Aroma kue yang baru keluar dari Oven membuat Saujana puas melihat hasilnya sempurna. Sembari menunggu kue-kue itu dingin untuk dikemas, Saujana mencuci peralatan membuat kue yang di pakai tadi. Dia masih pakai baju tidur terusan sampai lutut berwarna kuning dengan motif teddy bear.
Rambut panjang di ikat asal-asalan terpenting tidak membuat helai rambut jatuh ke dalam adonan kue saat sedang membuatnya tadi.
Saujana juga membuat lebih untuk membagi dengan penghuni sebelah kamar kos juga pemilik tempat kos.
“Ah, finish juga.” Monolognya, tangan memegang tisu untuk mengusap keringat di kening setelah selesai mengemas kue-kue yang akan di bawa.
Saujana mulai bersiap untuk ke panti, tiga puluh menit selesai. Dengan rambut basah terbalut handuk kecil, Saujana keluar dan berdiri di depan lemari dua pintu mulai pilih pakaian santai yang bahannya adem karena akhir-akhir ini cuaca di Jakarta sedang panas-panasnya. Jatuh pada T-shirt biru dan celana jeans ripped.
Tidak sampai setengah jam kemudian Saujana sudah siap untuk keluar kos, driver ojek online sudah menunggu di depan.
“Saya segera keluar, Pak. Sebentar.” Beritahunya pada driver ojol.
Saujana membawa tas sling bag, sementara tangannya membawa dua kantung besar berisi kotak kue. Tidak lupa mengunci kamar kos, dia segera berbalik menuju gerbang dan meluncur menuju panti mentari.
Mobil Leo sudah terparkir di halaman panti saat Saujana sampai. Sedangkan lelaki itu sendiri sudah di kelilingi adik-adik panti. Menyadari kehadiran Saujana, semua menatap dan berlari untuk bantu Saujana membagikan kue.
“Harus kebagian semua, nggak boleh ada yang ambil dua sebelum semua kebagian.” Kata Saujana.
Mata Saujana bertemu Leo yang sedang mengendong Bintang di punggungnya seperti koala. Bintang di turunkan langsung berlari pada Saujana.
“Ka Saujana!” Bintang memekik senang akan kehadirannya. Saujana mengambil satu cup cake untuk Bintang.
Saujana berjongkok dan memeluk Bintang, juga mengecupi pipinya. “Apa kabar sayang?”
Bintang menyengir, hingga Saujana mengernyit melihat satu gigi bagian atas bintang yang patah.
“Gigi kamu ke mana?”
Leo berjalan hingga di dekat keduanya, “Jatuh minggu lalu.”
“Ya ampun, pasti sakit?” Saujana mengelus pipi anak perempuan yang kini berusia enam tahun itu.
Bintang mengangguk, “Nangis aku Ka!” lapornya.
“Uluhhh sayangnya Ka Saujana kasihan, kamu lari-lari ya?” Saujana mengelus pipi bulat bintang dengan gemas.
“Iya, lari-lari” Bintang juga sudah bisa bilang huruf 'R' dengan benar. Kemajuan luar biasa.
"Tapi, bisa kan makan kue brownies?" Tanya Saujana menyerahkan kue bagian Bintang.
Anak itu sangat senang, "Bisa! Makasih Ka Saujana!" Bintang juga sematkan ciuman manis di pipi Saujana.
Leo terus memerhatikan. Interaksi Saujana membuat laki-laki itu yakin kelak Saujana akan jadi ibu yang sangat hebat. Lihat saja caranya hadapi anak-anak, sangat hangat.
Suara langkah lain membuat Saujana menoleh pada wanita paruh baya bernama Ayu, pendiri sekaligus ketua pengurus panti yang sudah Saujana anggap seperti ibu sendiri.
Saujana melepaskan Bintang, dia berdiri dan menghampiri Ayu. “Apa kabar Ibu?”
Ayu memeluk Saujana erat, aroma khas seorang ibu membuat Saujana mengeratkan pelukan. “Baik, nduk. Kamu sendiri?”
Saujana mencium pipi wanita itu, barulah menjauh. “Sehat, seperti yang Ibu lihat.”
Ibu panti melirik Leo, “Kata Leo kamu sibuk, jadi baru sempat ke Panti.”
