Ramai, begitulah suasana rumah yang ditempati selama dua puluh tiga tahun hidupnya, tidak pernah sepi. Pagi-pagi sudah terdengar suara-suara, mulai dari teriakan ceria, tawa bahagia pada anak-anak penghuni panti asuhan Mentari. Tempat yang mereka sebut rumah ini, meski bukan rumah normal seperti anak-anak beruntung lainnya, tetap menjadi keberuntungan bagi anak-anak yang tidak punya orang tua apalagi tahu asal-usul darah yang mengalir di tubuhnya berasal dari mana.
Seperti Saujana, selalu bertanya pada Tuhan.
Mengapa nasib hidupnya seperti ini? tidak mempunyai orang tua.
Saujana tahu jika ibunya meninggal saat melahirkan dirinya. Sebatas itu, sisanya Saujana tidak tahu siapa ayahnya atau masih punya keluarga.
Malang betul.
Namun, semangat berjuang ditanamkan Ibu panti tempatnya berasal, Saujana tumbuh menjadi gadis ceria dan cantik. Cerdas membuatnya diterima di sekolah terbaik dengan beasiswa sampai dia Lulus kuliah. Saujana sudah merencanakan hidupnya, seperti anak lain jika sudah bekerja, akan keluar dari panti dan hidup mandiri. Sayang, nasib kembali mengujinya.
Otak cerdas, nilai bagus, tidak menjamin Saujana mudah diterima bekerja sesuai Pendidikan. Sudah enam bulan sejak wisuda, Saujana masih menganggur, dia hanya sibuk membantu Ibu panti mengurus panti dan adik-adiknya. Saujana malu, sudah sebesar ini, masih menumpang di panti seharusnya dia bisa bekerja dan hasilnya bisa ikut membantu panti sebagai balas budinya.
“Telima kasih Ka Saujana.” Suara kecil khas anak yang belum bisa mengucap huruf ‘R dengan benar.
Saujana tersenyum, mencium pipi Bintang hingga menghirup aroma kayu putih dan bedak bayi. Bintang, anak perempuan berusia lima tahun, punya nasib sama dengannya.
Dia baru saja membantu Bintang mengepang rambut panjangnya, semua penghuni Panti yang berusia di bawahnya, Saujana anggap sebagai adiknya.
“Sama-sama Bintang.” Balasnya, lalu Bintang berlari keluar untuk bermain dengan saudara lainnya.
Saujana menghela napas, menatap kamar besar dengan tempat tidur bertingkat. Satu kamar biasanya di huni sepuluh anak, mereka harus siap berbagi apa pun tinggal di panti ini. kamar anak perempuan dan laki-laki di pisahkan.
Bergerak, Saujana mulai merapikan tempat tidur anak-anak, meski mereka sudah dilatih mandiri sejak dini seperti membersihkan dan merapikan tempat tidur, tetap saja Saujana akan kembali merapikan lagi. Ini keseharian dia pasca lulus kuliah setelah enam bulan dan belum mendapat kerja.
“Ka!” panggilan Bintang kembali terdengar.
Saujana menoleh, “Ya, Bintang?”
Bintang memegang sebuah coklat, khas pemberian seseorang yang dihafal Saujana. Sudut bibirnya langsung tertarik, “Ada Abang Leo?” tebaknya.
Bintang mengangguk semangat, “Ada di luang Ibu.” Katanya sebelum berlari kembali.
Tidak menunggu lebih lama lagi, Saujana pun membawa langkah kaki dengan cepat keluar kamar, menuju tempat yang di maksud. Ruang tamu panti, Leo langsung berdiri begitu bertemu tatap dengan Saujana. Leo lebih dewasa dari enam bulan lalu, saat menghadiri wisuda Saujana. Ibu panti dan Leo yang menemaninya hari itu. Lelaki itu punya perawakan tinggi, bahkan saujana hanya sampai dagunya saja jika berdiri tanpa alas kaki. Wajahnya tampan dan selalu memesona.
Leo Chandra, sahabatnya sekaligus lelaki yang Saujana anggap sebagai Kakak sendiri. Perbedaan usia diantara mereka terpaut empat tahun.
Saujana berhenti di depan Leo. “Astaga, kangen banget!” katanya, langsung memeluk Leo.
Ibu panti tersenyum, “Kalian bicara saja, Ibu ke belakang dulu.” Katanya mengerti jika anak-anak asuhnya ingin temu kangen.
Saujana melepas pelukan dan mengangguk, lalu setelah ibu panti berlalu, Saujana menarik Leo. “Mau ke mana, tikus? Sebentar, kameraku.”
Leo melepas tangan Saujana, ikut memerhatikan kamera kesayangan Leo. Hidupnya tidak bisa jauh dari kamera, pekerjaannya juga di belakang lensa profesional sebagai fotografer dan Saujana selalu di paksa jadi model uji cobanya dulu saat Leo belajar.
Saujana ingat, untuk memberi kamera pertama, Leo sampai sekolah sambil bekerja paruh waktu, mengumpulkan uang. Hidup menjadi anak yatim-piatu sejak bayi seperti mereka terbiasa mandiri, memiliki keinginan artinya harus berusaha keras mendapatkannya. Tidak seperti anak-anak normal yang tinggal minta sama orang tua.
Tikus merupakan panggilan kesayangan sekaligus jahil dari Leo sejak kecil. Panggilan ini karena Saujana punya kebiasaan aneh dulu, menggigiti ujung jarinya. Sekarang sudah tidak lagi, Saujana tumbuh menjadi gadis yang cantik dan rapi. Tapi, Leo masih sering memanggilnya tikus.
“Berhenti memanggilku, Tikus. Dasar, kucing!” Saujana tidak terima, membalas memanggil Leo, kucing.
“Leo itu memiliki arti singa, bukan kucing.”
Saujana kembali menarik tangan Leo, mengarahkan langkah mereka. “Sama saja, hanya beda ukuran. Keduanya sama-sama kucing, besar dan kecil.”
“Beda, singa raja hutan lebih keren.”
“Ya... ya... ya! Terserah kamu saja.” katanya.
Mereka sudah berada di taman, berhenti di sebuah pohon terbesar panti yang usianya sudah lebih tua dari usia panti ini berdiri. Tempat favorit keduanya, ketika Leo masih tinggal di panti, sebelum memutuskan mandiri.
Leo berjalan hingga berdiri di sisi Saujana, menatap wajahnya dari sisi. “Bicara di sini saja, lebih santai.” Saujana duduk di akar besar pohon yang menonjol, lalu tangannya menarik Leo untuk duduk bersamanya.
“Kamu ke mana saja? sibuk sekali, ya? Sampai baru ke sini!” Protes Saujana, mencebikkan bibirnya yang malah membuatnya terlihat menggemaskan.
“Biasa aja, bibirnya!” Leo yang gemas, sampai sengaja menarik pipinya.
Saujana mendelik, memukul tangan Leo agar melepaskan pipinya. “Akh! Sakit tahu!”
Leo tertawa, satu tangan lain bergerak memeluk bahu Saujana. “Bekerja di studio baru, membuat aku beradaptasi. Studio ini besar, andalan artis jadi sulit mencari libur.” Enam bulan ini, Leo sudah bercerita jika dia bekerja di studio baru, studio besar milik fotografer terkenal.
“Kamu harus bersyukur, nggak boleh mengeluh. Orang-orang belum tentu dapat kesempatan seperti kamu.” Saujana menjeda kalimatnya, menarik napas dalam-dalam. “Cari kerja sekarang sulit.”
Leo menatap Saujana, “Kamu masih belum dapat pekerjaan?”
“Kalau sudah, ngapain aku di rumah saja. Ini bukan Weekend, aku pasti udah sibuk di tempat kerja!”
Leo menarik tangannya, mengambil sebuah kartu dari saku kemejanya. Terlihat mempertimbangkan lama, menatap kartu tersebut. Saujana penasaran, kepalanya mendekat ikut mengintip. “Apa itu?”
Leo memberikan pada Saujana, lambat Saujana mengambilnya dan terpaku membaca deretan nama studio dan alamat di sana.
“KNH Studio.” Gumam Saujana.
Leo mengangguk, “Aku bekerja di bawah naungan KNH Studio, bekerja bersama pemiliknya yang aku pernah ceritakan, dia masih muda dan menjadi fotografer terbaik selain di Indonesia sampai ke luar negeri. Kaindra Nata Habrizi, pernah dengan namanya?”
Saujana menggeleng kecil, “Nanti aku cari tahu. Hm, KNH singkatan namanya?”
Leo kembali mengangguk, “Ada lowongan pekerjaan, tapi nggak sesuai pendidikan kamu. Pekerjaan sebagai asisten Nata.”
“Kamu, orang dalam?” tebak Saujana. Menyebut orang dalam dengan dua tangan bergerak membentuk tanda kutip.
Leo terkekeh, tangannya terulur mengusap puncak kepala Saujana. “Orang dalam, iya aku kan kerja di sana. Tapi, kalau maksud kamu, kamu langsung kerja karena ajakanku. Itu nggak benar. Aku cuman kasih tahu informasi ada lowongan, kamu tetap akan di tes, wawancara. Belum tentu juga di terima.”
“Oh, aku pikir lewat jalur ekspres langsung di terima.”
“Bos Nata nggak suka cara instan, di tempat kami kejujuran paling utama.”
“Kerjanya nanti apa? jadi asistennya?”
“Iya, kamu merekap pekerjaannya, kalau di kantor-kantor ada sekretaris. Ya, macam itu.”
“Ini nggak sesuai pendidikanku.” Keluh Saujana.
Leo menatapnya lagi, “Sebagai bantu loncatan, sekalian cari pengalaman. Lumayan dari pada kamu belum kerja, iya kan?”
Saujana menghela napas dalam, “Iya sih.”
Leo benar, dia mulai jenuh tetap diam meski tidak keberatan bisa membantu Ibu mengurus panti. Sekali lagi Saujana menatap kartu pemberian Leo, menimbang-nimbang keputusan nanti terbaik atau tidak.
“Kapan aku harus datang?” tanyanya, berhasil menarik atensi Leo.
“Siapkan lamarannya, kamu bisa datang Senin nanti langsung membawa lamarannya dan wawancara.” Kata Leo, lalu dia berdiri menepuk-nepuk celananya membebaskan dari kotoran dan rumput yang menempel. Setelahnya, Leo mengulurkan tangan. “Pikirkan itu nanti, waktuku di sini nggak lama. Sekarang kita habiskan waktu bersama adik-adik. Aku juga sudah lama tidak memotret kamu.”
Saujana menerima uluran tangan Leo, dia mengulum senyum jahil. “Kamu harus membayarku kalau mau aku jadi modelmu!”
Leo menyeringai. “Aku fotografer, kami biasa di bayar. Para model profesional di bayarnya oleh pihak yang bekerja sama dengan agensi mereka.” jawaban yang membuat Saujana berdecak sebal.
“Sudahlah, kalau begitu cari yang lain saja. Aku nggak mau yang gratis!”
“Astaga, tikus ini pelit sekali!" Leo berdecak. “Baiklah-baiklah, aku akan membayarmu.”
Saujana tersenyum lebar sekali, “Bagus—“
“Aku belum selesai bicara, tikus! Aku akan membayarmu dengan semangkuk bakso malang kesukaan kita berdua. Deal?”
“Sekarang yang pelit siapa! Adik-adik mendapat coklat yang harganya lebih mahal, sedangkan, aku hanya—“ kalimat Saujana terhenti saat Leo mengangsurkan coklat sama namun ukurannya lebih besar.
“Jangan menuduh kalau nggak ada bukti!”
“Ya Tuhan, thank you my Leo!” Saujana sampai memeluk Leo.
“Hati-hati, ada kameraku! Harganya lebih mahal, ratusan kali lipat dari harga coklat yang kuberikan padamu!” protes Nata, Saujana tersenyum lebar. Leo, sahabatnya memang yang terbaik. Suka dan duka sudah dilalui bersama, segala resah dan yang Saujana rasa, hanya kepada Leo Saujana bisa terbuka dan bercerita.
“Kenapa senyum-senyum begitu?” tanya Leo, ekspresi Saujana mencurigakan.
Saujana menggeleng kecil, “Hanya sedang bersyukur, aku memiliki kamu sebagai sahabat dan kakak terbaikku!” jawaban Saujana membuat Leo berhenti bergerak.
“Hanya itu?” gumam Leo.
Saujana mengerutkan kening, “Ya?”
Leo menggeleng kecil, lalu mengambil langkah mundur, mulai mengangkat kamera dan mengarahkan lensanya memotret wajah cantik Saujana.
Saujana tercengang, tidak siap dengan potret barusan. “Aku belum berpose!”
Leo menatap hasilnya di layar kamera, senyum melukis di wajah tampannya. “Nggak perlu berpose, you are beautiful as you are.”
“Hah, kamu bilang apa?” Saujana tidak mendengar jelas karena suara Leo yang pelan.
Leo mengangkat wajah, dan tersenyum singkat. “Percuma kamu mau atur pose, kamu nggak akan mengalahkan cantiknya para model!”
Kalimat Leo berhasil membuat Saujana mencebikkan bibir. Ekspresi lucu yang membuat tawa Leo pecah, “Bercanda, tikus!”
Saujana mendekat, dan tersenyum “tetap seperti ini, Leo. Jangan pernah berubah.”
To be continued....