Bab 1:Kehamilan Lain
Seorang perempuan dengan rok mini jeans biru berjalan tergesa-gesa menuju hotel tempat ia dan pria yang beberapa bulan ini bersamanya menghabiskan waktu. Perempuan itu nampak cemas dan gelisah hingga ia tanpa senagaja menabrak troli koper yang dibawa oleh salah satu petugas hotel.
“Maaf mbak, maaf,” kata petugas hotel tersebut kepada perempuan cantik berkulit putih tersebut. Perempuan itu nampak kesal sekali.
“Gimana sih, mas? Kerja yang bener donk! Sakit nih lututku!” gerutu perempuan tersebut sembari mengelus-elus lututnya yang terlihat baik-baik saja. Lelaki pelayan itu hanya mengangguk dan berulang kali mengucapkan kata maaf pada perempuan di hadapannya. Perempuan itu berlalu pergi menuju lift di mana ia akan menuju lantai ke tujuh.
Pintu lift terbuka, perempuan cantik itu masuk dengan cemas dan berharap lift bisa membawanya segera menuju ke kamar yang telah dipesan kekasihnya untuk mereka bertemu. Keluar dari lift, ia segera menuju kamar 702 dengan cepat dan mengetuk pintu kamar itu tiga kali. Tak butuh waktu lama bagi pintu di hadapannya untuk terbuka dan seorang pria tampan berusia sekitar tiga puluhan lebih itu tersenyum menyambut kedatangannyat.
“July …” sapa lelaki itu senang seraya membuka kedua tangannya untuk menerima pelukan hangat dari sang kekasih, sayangnya, perempuan di hadapannya malah memasang wajah cemberut dan berlalu masuk ke dalam kamar hotel itu begitu saja, melewati kekasihnya yang menatapnya heran.
Julyana Larasati adalah perempuan cantik yang bekerja sebagai sales mobil di sebuah sorum mobil besar di Surabaya.
“Ada apa, sayang?” lelaki itu masih berusaha merayu kekasihnya dengan duduk di sebelah July dan merangkul bahunya.
“Kapan kamu akan ceraikan istrimu dan menikahiku, mas?” tanya July serta merta. Lelaki itu mengulum senyumnya dan menarik tangannya yang melingkar di bahu kekasih gelapnya. Pertanyaan July benar-benar membuatnya jengah, pertanyaan yang sering sekali July lontarkan akhir-akhir ini.
“Sabar, sayang …” jawab pria itu.
“Sabar! Sabar! Sabar!” July meradang dan berdiri, “sampai kapan aku harus bersabar, mas?” tanya July kesal.
“Aku baru saja diangkat menjadi manager tetap, sayang, tolong mengertilah posisiku,” kata pria itu.
“Aku muak menunggu kamu, mas!” July makin kesal.
“Bagaimana jika Amira tahu?” tanya lelaki itu.
“Bukankah mas bilang sendiri kalau sudah gak peduli dengan istri mas yang gak berguna itu?” tanya July kesal.
“Sayang … masalahnya … “
“Apa?”
“Dia … hamil …”
“Apa?” teriak July kaget. Mata July melotot kesal mendengarnya. “Gimana bisa? Bukankah kamu bilang dia mandul? Kok bisa hamil?” tanya July tak percaya. Kini rasa takut July semakin besar, dia takut lelaki di hadapannya akan meninggalkannya seperti sampah begitu saja.
“Aku juga gak tahu, gak ada tanda-tanda tentang kehamilannya. Saat dia pingsan dan ibu membawanya ke klinik kemarin, dokter memeriksa dan menyatakan kalau Amira sudah hamil dua belas minggu,” kata lelaki itu.
“Gila kamu, mas! Dua belas minggu? Itu berarti sudah tiga bulan!” seru July meradang. Lelaki di hadapannya mengusap wajahnya dengan kasar, ia juga bingung dan kaget saat menyadari bahwa istrinya yang pendiam itu ternyata hamil, itu berarti program kehamilan yang sudah bertahun-tahun ia lakukan berhasil.
Lelaki itu bangkit dari duduknya, berusaha menenangkan July yang kalut dengan berita tentang kehamilan istrinya.
“Lepasin, mas!” July tak sudi disentuh, ia merasa kesal dan jijik sekali, “jadi selama ini kamu berhubungan dengannya, mas?” tanya July dengan mata cemburu dan penuh amarah. Lelaki di depannya nampak kikuk dengan pertanyaan July, “kamu bilang sudah gak menyentuhnya selama bersamaku, mas! Lalu bagaimana ia bisa hamil?” tanya July, “Mas Prima!” bentak July.
“Aku seorang suami, July. Tidak mungkin aku tak melakukan kewajibanku sebagai suami,” kata lelaki bernama Prima itu.
“Jadi kamu membohongiku, mas?” tanya July meradang. Prima terdiam, ia benar-benar tak menyangka kalau July terpaksa tahu dengan fakta yang mati-matian ia sembunyikan.
“Maaf, sayang …”
“b******k, kamu, mas!” seru July meradang dan kesal sekali.
