Mira duduk di sofa ruang tamu, pandangan kosongnya menatap ke arah jendela yang membingkai gelapnya malam. Sudah berhari-hari, Mira hanya melakukan hal yang sama saat dirinya menyambut malam alih-alih menyambut Connor. Akan tetapi, malam itu, perasaan tenang yang sedikit aneh terserap ke dalam diri Mira saat Connor pulang. Sosok pria itu membawa aura perlindungan yang membuat Mira merasa sedikit lebih tenang, meskipun kebingungan masih menyelimuti hatinya.
“Mira,” panggil Connor lembut, suaranya terdengar penuh kasih sayang. Dalam genggamannya, Connor membawa sebuah buket bunga tulip berwarna putih, bunga yang entah bagaimana, terasa sangat familier bagi Mira. "Aku membawakan sesuatu yang kau sukai.” Connor memberikannya pada Mira, lalu duduk di sampingnya.
Mira menatap bunga-bunga itu, dan sejenak, ada kilatan kenangan yang hampir berhasil dia tangkap—seberkas bayangan yang tidak jelas, tapi penuh dengan perasaan hangat. Pandangan Mira mendadak menjadi buram dan ia tidak bisa melihat apa pun selain sosok gadis kecil.
Bayangan itu datang begitu tiba-tiba, menghantam Mira dengan rasa duka yang mendalam, meskipun ia tidak tahu siapa anak itu atau siapa yang beristirahat di bawah tanah yang suram tersebut. Namun, perasaan yang menyertai bayangan itu begitu nyata, begitu menyesakkan, seolah-olah bagian dari dirinya yang hilang telah mencoba berbicara padanya, memohon agar ia mengingat sesuatu yang sangat penting.
Mira terpaku, bunga tulip di tangannya terasa dingin dan asing, seolah-olah setiap kelopak putihnya membawa beban emosi yang tak tertahankan. Bayangan gadis kecil itu tidak pergi, justru semakin jelas dalam pikirannya. Gadis kecil dengan rambut hitam yang tergerai di atas bahu, mengenakan gaun sederhana berwarna putih. Pandangan Mira terlihat penuh dengan kesedihan yang dalam. Gadis itu berdiri sendirian di samping sebuah pusara, di bawah langit yang kelabu, dengan tangannya yang mungil menggenggam erat bunga-bunga tulip, sama seperti yang ada di tangan Mira sekarang.
Siapakah dia? Siapa gadis kecil itu? Dan kenapa hatinya merasa begitu terpaut pada bayangan yang seolah-olah harus ia ingat, tapi tak bisa dijangkau oleh pikirannya yang terluka? Mira mengerjap, berusaha mengusir bayangan itu, tetapi emosi yang tersisa masih menggantung, menciptakan rasa kehilangan yang sulit untuk dipahami.
Di saat Mira sibuk dengan lamunannya, Connor berusaha mengganti perban di bahu Mira. “Mari kita lihat luka ini, aku ingin memastikan semuanya baik-baik saja,” kata Connor dengan suara rendah yang menenangkan.
"Connor ...." Mira bergumam lirih, nyaris tak terdengar, suaranya terguncang oleh perasaan yang baru saja menyeruak. "Ada sesuatu yang salah. Aku merasa ...."
Connor, yang sedang sibuk membuka perban di bahu Mira, menatap Mira penuh perhatian. "Apa yang salah, sayang? Apa kau merasa sakit atau ada yang membuatmu cemas?"
Mira menatap Connor dengan pandangan kosong, berusaha mencari kata-kata untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya. "Entahlah. Bunga ini seperti mengingatkanku pada seseorang."
Connor menghentikan aktivitasnya, raut wajahnya berubah menjadi lebih tegang. Namun, ia segera berusaha menenangkan diri. Dengan pelan dan penuh kelembutan, Connor mengusap bahu Mira seperti sedang mencoba menenangkan badai di dalam hati wanita itu. "Mira, kau sedang melalui masa yang sulit. Ingatanmu mungkin sedang berusaha keras untuk kembali dengan cara yang tidak sepenuhnya bisa kau pahami. Ini bisa menjadi bagian dari proses pemulihanmu."
Mira menggeleng pelan, hatinya tidak yakin dengan penjelasan Connor. "Tapi kenapa aku merasa begitu sedih? Seolah-olah aku telah kehilangan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang tak bisa aku ingat tapi begitu nyata."
Connor terdiam sejenak, tatapannya penuh dengan kecemasan. "Mira, aku di sini untukmu. Apa pun yang kau lihat atau rasakan, aku akan selalu ada di sampingmu. Kita akan menghadapi ini bersama."
Mira mengangguk pelan, membiarkan Connor mengganti perban di bahunya. Tangannya bergerak dengan cekatan, tapi ada kelembutan dalam setiap sentuhan yang membuat Mira merasa sedikit lebih tenang. Mira menoleh dan menurunkan pandangan ke luka di bahunya. Bekas jahitannya rapi, tapi tampak aneh di mata Mira.
