Orang bilang firasat seorang istri sangat kuat soal suaminya. Entah suaminya sakit, bahagia, sedih, kecewa, murung bahkan berbohong. Dan itu sekarang yang sedang dirasakan oleh Amira. Amira tak mengerti kenapa sang suami tega berbohong padanya alih-alih mengatakan yang sebenarnya sebelum hubungannya dengan perempuan lain itu jauh, Amira bisa mengoreksi diri sendiri yang membuat sang suami berpaling darinya.
Panas terik matahari dan dalam kondisi hamil, Amira berjalan dengan perasaan terluka. Karena tak tahu alamat lengkap kostnya, ia membatalkan pulang naik ojek online dan memilih berjalan saja. Toh ia ingat jalan pulang dengan baik. Ponselnya berdering, panggilan masuk dari sang suami. Ia yakin sekali kalau Prima sekarang sudah berada di kantornya dan menghubunginya hanya karena ingin mengatakan kalau ia menerima kue buatannya dari satpam tempatnya bekerja.
Tapi, buat apa? Amira tak ingin mendengarkan kebohongan lagi dari bibir suaminya. Sejak kecil, dia dan Amila sudah diajari untuk berkata jujur oleh ayah mereka. Meski bukan dari keluarga kaya raya, keluarga Amira terbilang terpandang karena bermartabat dan terpelajar. Ayahnya yang seorang kepala sekolah sangat disegani oleh orang-orang kampung, bahkan tak jarang diminta untuk mencalonkan diri sebagai lurah, sayang sang ayah menolak karena merasa tak akan sanggup menahan dosa di akhirat nanti.
Setelah kepergian sang ayah, keluarganya mulai goyah, ibu yang selama ini hanya mengandalkan uang dari ayah mulai kebingungan dengan peliknya ekonomi yang ia tanggung. Harta yang dimiliki seperti sawah sudah terjual untuk biaya pernikahannya dan Amila. Amira tersadar bahwa ia belum bisa membahagiakan ibu dan ayahnya tapi memilih menikah lebih dulu setelah patah hati karena Bima yang diincarnya diam-diam menaruh hati pada adiknya, Amila. Jadi Amira menerima pinangan Prima tanpa pikir panjang, tanpa tahu dengan baik bagaimana latar belakang keluarganya, bagaimana sikap Prima.
Meski begitu, Amira telah berusaha sekuat tenaga menjadi istri yang berbakti selama bertahun-tahun untuk Prima. Ia berusaha menyenangkan sang suami. Urusan sumur, dapur dan kasur menjadi prioritasnya. Bahkan ia membantu mencari uang untuk menutupi kebutuhan keluarganya, sesekali ia menyimpan uang yang jumlahnya tak banyak untuk ia berikan kepada ibunya.
Padahal aku sudah mengabdi padamu, mas. Bahkan uang hasil keringatku lebih banyak menutupi kekurangan keluarga kita dari pada kuberikan pada ibuku sendiri.
Air mata Amira tumpah saat ia sudah berada di dalam kamar kostnya. Ia merasa berada dalam titik paling sedih sekali dalam hidupnya. Perjuangannya selama ini terasa sia-sia saja. Orang bilang rumah tangga itu banyak sekali ujiannya. Mira sudah siap menerima semua ujian rumah tangga, ia hanya berharap Tuhan tak mengujinya dengan pengkhianatan.
Mira bersabar ketika semua orang selalu menanyakan kapan ia hamil dan memiliki anak.
Mira bersabar dengan sikap Nia yang keterlaluan padanya.
Mira bersabar dengan sikap Prima yang berat sebelah padanya.
Mira bersabar dengan sikap mertuanya.
Apakah aku kurang bersabar, Ya Robbi?
Mira menangis dalam diam. Ia sama sekali tak pernah membayangkan akan merasakan sakit hati yang seperti ini. Beberapa waktu lalu, saat ibunya mengabari kalau Amila, sang adik diduakan oleh Bima, ia kaget dan tak menyangka sama sekali. Bima yang ia pikir adalah lelaki yang luar biasa, tega berkhianat pada sang adik. Padahal dulu ia sempat menaruh perhatian pada Bima, Mira jadi bertanya-tanya kenapa Bima sampai mendua? Apakah Mila kurang memuaskannya sebagai seorang suami? Apakah Mila bukan tempat pulang yang nyaman untuk Bima?
Dulu saat ia berpikiran seperti itu, ia langsung membuat dirinya menjadi istri yang menyenangkan bagi Prima. Mira tak pernah mengeluh, bahkan menjaga dirinya selalu siap dalam keadaan segar dan wangi jika Prima menginginkannya. Menyiapkan makanan yang enak dan disukai Prima, meski ia harus memutar otak dengan uang belanja yang diberikan oleh Prima dan tak jarang harus ekstra membuat berbagai selingan makanan lain seperti botok tempe dan pepes ikan saat ia berjualan gorengan. Mira bahkan menyiapkan semua pakaian Prima dalam keadaan bersih, wangi, rapi dan licin. Itu semua ia lakukan agar Prima tak melirik wanita lain.
