POV Mira
Tak ada yang berubah dari sikap mas Prima. Dari hari ke hari dia semakin baik saja, membuatku semakin bertanya-tanya dibuatnya. Parfum yang biasanya melekat di tubuhnya- aroma perempuan yang kuat itu beberapa hari bahkan minggu ini tak tercium oleh indra penciumanku.
Apa yang sebenarnya tengah terjadi?
Apakah dia sebenarnya memang tidak berselingkuh dariku?
Apakah aku hanya menaruh curiga padanya?
Tapi kebohongannya tentang motel dan lembur akhir pekan itu?
Aku bingung sekali.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ingin mencari tahu, tapi lewat siapa?
Aku tidak punya kenalan siapa-siapa di sini.
Ingin mendekati rekan kerja mas Prima, aku tidak tahu caranya.
"Lagi ngelamunin apa?" tanya mas Prima membuyarkan lamunanku. Aku menggelengkan kepala pelan ke arahnya.
"Tadi bagaimana pekerjaan, mas?" tanyaku.
"Gak ada yang spesial atau masalah, semua hari sama saja," kata mas Prima, "kamu gak pengen makan sesuatu? Aku bisa keluar membelikanmu makanan?" tanyanya ramah. Aku memikirkannya sejanak lalu menyebutkan martabak manis sebagai keinginanku. Mas Prima gegas bangkit dari tempatnya duduk, lalu mengambil jaket dan bersiap keluar. Dia akan keluar kurang lebih satu jam hingga satu jam setengah, tergantung antrian saat ia membelinya.
Setiap malam ia akan menanyakan padaku, adakah yang mau aku makan. Pernah aku tidak menginginkan apapun, tapi ia memaksa dan akhirnya ia mengutarakan keinginannya kalau ia pun mengidam, dan ia akan keluar untuk membelinya.
Sikapnya yang manis itu membuatku terlena, perhatiannya akan kehamilanku, membuat sisi hatiku yang lain memberiku keyakinan bahwa ia tak berkhianat padaku.
"Mas pergi dulu, seperti biasa mas akan carikan martabak manis yang viral di sini, biar kamu menikmatinya," kata mas Prima dan aku hanya mengangguk dengan senyuman kecil. Setelah mencium tangannya, ia bergegas keluar dari kost, lalu naik ke motornya dan pergi dari hadapanku.
"Ke mana suamimu?" tanya mbak Ina padaku. Aku menoleh ke arahnya yang sedang mengunci kostnya.
"Keluar untuk beli camilan, mbak. Mbak Ina sendiri mau ke mana?" tanyaku padanya.
"Aku cuma mau ke depan, cari nasi goreng, kupikir udah kenyang karena tadi makan ubi rebus, eh sekarang lapar. Kayaknya badanku makin melar deh," kata mbak Ina memerhatikan tubuhnya.
"Nggak mbak, mbak tetep kayak biasanya. Punya badan yang ramping meski sudah punya anak," kataku memuji.
"Bisa aja kamu, Mir. Oh ya, jangan lupa sama pesenanku besok ya, kamu tambahin botok tahu tempe kemanginya, pihak kantin sekolah pada seneng tahu kamu mau titip makanan itu ke kantinnya," kata mbak Ina dan aku mengangguk.
Mbak Ina pergi dari hadapanku, takut nanti keburu antri panjang sedangkan perutnya sudah meronta minta untuk diisi.
Aku ingin masuk kembali ke kost menunggu mas Prima, tapi kayaknya di bawah sana sedang ramai orang berkumpul. Tempat kostku ada di lantai dua, jadi dari tempatku berdiri aku bisa melihat ibu-ibu rumah tangga sedang berkumpul main kartu. Mereka tertawa dan terlihat senang bersama-sama. Jadi, aku memutuskan menghampiri mereka dari pada aku bosan di dalam kost.
"Eh, ada mbak Mira, sini mbak kumpul bareng kami," sapa bu Eni padaku. Aku tersenyum padanya. Hampir semua penghuni kost di sini sudah kukenal baik. Total ada delapan keluarga yang ngekost di sini, di bawah ada lima kamar dan di atas ada tiga kamar. Kamar-kamar di atas lebih luas dari pada kamar di bawah dan kamarku adalah yang paling luas dan mahal. Kamar mandinya meski diluar kamar pun antara lelaki dan perempuan berbeda. Dapurnya juga lebih leluasa jika bergerak. Kalau di bawah kamarnya lebih kecil, kamar mandi tetap ada dua, laki-laki dan perempuan berbeda, tapi ukurannya juga kecil, dapur juga lebih kecil, hanya bedanya ada tempat wudlu sendiri yang kadang difungsikan ibu-ibu dibawah untuk cuci baju jika kamar mandinya penuh. Dan ibu-ibu di sini ramah padaku, beda sikapnya pada mbak Ina yang terkesan jutek.
"Mbak Mira deket sama mbak Ina?" tanya bu Eni padaku.
"Ya dekatnya tetangga saja bu," jawabku ramah sembari memerhatikan mereka main kartu. Mereka murni main kartu tanpa adanya uang, tapi yang kalah harus mau wajahnya dibedakin.
"Hati-hati mbak, sekarang ini jamannya pelakor. Mbak Ina kan janda kembang di desanya, takutnya dia godain suaminya mbak Mira," kata bu Hesti padaku. Aku diam dan tersenyum kecil.
"Iya, hati-hati, mbak. Mana suaminya mbak Mira ini kan tampan dan mapan," kata bu Eni padaku kembali.
"Iya, bu. Terima kasih," jawabku. Mendengar semua ucapan ibu-ibu dan nasehatnya padaku, aku jadi cemas dan takut.
"Kita gak begitu deket sama mbak Ina karena ya gitu, takut aja suami kita diembat sama dia, dia kan mapan dan cantik, sapa yang gak mau sama dia? Yang aku heranin, kenapa juga dia harus ngekost di kost-kostan yang khusus orang-orang rumah tangga kek kita, dia bisa kan ngekost di kost-kostan yang kayak anak sekolah atau kuliahan?" tanya bu Eni.
"Mungkin jarak sekolahnya deket sama sini, bu?" tebakku.
"Iya sih, tapi kan mahal, ya," sahut bu Lesti. Aku hanya diam saja.
"Mbak Mira, di tempat suaminya kerja gak ada lowongan?" tanya bu Nira.
"Buat siapa, bu?" tanyaku.
"Anakku ntar kalau dah lulus SMA, biar langsung kerja gitu," jawab bu Nira.
"Masih setengah tahun lagi," jawab bu Hesti.
"Gak papa kan, tanya-tanya sekarang karena kan suami mbak Mira ini manager,".kata bu Nira. Semua mata ibu-ibu langsung memandang ke arahku dengan tatapan takjub.
"Wahh, pantesan ya kamar kostnya paling mahal, ihh, makin hati-hati deh sama Ina. Laki idaman tuh," kata bu Eni. Aku hanya diam dan tersenyum kecil.
"Terus sekarang di mana suaminya, mbak? Belum pulang?" tanya bu Lesti.
"Sudah, tadi ibu-ibu lagi asyik main jadi gak ngelihat kalau suami saya keluar. Dia lagi cari camilan buat saya," jawabku.
"Manisnya," sahut bu Eni, "kalau suamiku boro-boro belikan camilan, uang belanja gak dipangkas aja udah alhamdulillah," kata bu Eni kembali. Ibu-ibu yang lain hanya menanggapi dengan senyuman datar saja.
Aku menemani ibu-ibu main kartu sampai tak tahu waktu, bahkan mbak Ina sudah kembali ke kost lagi. Mas Prima belum ada tanda-tanda kemunculannya. Suasana kota Surabaya yang hidup meski malam hari, membuatku tak tahu sudah berapa lama aku duduk dengan ibu-ibu di bangku kayu persegi yang terletak dekat tempat wudlu dan tiang jemuran.
"Mamak! Udah jam sepuluh malam, loh! Besok kesiangan lagi!" suara bapak-bapak dengan intonasi betawinya membuat bu Lesti menoleh dan tersenyum garing.
Sudah jam sepuluh lebih?
Kemana mas Prima mencari martabak manis?
Sudah hampir empat jam dia pergi?
Setelah bu Lesti pamit kembali ke kamar kostnya karena sang suami menegurnya, ibu-ibu yang lain juga pamit untuk kembali ke kamarnya dengan alasan yang sama, takut kesiangan bangun dan gak bisa masak. Apalagi dapur cuma satu, jadi mereka harus bisa masak cepat karena gantian. Sayur dan ikan sudah mereka bersihkan sore hari dan tinggal memasaknya pagi hari keesokannya, karena jika tidak begitu, maka tak akan sempat memasak sarapan buat keluarga mereka. Hal yang sama juga kulakukan dengan dua tetangga kostku di atas, kami membersihkan lauk dan sayur di sore hari, menyimpannya dalam kulkas untuk diolah keesokan harinya. Karena aku menerima pesanan dari kantin sekolah mbak Ina, aku akan bangun lebih pagi, bahkan sebelum subuh bila perlu kalau pesanannya banyak. Beruntung aktivitasku di dapur tak pernah jadi pertanyaan mas Prima, karena di rumahnya dulu ia juga sudah hapal tabiatku yang bangun lebih pagi.
"Mbak Mira, gak masuk ke kamar kost saja?" tegur bu Eni padaku kalau ia mau beranjak pergi. Aku menggeleng.
"Mas Prima sudah ngabarin bahwa dia sudah dijalan bu, jadi aku akan nunggu dia saja dulu baru masuk ke dalam," kataku. Bu Eni mengangguk lalu dia ijin masuk ke dalam kamarnya dan aku mengangguk.
Dari lima pintu kamar kost, tiga diantaranya sudah tertutup, sedangkan kamar kost bu Eni dan bu Hesti masih terbuka, rupanya mereka berdua menemani sang suami nonton televisi sembari sesekali tersenyum ke arahku. Mungkin mereka tak tega meninggalkanku sendirian di halaman rumah kost ini.
Karena sungkan dengan bu Eni dan bu Lesti, apalagi mereka mencemaskanku, kuputuskan untuk beranjak dan akan kembali ke kamarku.
"Bu Mira," suara seseorang yang memanggil namaku saat aku sudah berbalik dan baru dua langkah menuju tangga ke kamarku, membuatku berhenti dan menoleh ke belakang.
Dadaku seketika berdebar kencang kala di balik pagar kost aku melihat July berdiri menatapku dengan intens.
Apa yang dia lakukan di sini?
Bagaimana dia bisa tahu aku dan mas Prima tinggal di sini?