“Maaf, sayang …” ucap Prima lagi saat mata July memerah dan tangannya terus menolak pelukan dari Prima.
“Kamu harus tentukan pilihanmu, mas!” seru July pada Prima.
“Aku mencintaimu, sayang … tentu aku akan memilihmu,” kata Prima.
“Jadi kamu akan meninggalkan mbak Amira?” tuntut July, Prima mengangguk tanpa ragu, bagi Prima berbohong sedikit lagi kepada July akan membuatnya tenang.
“Iya,” jawab Prima.
“Kapan?” kembali July menuntut.
“Dia sedang hamil, sayang … aku tak mungkin menceraikannya,” kata Prima.
“Lalu aku bagaimana, mas?” tanya July lagi.
“Aku minta kamu bersabar menunggu, ya, sayang …”
“Nggak! Aku gak mau nunggu lagi, mas!” kata July dengan geram.
“Sayang … aku yakin kamu bisa dan sabar menantiku,” kata Prima.
“Jika aku tidak hamil aku akan menunggumu, mas! Tapi aku hamil anakmu juga, mas!” kata July yang membuat Prima shock bukan main mendengar apa yang baru saja July katakan di hadapannya. Wajah Prima yang kaget itu benar-benar sudah July duga.
“Kamu? Kamu hamil?” tanya Prima. July mengangguk penuh keyakinan, “tapi, bagaimana bisa?” tanya Prima heran.
“Bagaimana bisa? Gila kamu, mas! Kita melakukannya hampir tiap hari dan berkali-kali,” July meradang.
“Iya, aku tahu! Tapi bukankah kamu bilang kamu mengkonsumsi pil pencegah kehamilan?” tanya Prima.
“Aku sudah bilang padamu kalau aku berhenti mengkonsumsinya dua bulan lalu karena menstruasiku tak lancar. Kamu lupa, mas?” tanya July lagi.
“Iya,”
“Dan sudah kubilang berkali-kali padamu bahwa aku memasuki masa subur, tapi kamu terus bilang kalau tak masalah dan akan bertanggung jawab padaku!” kata July mengingatkan Prima. Prima nampak sangat kalut, ia terlihat sangat bingung sekali saat ini. Kehamilan July benar-benar diluar dugaan Prima sama sekali.
“Aku pikir, meski kamu sudah tak mengkonsumsi pil penunda kehamilan itu, khasiatnya masih berfungsi. Tetanggaku ada yang berhenti KB selama dua tahun dan ia tak kunjung hamil,” kata Prima menjelaskan.
“Setiap wanita memiliki sikluas bulanan yang berbeda, mas,” kata July menjelaskan. Prima kehilangan kata-katanya. Ia tak tahu harus berkata apa. Kehamilan July benar-benar tak bisa ia duga sama sekali. Dan kenapa juga di saat Amira juga hamil?
Prima meremas rambutnya dengan kasar, ia tak tahu harus berbuat apa sekarang ini. Menceraikan Amira bukanlah hal yang mudah sekarang ini. Bahkan, posisinya sebagai manager di sebuah sorum mobil terkenal itu pun dibantu oleh suami dari adik iparnya, yakni Leonard. Jika sampai perselingkuhannya dengan July terendus adik ipar serta suami adik iparnya, karirnya akan hancur.
“Gimana, mas!” July mendesak seraya mengguncang bahu Prima.
“Kamu sabar dulu, ya, Jul,” kata Prima dengan nada putus asa.
“Sampai kapan? Sampai perut aku membesar?” tanya July cemas.
“Masalahnya kamu tahu sendiri, belum ada enam bulan aku diangkat jadi manager,” kata Prima.
“Perceraianmu dengan mbak Amira dan pernikahan kita kelak gak akan mempengaruhi karir kamu, mas!” seru July tak sabar.
“Kamu gak ngerti, Jul,” kata Prima.
“Apanya yang gak ngerti?” tanya July bingung.
“Yang jelas, aku gak bisa bertanggung jawab sekarang sebelum ekonomiku membaik. Aku butuh waktu, July!” kata Prima.
“Aku gak bisa nunggu lama-lama, mas,” kata Prima.
“Kamu atur pola makan dan cara pakaian kamu, banyak perempuan diluar sana yang gak kelihatan hamil sama sekali karena mereka pintar mengaturnya. Aku harap kamu juga bisa seperti mereka,” kata Prima.
“Kamu gak mau bertanggung jawab, mas?” tanya July dengan perasaan sesak di dadanya.
“Aku mencintaimu, July. Aku akan bertanggung jawab soal cinta kita, tapi kamu harus sabar,” kata Prima. July hampir menangis lagi, ia selalu lemah dengan kalimat cinta dari Prima. Melihat July yang mulai lunak, Prima memberanikan diri memeluknya, “aku janji akan ceraikan Amira, tapi setelah ia melahirkan,” kata Prima.
“Baiklah …” jawab July melemah. Ia tak memiliki pilihan lain selain berusaha mempercayai ucapan Prima meski enggan karena July juga takut jika harus menggugurkan bayinya.