Tapi, apa yang ia dapat sekarang? Setelah berhasil hamil dengan susah payah dan hinaan kanan kiri yang masuk ke telinganya. Setelah berusaha mengabdi luar biasa pada sang suami tanpa mengenal lelah, setelah berusaha bersabar dengan sikap kakak iparnya dan mertuanya, kenapa justru kini ia dihadapkan dengan pengkhianatan yang menyakitkan? Dosa apa yang ia lakukan di masa lalu? Di mana kekurangannya sebagai seorang istri?
Mira ingin berteriak sekencang-kencangnya, bertanya pada Prima apa yang membuatnya menduakannya? Hatinya terasa perih dan hancur berkeping-keping saat ini. Kepada siapa ia harus mengadukan masalahnya?
Mira terus menangis dalam diamnya sampai saura adzan Ashar berkumandang dan ia bangkit untuk mengambil wudlu di luar kamar kostnya. Saat keluar ia berpapasan dengan tetangga kostnya yang heran melihatnya.
"Lagi sakit mata, mbak?" tanya perempuan yang usianya tak jauh beda dengan Mira. Mira menggeleng pelan. Tubuhnya lemah sekali, tapi ia ingin beribadah, mengadu pada sang pencipta tentang gejolak yang ia rasakan sekarang ini.
Perempuan di depannya langsung sadar bahwa Mira tengah bersedih, sedih yang teramat hingga membuatnya tanpa tak bersemangat, ia tak mau mengganggu, hanya berkenalan dengan Mira dengan menyebutkan namanya adalah Ina, kostnya terletak dua petak dari kost Mira dan ia seorang guru BK di SMA Negeri di Surabaya. Mira mengangguk dan masuk ke kamar mandi setelah menyebutkan namanya, ia mengatakan ingin wudlu dan salat Ashar di kamarnya. Ina mengangguk dan mempersilahkan Mira masuk ke kamar mandi, sedangkan ia sendiri sudah mengambil wudlu dan siap-siap salat Ashar juga.
Setelah sujud panjang dengan tangisan yang terus berderai, hati Mira masih tak tenang. Ponselnya terus berpendar tapi ia malas mengangkatnya. Ia sudah terlanjur kecewa dengan sang suami atas kebohongannya tadi.
Hingga suara ketukan pintu di kamarnya membuat Mira menghapus air matanya segera. Ia takut itu adalah sang suami yang pulang dan mencemaskannya. Buru-buru Mira meletakkan mukenanya dan pergi ke kamar rias untuk menyamarkan sembab di matanya dengan krim mata miliknya.
Saat membuka pintu kamar kostnya, ia terkejut dengan kedatangan Ina yang membawa pisang goreng di piring sembari tersenyum padanya, "masuk, mbak," ajak Mira pada Ina. Ina masuk dan duduk di lantai. Kamar Mira lebih besar dari kamarnya yang terletak di pojok dan sempit. Kamar yang ditempati Mira, termasuk yang paling mahal di kost miliknya.
"Dimakan pisang gorengnya, mbak," tawar Ina. Mira mengangguk dan mengambil satu pisang goreng yang dibuat Ina dan memakannya. Perutnya yang terasa lapar kini mulai lega karena ia mengunyah makanan juga pada akhirnya.
Ina tak bertanya kepada Mira kenapa perempuan itu bersedih, ia menjaga batasannya dan malah bercerita soal dirinya yang sendirian di kota besar, lari dari masalah rumit rumah tangganya yang tak ada ujungnya. Suaminya berselingkuh dan tak mau menceraikannya dengan alasan anak-anak, akhirnya Ina mengajukan pindah kerja ke Surabaya demi menjaga mentalitasnya dari pada harus tinggal di Mojokerto dan hatinya terus terguris karena sikap sang suami. Mendengar itu, Mira tertegun sekaligus heran, ia tak menyangka sama sekali permasalahan hidup Ina lebih pelik darinya.
"Kalau gak demi anak, saya mana sudi, mbak. Saya hanya menjaga mentalitas anak saya yang masih remaja. Kalau mereka udah besar, nanti mereka akan paham kenapa ibunya pergi dari rumah dan bekerja jauh buat mereka. Jarang pulang meski akhir pekan. Saya hanya menunggu anak saya siap ketika saya mengajukan gugatan saya nantinya," kata Ina. Mira refleks menyentuh perutnya. Bahkan, perselingkuhan yang dilakukan suaminya itu terjadi sebelum anaknya lahir ke dunia.
Bisakah ia menahan ini semuanya lebih lama?
Mira tak yakin.