“Kamu mikirin apa, Jul?” tanya Lisa, teman sales mobil July ketika ia memerhatikan wajah July yang terlihat sedikit melamun. July yang duduk di hadapan Lisa itu menggeleng ke arahnya, “aku perhatiin kamu kok tambah pucet, ya? Sakit?” tanya Lisa lagi. July menatap Lisa dengan seksama, ia ingin bercerita tentang kehamilannya dengan Prima kepada sahabat baiknya itu, tapi takut Lisa akan bocor pada semua teman-teman mereka di sorum mobil nanti.
“Gak papa, cuma gak enak badan saja,” jawab July santai. Seorang pelayan datang membawakan steak pesanan Lisa di atas hot plate yang mengepulkan asap makanan. Dilihatnya baik-baik bagaimana cara pelayan itu menyajikan steak itu di atas meja di hadapan Lisa. July pikir ia akan baik-baik saja ketika menemani Lisa makan steak di restaurant ini, nyatanya ia salah, perutnya terasa diaduk-aduk saat memerhatikan Lisa memotong daging steak itu dan memperlihatkan bagian daging itu kepada July.
“Hoek,” July lantas berdiri dan berlari seraya menutup mulut dengan kedua tangannya agar ia tak muntah sembarangan. Sesampainya di toilet, ia lantas memuntahkan semua isi perutnya di kloset. Masih dalam keadaan perut yang kurang baik-baik saja, July berusaha mengeluarkan semua isi perutnya hingga ia merasa baik-baik saja kemudian. Setelahnya, ia berangsur keluar dari kloset dan Lusi sudah menunggu di luar. Lusi menatapnya dengan tatapan penuh arti, lalu menyerahkan botol kecil minyak kayu putih padanya.
“Makasih,” jawab July seraya menerima minyak tersebut.
“Kamu hamil?” pertanyaan Lusi membuat July kaget dan lantas menoleh ke arahnya cepat. Wajah July yang kaget itu membuat Lusi yakin bahwa tebakannya benar, “pantesan wajahmu pucat dan akhir-akhir ini lemas, ternyata kamu hamil. Pak Prima tahu kalau kamu hamil?” tanya Lusi. Pertanyaan Lusi lagi-lagi membuat July terperangah tak percaya. Bagaimana bisa Lusi tahu soal hubungannya dengan Prima.
“Ahh, enggak, cuma masuk angin biasa aja kok,” jawab July enggan.
“Tanda-tanda kehamilan itu semuanya ada di kamu, Jul. Parfum yang aku pake, kamu bisa menebak bunga apa yang jadi dasar parfum yang kukenakan, saat kita lewat warung bakso, kamu memintaku cepat-cepat buat pergi dari sana, yang paling ketara adalah bau ikan asin di tanganku, kamu bisa menciumnya, padahal aku goreng ikan asin semalam,” terang Lusi. July terdiam. Benar apa yang dikatakan oleh Lusi, bahwa indra penciumannya kini lebih tajam dari biasanya.
July serta merta meraih kedua tangan Lusi dan menatapnya dengan tatapan memohon, “aku mohon rahasiakan kehamilanku, ya,” pinta July, “kalau aku kehilangan pekerjaan, itu akan membuat mas Prima dengan mudah meninggalkanku,” cicit July.
“Jadi benar pak Prima yang hamilin kamu?” tanya Lusi tak percaya. Semula tadi saat mengatakan nama Prima di hadapan July, ia hanya mengetes July dan menebak saja. Selama ini Lusi tak percaya rumor yang berada di kalangan teman-temannya yang mengatakan kalau July ada main belakang dengan Prima karena Lusi pikir Prima sudah berkeluarga dan tak mungkin ada affair dengan July. Nyatanya, apa yang digosipkan benar terjadi dan Lusi tak tahu harus bersikap bagaimana dengan sahabatnya sendiri itu.
July mengangguk ragu-ragu dan takut di hadapan Lusi yang kaget saat July menyebut nama Prima. Lusi mendesah berat dan membuang wajahnya sebentar lalu kembali menatap July dengan marah, “Pak Prima sudah punya keluarga, kenapa kamu mau punya hubungan dengannya, Jul?” tanya Lusi. July mengangkat kedua tangannya, tak mengerti juga kenapa ia bisa terjerat cinta dengan Prima.
“Aku gak ngerti Lus, aku cinta ke mas Prima,” jawab July jujur.
“Mantan pacar kamu jauh lebih baik dari pak Prima,” kata Lusi geram, “dan bisa-bisanya kamu sembunyikan ini dari aku? Bahkan bagaimana bisa kamu sampai hamil anaknya pak Prima?” tanya Lusi heran.
“Aku tidak tahu kalau bakalan hamil,” aku July dengan wajah menunduk.
“Lalu sudah kamu beritahukan kehamilan kamu ke pak Prima?” tanya Lusi cemas. July mengangguk ke arahnya, “reaksinya?” tanya Lusi lagi.
“Dia memintaku menunggu sampai ia menceraikan istrinya,” jawab July.
“Sampai kapan?” tanya Lusi. July menggeleng, “astaga, July! Gimana bisa kamu sebodoh dan seceroboh ini? Mana mungkin Pak Prima milih kamu sedangkan dia tergila-gila sama istrinya,” kata Lusi yang membuat July mendongak kaget.