“Maaf ya Bu.”
“Nggak apa-apa, yang penting buat Ibu adalah kamu bisa jaga diri dan jaga kesehatan. Walau banyak pekerjaan, tetap diseimbangi istirahat dan makan yang cukup.” Nasihatnya hangat dan keibuan.
Sudut bibir Saujana tertarik, dia memeluk sekali lagi dengan manja. “Saujana kangen sekali pada Ibu.”
“Kalau begitu kita ngobrol di dalam. Ayo Leo juga ikut.” Ajak Ibu, di setujui Saujana dan Leo.
Bintang yang tidak mau menjauh dari Saujana pun ikut dan di gendong Leo. Bintang sejak bayi masih merah sudah di urus oleh Saujana, wajar jika anak itu merasa paling kehilangan ketika Saujana putuskan keluar dari panti mentari.
***
Setelah banyak bicara dengan Ayu dan sang suami, mereka pun makan siang bersama di panti dengan menu sehari-hari di sana.
Dulu dia selalu bertanya atau mungkin hampir semua anak-anak spesial sepertinya punya ini di kepala...
Apa masakan rumah rasanya sama dengan masakan di panti?
Pasti tinggal bersama orang tua, bisa buat mereka minta masakan yang ingin di makan. Tidak seperti anak-anak di panti, yang sudah bisa makan saja sangat bersyukur tanpa protes menu mereka meski terkadang waktu dulu saat orang-orang dermawan yang mau menyisikan rezeki untuk mereka tidak sebanyak sekarang sampai Ibu Ayu harus pintar mengatur keuangan agar semua anggota panti tidak ada yang kelaparan.
Tapi, kini sudah ada donatur khusus setiap bulan yang menjamin. Meringankan tugas Ibu dan bapak Panti. Awal mulai panti berdiri, semua benar-benar dari pendapatan suami istri itu. Lalu anak-anak yang tinggal di panti Mentari semakin banyak, hingga pendapatan mereka saja kurang dan tidak bisa mencangkup segalanya.
Ibu Ayu dan suami tidak menyerah, dia benar-benar malaikat dalam bentuk nyata. Menyerahkan hidupnya untuk mengurus anak-anak agar tidak terlantar meski di tinggalkan oleh orang tua atau keluarganya.
Saujana menghela napas, tatapan mata menjadi sendu begitu melihat para anak-anak itu bermain di halaman panti. Leo berdiri di sana, menjadi wasit di antara anak laki-laki yang bermain bola dibagi menjadi dua tim dengan jumlah masing-masing sekitar sebelas orang.
Suasana ini yang sangat Saujana rindukan, ramai meski di dalam lubuk hati terdalam tidak bisa menampik ada sebuah rasa bernama rindu pada sebuah keluarga yang bahkan tidak Saujana tahu.
Apa sebenarnya aku masih punya keluarga atau memang hidupku ditakdirkan sebatang kara?
Pasti sudah tidak ada keluarga, bukti sampai sekarang pun tidak pernah ada yang mencari keberadaan aku atau mereka tidak tahu jika aku ada di dunia?
“Saujana, kemari lah!” Teriak Leo dari tengah lapangan. Saujana duduk di pinggir lapangan, diatas rumput yang hijau bersama para anak perempuan dan anak-anak seusia bintang, atau di bawahnya.
Saujana menggeleng, “Mau apa? aku jadi penonton saja!”
Leo mau minta dia ikut bermain bola? Saujana tidak bisa melakukannya, membayangkan akan ada bola yang di tendang mengenai wajahnya saja sudah takut.
Leo tidak menyerah, dia membisikan pada Gilang, anak panti berusia sepuluh tahun. Dia berlari lalu memaksa Saujana untuk ikut, bahkan sampai menarik-narik tangan Saujana.
“Baiklah, aku ikut bermain. Tapi, ganti game.” Kata Saujana setelah berdiri berhadapan dengan Leo.
Leo mengernyit, “Game apa?”
“Apa pun yang bisa di mainkan perempuan dan laki-laki bersama.”
"Bola bisa." Gumam Leo.
"No... no! Apa pun kecuali bola, main layangan atau gulat." Tolak Saujana, Leo malah tertawa dengar kalimatnya.
Anak-anak panti yang lain pun ikut berpikir.
“Jaga benteng, kak!”
“Atau petak umpet!”
“Eh jangan, bosan. Main tikus dan kucing aja sesuai sama Ka Leo dan Ka Saujana!” seru Fani, anak perempuan berusia sembilan tahun.
Saujana dan Leo saling lirik, dan tertarik dengan ide terakhir itu.
“Cara mainnya?” tanya Saujana.
“Yang jadi kucing harus di tutup matanya, lalu mencari tikus dan yang berhasil di tangkap kalah!”
“Oke kita main itu!” setuju Leo.
Gilang lalu masuk ke dalam panti, kembali membawa kain untuk menutup mata serta segulung tali.
Saujana dan Leo yang diminta untuk suwit, mengadu jari dan yang kalah menjadi kucing. Sementara itu anak-anak juga mengambil tali untuk membuat batas agar yang jadi tikus tidak bisa lari keluar melewati batas. Jika melewati batas maka akan di keluarkan dari permainan.
Saujana dan Leo sampai melepas sepatu.
“Kamu memang di takdirkan jadi kucing, My Leo!” Goda Saujana puas, dari dulu kalau mengadu jari atau Suwit, Leo selalu kalah darinya.
Leo mencebik kesal, “Kamu punya sihir ya?”
“Eh, jangan pengecut nggak mau mengaku kalah sampai tuduh aku punya sihir!” mereka malah berdebat karena Leo tidak terima selalu kalah.
Anak-anak yang menyaksikan sampai menggelengkan kepala. “Ka, kalau kalian terus berdebat, kapan kita mulai?” tegur Fani yang di angguki anak lain.
Kedua orang paling dewasa di sana sama-sama menggaruk tengkuknya, malu karena tidak sadar sudah di saksikan adik-adik.
“Saujana jangan ikat kencang-kencang!” Protes Leo kembali terdengar kala Saujana menutup mata Leo.
“Kalau nggak kencang, bisa lepas. Dan kamu nanti curang.”
“Astaga, aku nggak akan curang!” Leo tidak terima. “Argh! Saujana awas ya kamu!” ancam Leo kala Saujana malah sengaja mencubit pinggang Leo yang terasa liat itu.
Saujana mengetes penglihatan Leo. "Jariku ada berapa?" Tanya Saujana memberi tiga jari di depan mata Leo.
"Nggak tahu, mungkin lima." Jawab Leo, benar-benar tidak bisa melihat. Artinya aman.
“Ka, putar Ka Leo tujuh kali baru lepas.”
“Eh nanti Kakak pusing lho!” cegah Leo.
“Memang begitu aturan mainnya Ka.” Jawab serentak Gilang dan Fani.
“Oke, tiga kali aja ya? Please!” mohon Leo, belum apa-apa Saujana sudah tertawa geli melihat tingkahnya.
“Ya udah, tiga kali aja!” kata Fani disetujui semua yang ikut bermain.
Saujana mulai memutar Leo sambil anak-anak serempak berhitung.
“Satu... dua... tiga!”
Leo merasakan kepalanya berputar, matanya gelap hanya mengandalkan indra pendengaran menangkap suara-suara yang memanggilnya. Sementara Saujana berhasil menghindar setiap kali Leo akan menangkapnya.
Keseruan itu membuat mereka lupa sejenak segala hal kecuali kembali seperti masa anak-anak. Keceriaan tanpa beban, tertawa sampai sakit perut.
“My Leo payah!” keluh Saujana ketika Leo berhenti dan membungkuk. Napas terengah-engah. Mulai menyerah sebab tidak ada yang bisa dia tangkap, keringat sudah membanjiri keningnya padahal sudah menjelang sore saat mereka main namun matahari di Jakarta memang panas sampai sore.
“Lihat saja, aku akan menangkapmu tikus!” kata Leo kembali bersemangat.
Saujana terlalu lambat saat Leo berlari ke arahnya dengan tepat, cepat dan berhasil menangkapnya.
Tapp!
Tangan kokoh Leo memeluk pinggang Saujana.
“Arg Leo! Lepas!” Saujana berteriak, apa lagi ketika Leo yang memeluk dari belakang mengangkat tubuhnya. Membawa Saujana berputar lalu kaki lelaki itu lemas dan terjatuh bersama-sama.
“Ya Ampun!” teriak Saujana sampai menutup mata.
Posisi Leo di bawah sementara tubuh Saujana di atasnya, punggung Saujana bertemu dadà Leo. Keduanya tertawa begitu pun anak-anak yang bersorak senang melihat interaksi keduanya.
Leo masih tertawa sambil tangannya melepas kain yang menutup mata sementara satu tangan lain melingkupi hingga di perut ramping Saujana. Kaus Saujana yang terangkat membuat tangan Leo menyentuh langsung kulit perut telanjang tepat di dekat pusar.
Deg... deg... deg...
Membuat Saujana maupun Leo berdebar lebih kencang, entah karena aktivitas permainan yang sejak tadi berlari atau memang sentuhan yang timbul bagai setrum aneh hingga ke setiap saraf.
Saujana merasa canggung, sementara Leo sebagai laki-laki biasa tentu posisi itu sangat rawan untuk pikirannya. Tapi, Leo malah mengeratkan pelukan lalu membawa tubuh mereka bangun hingga posisi mereka terlalu lekat, Saujana di pangkuannya.
“Sini Ka, aku bantu.” Fani mengulurkan tangan disambut cepat oleh Saujana yang berdiri. Saujana mengusap keringat di kening. Dia berbalik dan menemukan Leo yang kembali berbaring dengan tatapan intens pada Saujana.
“Kamu kalah.” Kata Leo dengan senyum semeringah.
Saujana mencebik, tapi tetap mengulurkan tangan.
“Mau tetap tidur di sini?” tanya Saujana kesal karena Leo masih berbaring.
Leo menyeringai, dia menyambut uluran tangan gadis itu tapi setelah berdiri bukan melepas malah menarik Saujana hingga posisi berdiri mereka tidak berjarak dan tatapan mata beradu secara lekat. Lalu usapan lembut terasa mendebarkan kala Leo mengusap keringat Saujana.
“Kenapa pipimu merah?”
Saujana membulatkan mata, tangannya otomatis menyentuh pipi. “Oh... hm.. ini karena matahari!” alasannya.
Leo mengangguk-angguk, “Sekarang giliranmu jadi kucing aku jadi tikus.”
Saujana menepuk-nepuk tangan, rumput kering menempel di sana.
“Sudahi saja, selain aku lelah, kamu terlalu besar untuk menjadi tikus.” Ucapnya santai.
“Lihat, adik-adik... sekarang siapa yang curang? Ka Saujana!” Leo minta dukungan adik-adik yang lain. tapi, Saujana banar-benar suda capek meski permainan itu sangat menyenangkan.
Dia dan Leo merasa tenang sudah pulang ke panti hari ini rasanya seperti sudah berkelana jauh dan bisa pulang ke rumah. Ya, meski bukan rumah seperti anak beruntung lainnya di mana ada orang tua dan keluarga lengkap.
Saujana berharap untuk anak-anak beruntung di luar sana yang masih punya orang tua dan keluarga, agar selalu bersyukur, menjaga, dan sayang dengan yang di punya saat ini. Posisi mereka di inginkan anak-anak seperti Saujana maupun anak yang kehilangan orang tua dan keluarga lainnya.
Untuk semua yang terjadi, Saujana yakin semesta pasti punya rencana hebat untuknya dan anak-anak spesial yang dilatih kuat sejak kecil saat harus hidup tanpa orang tua maupun keluarga.
Saujana tersenyum, pilih menepi dari keramaian sementara Leo masih bersama anak-anak. Dia mengambil tas di dalam ruang tamu panti. Mengecek ponsel dan tercengang dapat sepuluh panggilan tidak terjawab dari Nata sejak dua jam lalu.
“Ya Tuhan... bos? Ada apa ya sampai meneleponku sebanyak ini?!” bisik Saujana dan cemas sekaligus penasaran karena Nata tidak pernah lakukan panggilan sebanyak ini.
To be continued...
.
.
Seru sekali ya Saujana dan Leo...
Masih setia, kan? Una mau cek suara kalian ahh melalui komentar .