkaca-kaca itu sudah cukup membuat Lusi tahu bahwa teman kerjanya sedang tak baik-baik saja, “sini, biar aku yang bawa motornya,” kata Lusi lagi. July turun dari posisi yang sudah siap mengendarai motornya dan membiarkan Lusi mengendarainya. Mereka kemudian pergi meninggalkan sorum, dilihat dari kaca jendela oleh Prima lewat ruangannya.
“Kita mampir di warung es dulu?” tawar Lusi dan July menyetujuinya.
“Aku mau es kelapa muda,” kata July. Lusi langsung melajukan motornya mencari pedangan es kelapa muda di pinggir-pinggir jalan, beruntung mereka menemukan warung tenda yang penjualnya menjual es kepala muda dan kupang.
“Gak mau sekalian makan kupang?” tawar Lusi dan July menggeleng, “kalau gitu kita pesan dua es kelapa muda saja, ya?” tawarnya lagi dan July mengangguk setuju.
Lusi memesan dua gelas besar es kelapa muda dan duduk menemani July di salah satu kursi dengan meja kecil yang sedikit menjauh dari penjualnya. Siang itu, hanya ada mereka berdua yang membeli es kelapa muda. Lusi tak bertanya, ia ingin membiarkan July bercerita sendiri jika ia ingin cerita.
“Kenapa aku merasa mas Prima ragu-ragu mau bertanggung jawab padaku, ya, Lus?” tanya July pada Prima.
“Kenapa? Dia memintamu untuk menggugurkan bayi dalam kandunganmu?” tanya Lusi kaget dan July menggeleng.
“Nggak, dia bilang kalau gak siap aku hamil karena bu Mira juga hamil,” kata July dengan mata berkaca-kaca, “padahal dulu dia ingin meninggalkan istrinya karena katanya gak juga hamil, makanya aku menghentikan mengkonsumsi pil KB itu agar aku hamil dan ia segera mengesahkan hubungan kami. Mana tahu aku kalau istrinya ternyata hamil juga?” kata July dengan air mata berderai. Lusi memegang tangan July dan mencoba menenangkannya.
“Kulihat kemarin kalian keluar, kan? Kupikir untuk membicarakan hubungan kalian,” kata Lusi.
“Dia mengajakku ke motel, Lus. Apa aku ini hanya tempatnya untuk bersenang-senang saja? jika dia kumintai untuk bertanggung jawab, dia selalu beralasan bukan waktu yang tepat,” kata July. “Kalau saja malam itu tidak pernah ada, kalau saja aku tak terlena dengan perhatiannya, kalau saja aku …” July tak bisa melanjutkan kalimatnya lagi, dadanya terasa sesak dan ia menyesali yang sudah-sudah.
“Kamu harus bertindak, Jul,” kata Lusi.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya July, “menemui istrinya dan mengatakan kalau aku juga hamil anak dari suaminya?” tanya July.
“Tidak ada cara lain, jika pak Prima tak juga bersikap tegas padamu, kamu sendiri yang hancur,” kata Lusi.
“Padahal aku tak memintanya bercerai dari istrinya sekarang, Jul. Kalau dulu iya, sebelum ia hamil, aku getol memintanya bercerai saja dari pada terluka dengan istrinya. Sekarang, aku tak pernah mengatakan itu, aku sadar kalau perempuan hamil pasti membutuhkan pria di sampingnya. Karena aku pun mengalami hal yang serupa,” kata July.
“Kamu siap berbagi, kan?” tanya Lusi.
“Setelah berpikir matang-matang selama beberapa hari ini, aku merasa siap, yang jelas aku hanya butuh dia untuk status anakku saja,” kata July.
“Kalau begitu, persiapkan mentalmu dan tentukan waktu yang tepat untuk menemui istrinya pak Prima jika pak Prima tak punya inisiatif sama sekali untuk bertanggung jawab padamu,” kata Lusi.