CINTA YANG KURINDU- 2

1612 Words
“Kamu pasti bisa, Saujana!” monolog Saujana sedang meyakini diri sendiri. Dia turun dari angkot dan menatap dalam-dalam studio foto di depannya. Gedung yang Saujana cari tahu di internet waktu itu kini ada di hadapannya. KNH Studio. Tidak sulit mencari informasinya, termasuk pemilik sekaligus fotografer terkenal Kaindra Nata Habrizi yang lebih di kenal dengan nama Nata. Dia masih muda tapi sudah sukses dengan profesinya. Jujur saja, ini mendebarkan setelah Saujana melihat foto-foto Nata di akun media sosial pribadinya. Lelaki itu sangat tampan meski punya tatapan menyeramkan menurut Saujana, tatapannya tajam dan ada dua garis tato di lengannya yang membuatnya semakin terlihat seram untuk Saujana. Fotografer itu rata-rata playboy. Sepertinya julukan orang-orang yang pernah Saujana dengar sepertinya berlaku pada Nata sedangkan Leo, sama-sama fotografer tapi, Saujana tahu sahabatnya goodboy bukan badboy. Saujana kembali menghela napas mulai melangkah masuk studio. Matanya menatap sekeliling lantai dasar gedung studio. Tempat yang sangat unik di tata sedemikian apik dengan interior di dalamnya serba kayu jati yang mahal, khas tetapi lebih terlihat jiwa seni karena beberapa potret yang Saujana yakini hasil jepretan lensa Nata terlihat mewah menjadi daya tarik tersendiri. Menjadi identitas potret hasil bidikan lensanya. Ruang dasar ini tidak ubahnya seperti ruang pameran foto. Namun, tiba-tiba napas Saujana tercekat sesak dan merasa menjadi tidak pantas berada di sana. Beberapa orang yang berjalan maupun ada di sana, berpakaian sangat modis meski tidak formal. Saujana menghela napas. Dirinya salah kostum, terlalu formal dengan celana bahan berwarna krem muda, kemeja flanel dengan garis berwarna senada dengan celana dan dasar baju putih. Tak ada aksesoris melengkapi, seperti jam tangan mewah. Satu-satunya yang terbaik tas putih yang di bawa, tas hadiah dari Leo. Saujana menunduk pada sepatu kets putih yang warnanya sudah memudar. “Astaga, ini lebih cocok dipakai ke Mall atau bahkan nggak pantas di pakai lagi!” gumamnya mulai tidak percaya diri. Tapi, tekat Saujana sudah bulat pantang pulang sebelum dapat hasilnya! Dia melangkah mendekati keamanan di sana untuk bertanya ruangan wawancara. “Siang, mbak. Mau bertemu siapa?” tanya keamanan yang memakai seragam serba hitam itu, bahkan bapak-bapak ini jauh lebih modis dari Saujana. Jam yang melingkar di tangan jelas cukup punya nilai jual, Yah di pasaran laku dua ratus ribuan. Nilai Saujana. Saujana mengeluarkan kartu pemberian Leo, saat itu dia ingat sebelumnya tidak kabari Leo jika dia sudah di studio tempatnya bekerja. Aish, bodohnya diriku! Mengutuk dirinya sendiri, dalam hati. “Mbak...” tegur bapak keamanan tersebut. Saujana sedikit lamban barusan, “Oh ini, Pak. Saya mau wawancara.” “Oh yang melamar jadi asisten Pak Bos?” “Pak Bos?” ulang Saujana. Keamanan tersebut tersenyum, “Belum mulai, mbak. Masih menunggu Pak Boss datang.” “Memang wawancaranya langsung sama Na—hm maksud saya Pak Nata?” tanya Saujana, pintar-pintar mengapa lemot berpikir sekarang?! Ah, ini pasti karena terlalu lama menganggur! Leo benar, sekarang terpenting dia bekerja dan mengasah otaknya dari pada diam saja di panti. “Lho mbak ini, bagaimana! Lowongan pekerjaan ini untuk jadi asisten pak Nata, makanya wawancara langsung sama beliau.” omel keamanan tersebut. Saujana mengaruk tengkuknya, malu. “Jadi, saya tunggu di mana, pak?” “Naik ke lantai paling atas—nah itu Pak Nata sudah datang!” Tidak selesai bicara pada Saujana, dia berlari dekati