Wajah Mira yang kaget dan heran itu seketika menyadarkan Prima akan sikapnya yang berlebihan padanya.
"Sikapmu seperti menyembunyikan sesuatu dariku, mas," jawab Mira setenang mungkin.
"Hah? Ah, enggak," jawab Prima gelagapan.
"Kenapa, mas? Aku sudah gak boleh lihat pesan di ponsel kamu?" tanya Mira.
"Aku hanya takut kamu kena serangan dari mbak Nia," jawab Prima beralasan.
"Mbak Mira bisa melakukan hal itu langsung padaku mas, tak perlu lewat kamu," jawab Mira. Wajah sang suami yang pias karena mendengar jawaban dari sang istri itu membuat Mira akhirnya memilih duduk saja di atas kasurnya.
Prima jadi serba salah, ia akhirnya mengikuti Mira duduk, sedangkan Mira berpura-pura sibuk membenahi pakaiannya dari ransel dan menyimpannya dalam lemari plastik yang hari itu mereka beli juga.
"Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Mir," kata Prima.
"Memang kamu bisa baca pikiranku, mas?" tanya Mira.
"Iya, kamu curiga padaku, kan? Ini ponselku, kamu bisa mengeceknya," kata Prima. Mira memandangnya dan menerima ponsel itu yang membuat d**a Prima berdebar-debar tak karuan, ia yakin panggilan miss called dari July pasti membuat Mira bertanya-tanya dan kepikiran lalu semakin mencurigainya. Mira akhirnya mengembalikan ponsel itu pada Prima, memilih berpura-pura percaya dan tak peduli.
"Nggak perlu," kata Mira, "mana makanan buatku, mas?" tanya Mira. Prima mendelik, ia lupa membeli makanan untuk istrinya.
"Ya Tuhan, aku lupa. Sebentar, aku belikan ke depan dulu, ya," kata Prima seraya beranjak dari tempatnya duduk dan langsung keluar kamar kost, kali ini ia tak lupa membawa serta ponselnya, untuk membersihkan riwayat miss called dari July dan menghapus pesan dari aplikasi tersembunyi yang tak mungkin bisa ditemukan oleh Mira.
Mira makin heran dengan sikap suaminya itu. Ia lupa membeli makanan untuknya dan membawa barang-barang dari kost temannya. Padahal tadi keluar pergi, tujuannya sudah jelas, tapi kembali pulang hanya membawa badan saja.
Saat sedang memesan nasi goreng, Prima kembali melamun dengan percakapannya bersama July di rumah kontrakan tadi. July yang menangis dan memintanya untuk tegas setelah mereka menyantap makan malam bersama buatan July. Setiap kali melihat July menangis, hati Prima tak tega, ingin sekali ia segera menghalalkan perempuan itu dalam ikatan pernikahan, tapi ketakutan dan kekhawatiran juga membuatnya cemas sepanjang waktu. Apalagi Mira kini ikut bersamanya di Surabaya, otomatis dia tak akan bisa sebebas seperti sebelumnya, kan?
Andai saja ibunya tak mengijinkan Mira ikut, tentu hubungannya dengan July akan tetap aman dan ia tak perlu gelisah seperti sekarang ini. Ia juga pasti akan menikahi gadis itu secara siri, dan mungkin akan menjalani peran sebagai suami yang memiliki dua istri di tempat yang berbeda. Tak masalah, ekonominya telah mapan dan ia sanggup membagi waktu untuk kedua kekasihnya asalkan Mira sang istri pertama tak pernah tahu perselingkuhannya. Semuanya akan aman. Hanya saja, keadaan sekarang membuatnya semakin frustasi. Dua kekasihnya berada di kota yang sama dengannya. Kemungkinan ia ketahuan berselingkuh juga semakin besar. Jika ia meminta July tinggal di kota sebelah, maka ia tak akan bisa mengunjunginya seperti biasanya. Padahal, Prima cukup puas bermain dengannya selama ini. July sangat pintar memuaskannya di atas ranjang dan ia mulai ketagihan. Lagi pula, July belum tentu mau pergi darinya jauh-jauh. Prima bisa melihat kalau perempuan simpanannya itu tak percaya padanya dan takut ditinggalkan.
"Woi, bro, gimana bini? Aman?" tanya salah seorang pengunjung nasi goreng seperti Prima pada orang lain yang baru datang.
"Aman," jawab Pria itu bangga.