“Connor,” kata Mira dengan suara pelan, tetapi dipenuhi rasa penasaran yang tak tertahankan, “apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa aku kehilangan ingatan? Dan, kenapa luka di bahuku ini tidak terlihat seperti luka kecelakaan biasa?”
Connor tampak sedikit terguncang oleh pertanyaan itu, dan untuk sesaat, terlihat kegelisahan di wajahnya. Tatapannya beralih dari luka di bahu Mira ke mata Mira yang penuh dengan pertanyaan. "Itu ...." Connor terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Kau mengalami kecelakaan, Mira. Sebuah insiden yang terjadi tiba-tiba dan kau terkena dampaknya."
Mira menatap Connor dengan sorot mata yang ingin tahu lebih banyak. “Tapi, luka ini seperti bukan luka akibat kecelakaan biasa. Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, Connor. Aku bisa merasakannya.”
Connor menarik napas panjang, matanya menghindari tatapan Mira sejenak sebelum akhirnya kembali menatapnya. "Mira, aku tidak ingin membuatmu khawatir. Saat itu ada serangan, mungkin terkait dengan pekerjaanku. Kau terkena imbasnya, tapi aku berhasil menyelamatkanmu. Itulah sebabnya luka itu terlihat berbeda. Ini bukan kecelakaan biasa, tapi aku berjanji padamu, aku akan memastikan kau selalu aman."
Kata-kata Connor menggantung di udara, meninggalkan Mira dalam kebingungan yang semakin dalam. Penjelasan itu tidak sepenuhnya masuk akal, tetapi ada ketulusan di balik suara Connor yang membuatnya ingin percaya. Akan tetapi, perasaan tidak nyaman masih ada, menolak untuk hilang sepenuhnya.
"Mengapa kau tidak memberitahuku dari awal?" tanya Mira, suaranya nyaris gemetar. "Mengapa kau tidak jujur padaku?"
Connor menatap Mira dengan rasa bersalah yang jelas di matanya. "Aku hanya tidak ingin menambah beban pikiranmu. Kau sudah cukup menderita, Mira. Aku hanya ingin melindungimu."
Mira terdiam, merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan dalam perasaan kehilangan ini—bukan hanya kehilangan ingatan, tapi kehilangan rasa percaya diri dan kendali atas kehidupannya sendiri. Namun, di balik semua itu, ada perasaan hangat yang mulai merayapi hatinya. Perasaan yang entah bagaimana membuatnya ingin memercayai Connor meskipun akal sehatnya menolak.
Connor membingkai pipi Mira, jemarinya menyeka air mata yang mulai jatuh. "Mira, aku mencintaimu," bisiknya, suaranya penuh dengan emosi yang tulus. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu."
Mira menutup mata, merasakan sentuhan lembut Connor di wajahnya. Di satu sisi, ia ingin lari dari semua ini, tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin tetap tinggal, tetap bertahan di samping Connor, bahkan ketika semuanya terasa begitu tidak pasti.
“Mira,” bisik Connor, suaranya serak dengan emosi yang tertahan. Dia menundukkan kepala, bibirnya berhenti hanya beberapa inci dari bibir Mira. Ketegangan di antara mereka hampir bisa dirasakan di udara, membuat setiap detik terasa seperti selamanya. Kemudian, perlahan-lahan, bibir Connor menyentuh bibir Mira dengan ringan, nyaris seperti sentuhan bulu. Sayangnya, dalam kehalusan itu, ada intensitas yang dalam—sebuah perasaan yang kuat, mengguncang jiwa mereka berdua.
Ciuman itu dimulai dengan kelembutan yang memabukkan, penuh perasaan, seolah Connor sedang berusaha menyalurkan semua cinta dan kesetiaannya dalam satu sentuhan. Tapi seiring dengan detik yang berlalu, ciuman itu semakin dalam, semakin menggugah, seolah mereka berdua tenggelam dalam lautan perasaan yang tak bisa dihentikan. Tangan Connor bergerak ke belakang leher Mira, menariknya lebih dekat, membuat Mira merasakan seluruh keberadaan Connor dalam setiap gerakan yang dilakukan.
Bibir mereka saling menjelajah, bergerak dalam ritme yang seirama, sementara napas mereka menjadi satu. Dalam kehangatan ciuman itu, Mira merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hasrat—sebuah keinginan untuk mempercayai, untuk merasakan bahwa di balik semua kebingungannya, ada seseorang yang mencintainya tanpa syarat. Namun, meskipun tubuhnya merespons dengan penuh gairah, ada sedikit keraguan yang menggantung di sudut hatinya.
Tepat ketika ciuman itu mencapai puncak dan Mira hampir sepenuhnya menyerah pada keadaan, bayangan seorang pria yang terasa sangat akrab dengan diri Mira tiba-tiba muncul di benaknya. Kenikmatan yang terinterupsi terpaksa disudahi. Siapa lagi dia?