sebuah Mobil SUV hitam metalik yang berhenti. Bapak keamanan tadi membukakan pintu untuk lelaki yang keluar dengan pakaian super santai. Celana Jeans biru dengan model robekan di lutut, kaos putih melekat di tubuh atletis, tidak menutupi bentuk tegap dadà dan bahunya yang lebar. Kaca mata hitam membingkai mata, menambah kesan Manly. Susah payah Saujana menelan saliva saat tatapan matanya melihat dua garis tato di tangan Nata. Langkahnya pasti melewati depan Saujana, bertepatan dengan angin berembus membuat indra penciumannya bisa menghirup wangi khas oceanic dari parfum Nata. Tiga langkah dari posisinya berdiri, Nata berhenti dan berbalik membuka kaca matanya dan menatap Saujana yang masih terpaku menatapnya. “Kamu, anak baru? Saya baru lihat kamu.” katanya. Saujana mengerjap, lidahnya kelu tapi berusaha untuk sopan tetap menjawab Nata. Tidak ada yang tahu nasibnya nanti, kalau diterima artinya Nata akan jadi bosnya. Saujana mengangguk. “I-iya Pak, saya baru wawancara hari ini.” Nata menatap datar lalu tidak ada kalimat apa pun lelaki itu berbalik dan masuk ke lift. Saujana masih mematung, tatapan mata mereka kembali bertemu sampai pintu lift tertutup. Pagi itu adalah pertemuan pertama Saujana dengan Nata. Sedikit kaku dan canggung, para pelamar yang datang sangat banyak hari itu tapi, dari sekian banyak Saujana lah yang di terima menjadi asisten Nata. ***  Satu bulan berlalu... Bekerja dengan Nata itu sulit-sulit mudah. Membuat Sulit, Nata sering menguji kesabarannya. Saujana masih belum terbiasa dengan sikap Nata yang egois menuntut, suka memerintah seenak hati. “Kopi buat Pak Boss?” tanya Leo, pagi ini berpapasan dengan Saujana. Meski satu tempat pekerjaan, Saujana jarang bertemu Leo yang lebih banyak bekerja di luar studio apalagi jika ada projek foto prewedding diluar sampai luar negeri. “Buat siapa lagi?!” jawab Saujana menghela napas panjang. “Capek, ya?” Saujana mengangguk tapi segera menggeleng kecil. “jadi capek, apa nggak?” tanya Leo lagi. Saujana menghela napas, “nggak boleh mengeluh, harus bersyukur!” Mengingat kata-kata Ibu panti saat Saujana hampir menyerah. Leo tertawa, “Nata rewel?” “Rewel seperti bayi sih nggak, cuman menyebalkan aja.” Jawab Saujana. Drrrt! Drrttt! Satu pesan masuk tidak perlu membukanya, nama Nata muncul saja sudah membuat Saujana tahu jika bosnya tidak suka menunggu. “Bye Leo, Nata udah kasih peringatan aku harus kembali!” Saujana berlari kecil. “Hati-hati kalau kopinya tumpah Pak Boss bisa murka!” kalimat jahil Leo masih terdengar Saujana. Tapi, sebagai pengingat untuk dia hati-hati. Semua itu bisa terjadi jika dia ceroboh. Kerja sama saya mudah, cukup jujur dan tidak ceroboh. Kata Nata saat di hari pertama Saujana bekerja. Mudah my ass! Nyatanya banyak sekali yang membuat Saujana hampir menyerah, sayang saja gajinya besar, sama atau lebih banyak jika Saujana bekerja di perusahaan sesuai pendidikannya. Tok... tok... tok! Saujana mengetuk ruangan Nata, dia pernah ceroboh saat masuk tidak mengetuk berakhir kutukan dari bosnya. Nata dan pacarnya terganggu karena kemunculan Saujana tiba-tiba. Jujur saja, wanita-wanita bersama Nata entah pantas di sebut pacar atau bukan karena satu bulan bekerja dengan Nata, sudah empat wanita berbeda yang Saujana lihat. Saujana menarik napas dalam-dalam, menghilangkan debaran jantungnya setelah bergerak cepat dan menjaga kopi panas di tangannya tidak terlepas. Cekrek! Satu tingkat lebih kencang jantungnya malah semakin berdebar. Saujana mematung saat suara kamera dengan Nata yang memegang kamera tersebut mengarahkan