"Hebat Kowe bro, bisa punya dua bini," puji rekannya yang lain. Prima menoleh dan menatap dua pria itu dengan wajah terkejut.
"Biasa, ma. Ada duit semuanya bakalan nurut," timpal lelaki itu.
Prima diam, ia mulai berpikir, mungkinkah ia harus melunakkan hati istri dan kekasih gelapnya dengan uang juga?
***
Mira yang terbiasa bangun pagi di rumah, hari itu juga menyempatkan bangun lebih awal meski semua badannya sakit semua karena kelelahan kemarin. Ia belanja sayur dan lauk serta perbumbuan dapur pada tukang sayur yang keliling di sekitar kostnya. Beberapa ibu-ibu sekitar daerahnya menyapanya dengan ramah. Setelah selesai belanja, Mira gegas kembali ke kost dan memasak sarapan serta bekal makan siang untuk suaminya. Ia merasa sangat senang karena bisa mengabdikan diri kembali kepada sang suami, selain karena ia suka memasak, ia tahu kalau sang suami juga gemar makan masakannya.
Urap-urap, ayam goreng, udang tepung dan sambal bajak telah siap disantap pukul tujuh pagi saat suaminya baru selesai mandi. Bekal makan siang pun sudah siap.
"Sarapan dulu, mas," ajak Mira pada sang suami.
"Kamu gak ikut sarapan?" tanya Prima.
"Sebentar, aku selesaikan ini dulu, biar bisa kamu bawa kerja dan bagikan ke rekan-rekanmu," kata Mira seraya membalik lumpia goreng miliknya.
"Kamu buat apa?" tanya Prima.
"Lumpia goreng," jawab Mira. Prima mengangguk sembari tersenyum. Tiga puluh gorengan lumpia telah siap dan tinggal memasukkannya pada kardus yang telah Mira siapkan sebelumnya. Mira juga membuat saus tauco, mempersiapkan cabe hijau dan daun bawang sebagai pelengkap lumpia.
"Mereka pasti senang dengan lumpia buatanmu itu," kata Prima memuji sang istri yang menata lumpia goreng di atas kardus makanan.
"Anggap ini oleh-oleh dari Malang," jawab Mira dan Prima tersenyum. Mira tak pernah gagal menarik perhatiannya. Ia selalu menjadi istri yang sempurna di mata sang suami. Prima akui, Mira adalah istri yang luar biasa. Mira tak pernah mengeluhkan sikap sekenanya ibu dan kakaknya, tak pernah protes dengan uang belanja yang ia berikan, tak pernah menolaknya di atas ranjang meski ia lelah sekalipun dan selalu memanjakannya dengan sajian yang lezat agar ia senang. Hal itulah yang membuat Prima enggan berpisah dari Mira, ia tak yakin jika berpisah dengan Mira, apakah July bisa menjadi seperti Mira? Rasanya tak mungkin.
"Ngelamunin apa, mas?" tegur Mira pada Prima. Prima menggeleng.
"Nggak, hanya saja mas senang karena kamu selalu bisa menyenangkan hati mas," kata Prima.
"Hanya ini yang bisa Mira lakukan, mas. Apa lagi? Mira bukan Amila yang pengusaha kaya, Mira hanya istri biasa yang tak berpenghasilan. Jadi sebisa mungkin Mira akan menyenangkan mas agar mas tak tergoda perempuan lain di luar sana,"
"Uhuk, uhuk," Prima langsung terbatuk mendengarkan ucapan Mira tersebut. Diraihnya air di gelas dan langsung diminumnya segera.
"Kenapa, mas?" tanya Mira kaget karena sang suami tiba-tiba tersedak.
"Nggak, mungkin ketelan cabe," kata Prima.
"Mana mungkin urap-urap ada cabenya, mas, bumbunya sudah dihaluskan. Iya kalau makan gorengan," jawab Mira.
"Maksud mas, kepedasan," jawab Prima dan Mira memilih mengangguk saja, meski ia tahu bahwa sang suami kaget dengan ucapannya tadi. Hal yang semakin membuat Mira yakin kalau suaminya pasti menyembunyikan sesuatu yang kelam darinya. "Ya udah, mas berangkat dulu," kata Prima lagi dan Mira mengangguk lalu ikut berdiri dan membersamai suaminya hingga ke teras depan kost-kostan.
"Hati-hati, mas. Jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai," kata Mira dan Prima mengangguk lalu naik ke motornya dan pergi dari hadapannya.