“Maksud kamu apa?”
“Pernikahan pak Prima dan istrinya udah bertahun-tahun, Jul! mereka bertahan bahkan meski belum punya anak, gak mungkin Pak Prima meninggalkan istrinya begitu saja, Jul,” kata Lusi.
“Tapi mas Prima bilang dia akan menceraikan istrinya karena belum hamil juga,” kata July membela diri.
“Dan kamu percaya?” tanya Lusi gemas dan July mengangguk pelan, “kamu tahu gak kenapa pak Prima bisa diangkat jadi manager? Dia dipromosikan oleh calon adik iparnya, calon suami dari adik istrinya yang punya perusahaan textile besar di Surabaya!” kata Lusi, “istri Pak Prima itu bukan orang sembarangan, kamu tahu butik yang ada di pusat kota? Itu butik milik adik dari istri pak Prima, namanya bu Amila.” July kaget mendengar fakta tersebut, “bahkan pak Leonard dan bu Amila ini bakalan menikah secepatnya,” jelas Lusi lagi. July makin gelisah.
“Terus aku harus gimana, Lus? Aku gak mau gugurin anak ini, aku takut,” kata July jujur.
“Seharusnya kamu hati-hati dalam berhubungan. Aku curiga, jangan-jangan pas pak Prima mabuk dan kamu nganterin pulang ke kostannya itu adalah kali pertama kalian berhubungan?” tebak Lusi dan July mengangguk, “astaga! Kenapa bisa kamu terjerat sama dia, sih?” tanya Lusi.
“Pak Prima baik, dia suka belikan kita makanan dan terkadang ia tak segan-segan keluarin uang pribadinya buat aku,” kata July.
“Ya Tuhan! Dia emang orangnya gitu! Sejak diangkat jadi manager, sukanya emang ngasih anak buahnya traktiran biar dianggap bos yang baik, July. Kenapa kamu bisa terjerat dengan mudah,”
“Mas Prima ngasih aku uang besar saat aku butuh biaya buat bayar sekolah adikku yang ada di jawa tengah,” tutur July.
“Adik kamu? Di jawa tengah?” tanya Lusi heran.
“Dia kabur dari rumah karena mau mama masukkin ke panti rehab buat rehab dari obat-obatan,” kata July lagi. Lusi makin gak ngerti dengan apa yang July pikirkan. Kepalanya pusing. July kabur dari rumah karena kesal dengan sikap kedua orang tuanya yang memintanya bergabung kerja di toko keluarga yang lumayan maju dan memilih jadi sales mobil dengan gaji kecil yang tak seberapa dengan uang yang selalu ia dapatkan dari orang tuanya tiap bulan di rekeningnya.
“Aku gak ngerti jalan pikiran kamu, Jul. Gemes juga,” kata Lusi seraya berbalik dan keluar kamar mandi. July menyusul Lusi yang membayar makanannya di kasir dan keluar dari restaurant meninggalkan makannya yang bahkan belum ia sempat makan sama sekali
“Lus, tolongin aku!” pinta July.
“Aku gak tahu harus tolongin kamu dari mana, Jul. Kamu cantik dan dari keluarga yang berkecukupan secara ekonomi, tapi karena berontak kamu keluar dari rumah dan jadi sales kayak aku yang gajinya gak seberapa. Kamu bahkan mutusin pacar kamu yang seorang IT itu karena bagimu terlalu posesif padahal dia sabar banget sama kamu. Kamu milih pak Prima yang sudah beristri dan bisa-bisanya tidur dengannya sampai hamil? Kamu pasti berhubungan dengan pak Prima sudah lama, kan?” tanya Lusi, July diam.
“Keluargaku mungkin kaya, Lus, tapi aku kesepian. Mama dan Papa berantem terus, Papa sibuk dengan istri sirihnya dan mama melampiaskan kemarahannya padaku yang tak sejalan dengan pola pikir bisnisnya. Mama gak mau dukung aku jadi model, akhirnya aku lelah sendiri dengan sikap mama dan papa. Mas Prima itu kayak sosok ayah bagiku, dia perhatian dan baik, dia bahkan mendengarkan semua masalah yang aku hadapi,” kata July.
“Yah emang, usianya aja sama kamu terpaut jauh, Jul, pantes kalau kamu manggil Om sebenarnya,” sahut Lusi. July diam.
“Bantu aku, Lus,”
“Aku gak ngerti harus bantu kamu dari mana. Masak aku saranin kamu minta pertanggung jawaban dari pak Prima sedangkan dia sudah berkeluarga? Kalau aku minta kamu gugurin kandungan, aku dosa besar, kalau aku minta kamu pulang ke rumah mamamu, aku tahu mama kamu akan shock banget, jadi aku gak tahu harus bilang apa ke kamu, July,” kata Lusi.
“Aku juga bingung,” kata July. Lusi memerhatian July dengan seksama, ia tahu bahwa sahabatnya itu hanya tersesat dan terbuai karena kebaikan bosnya. Ia butuh sosok ayah, sayangnya cara July salah dengan menjalin hubungan bersama Prima.
“Kita pulang ke kostku, kita pikirin jalan keluarnya sama-sama nanti,” ajak Lusi dan July mengangguk.