lensa pada pintu, tepat Saujana masuk. Nata memotretnya? Setiap lelaki itu memegang kamera, Saujana akui Nata semakin tampan dengan tatapan serius. Seperti Leo, sahabatnya yang terlihat menyatu dengan kamera di genggamnya. “Kenapa diam saja? mana kopi saya?!” tegur Nata, tak merasa bersalah sudah membuat Saujana terkejut. Memang siapa yang membuatnya diam? Mematung kayak orang bodoh begini! Saujana mengutuk Nata di dalam hati. Cepat-cepat Saujana melangkah memberi kopi tersebut. Nata menyimpan hati-hati kamera kesayangan dan mulai menikmati Espresso, minuman kopi favoritnya. “Kamu minta tim bersiap untuk pemotretan, sore ini kita ke puncak.” perintahnya, Saujana mengangguk. “Saya belum selesai bicara.” Kata Nata lagi mengurungkan niat Saujana untuk berbalik dan keluar. “Ada lagi, Pak?” tanya Saujana berusaha menekan emosionalnya. Tidak ada pekerjaan yang mudah, ada risiko dan pasti lelah. Meyakini itu untuk membuat Saujana terus bersyukur, setidaknya dia tidak menganggur lagi. Gajinya bisa membuat Saujana mulai mandiri dan membantu adik-adiknya di panti. Tatapan mata Nata seakan menusuk, Saujana menundukkan kepala, entah mengapa selalu menimbulkan perasaan asing di dadànya setip kali bertemu tatap dengan Nata. Maka, lebih baik dia menghindar saja. “Kamu selalu menunduk jika bicara coba tatap lawan bicaramu, Saujana!” Cara Nata menyebut namanya lengkap, terasa berbeda. Padahal semua orang memanggilnya begitu. Saujana menghela napas akhirnya lamban mulai mengangkat wajah menatap Nata. Lelaki itu bersandar di sisi meja bersedekap membuat tangan terlihat kuat dan tentu menakutkan dengan dua garis tato yang melingkar di sana. “Kita akan menginap—“ “Apa pak?” “Menginap karena besok ada pemotretan pagi di tempat yang sama.” “Saya ikut?” Nata berdecak, “kalau kamu nggak ikut, siapa yang mengurus saya?” Kalimatnya ambigu, Saujana mengerutkan kening. “Saya belum jelaskan tugas kamu, Saujana?” tanya Nata lagi. Saujana menggeleng tak yakin. “Kalau kita haru bekerja keluar studio, menginap. Kamu nggak hanya jadi asisten mengurusi pekerjaan tapi mengurus saya. Makan dan segala halnya. Sudahlah, kamu nanti akan tahu.” Saujana mengangguk meski belum paham. “Saya permisi, pak.” “Iya.” Jawab Nata. “Wanita itu, nilai akademiknya tinggi tapi terlihat tidak berpengalaman.” Kalimat Nata terakhir ini masih terdengar oleh Saujana. “Jika memang yang dibutuhkannya sudah berpengalaman, mengapa di antara semua aku yang di terima?” jawab Saujana pelan. “Saujana, kamu mengatakan sesuatu?” tegur Nata menangkap gumaman tak jelasnya. Saujana berbalik di depan pintu, dengan gerakan cepat menyangkal. “Oh, nggak pak!” Nata masih menatapnya intens, lelaki itu mengulum bibirnya. “Jangan coba-coba mengeluhkan saya di belakang, kalau ada yang nggak membuat kamu nyaman. Lebih baik, katakan langsung pada saya.” Dan Saujana berjanji mulai sekarang tidak akan mengeluhkan Nata lagi atau posisinya terancam. Sekarang dia akan bertahan sampai dapat pekerjaan yang sesuai. Sayang, waktu terus berjalan dan Saujana masih tidak bisa ke mana pun, terikat pada Nata. Tetap menjadi asistennya, sedikit banyak perubahan, Saujana mulai mengenali karakter Nata yang memudahkan adaptasi dan Saujana bisa menghindari keluhan Nata tentang pekerjaannya lagi. lama-lama Saujana mulai terbiasa dan nyaman. Pekerjaan berat terasa wajar dengan hasil yang Saujana dapatkan setiap bulannya, belum lagi Nata sebagai bos sangat royal padanya. Bekerja di sana perlahan mengubah hidup Saujana. To be continued...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD