Sentuhan Samar

1150 Words
Di tengah kesunyian yang mencekam, kamar itu seakan berubah menjadi panggung yang dipenuhi bayang-bayang. Tempat di mana setiap gerakan terasa berlebihan, setiap suara menjadi gema yang menusuk kesadaran. Mira menatap Connor dengan keraguan yang tak mampu ia sembunyikan. Connor pun mendekat, menyingkirkan jarak di antara mereka dengan perlahan tapi pasti. "Mira," bisiknya dengan suara yang begitu lembut hingga hampir tersapu oleh udara senja yang menyusup dari celah jendela. Kedua tangannya membingkai wajah Mira. Ibu jarinya menyusuri garis rahang Mira dengan kehangatan yang menggugah perasaan. "Kau adalah segalanya bagiku, satu-satunya yang berarti." Mira terdiam, pikirannya masih terbelenggu dalam kabut tebal yang menyembunyikan kenangan, menyembunyikan rasa percaya. Namun, di sana, dalam mata biru Connor yang menatapnya dengan intensitas seperti laut dalam, ada sesuatu yang menuntut untuk dipercayai. Sesuatu yang meski samar, tapi tetap menarik hatinya untuk tenggelam lebih dalam. Connor mendekat, napasnya yang hangat menyentuh kulit Mira, membawa aroma yang entah bagaimana terasa akrab sekaligus asing. Perlahan, bibirnya menyentuh bibir Mira, begitu lembut, seakan takut akan menghancurkan sesuatu yang berharga. Ciuman itu bukanlah sesuatu yang penuh nafsu, melainkan sebuah pernyataan halus, janji yang disampaikan tanpa kata. Mira membalasnya dengan ragu-ragu, tubuhnya merespons dengan cara yang tidak sepenuhnya ia mengerti, tetapi di dalam d4d4nya ada getaran yang merambat, membawa rasa yang hampir terlupakan. Namun, di balik kehangatan itu, ada duri-duri keraguan yang mencengkram hatinya. Apakah ini benar-benar cinta? Ataukah ini hanya ilusi yang ia ciptakan untuk mengisi kekosongan yang ia rasakan? Ketika Connor menjauhkan wajahnya, mata mereka bertemu dan dalam keheningan yang penuh makna, Mira mencoba mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan. "Aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Connor, suaranya serak dan penuh emosi. "Kau cinta dalam hidupku, Mira." Kata-kata itu menggema dalam kepala Mira, berputar-putar tanpa arah. Ia ingin mempercayainya, ingin meyakini bahwa ada kebenaran dalam tatapan mata pria ini. Namun, bayang-bayang ketidakpastian terus menghantuinya, menariknya kembali ke jurang yang dalam. "Aku tidak tahu, Connor," suara Mira terdengar lemah, seperti bisikan yang tertiup angin. "Aku ingin percaya, tapi semuanya terasa begitu salah." Connor menutup matanya sejenak, seolah menahan rasa sakit yang tak ingin ia tunjukkan. "Aku akan menunggumu, Mira," ujarnya dengan tegas, meskipun ada getaran halus dalam suaranya. "Aku akan menunggumu hingga kau ingat. Hingga kau tahu bahwa aku mencintaimu lebih dari apa pun." Mira hanya bisa menatapnya dengan pandangan bingung, d4d4nya terasa berat dengan beban perasaan yang tak mampu ia uraikan. Apakah pria ini benar-benar cintanya? Ataukah dia hanyalah bagian dari permainan yang lebih besar, sebuah ilusi yang diciptakan oleh takdir yang kejam? Di luar jendela, gelap semakin menyelimuti dan kepahitan merayap perlahan merengkuh hati Mira. Wanita itu semakin terjebak dalam kebimbangan, tak tahu ke mana harus melangkah atau kepada siapa harus percaya. *** Setelah Connor meninggalkan Mira dalam keheningan yang tak terjawab, rumah megah itu terasa semakin mencekam. Hanya ada suara denting jam di dinding yang menggema di setiap sudut ruangan, menegaskan kesunyian yang menggigit. Mira duduk di atas ranjang besar, merasakan dinginnya lantai marmer di bawah kakinya yang kosong. Dengan napas berat, ia mencoba bangkit, meskipun kakinya masih terasa lemah dan gemetar. Setiap langkah terasa seperti tantangan yang harus ia taklukkan, tapi ada dorongan dalam hatinya tidak bisa ia terus hindari. Mira harus tahu lebih banyak. Ia harus memahami di mana ia berada dan mengapa tempat ini terasa begitu asing meski seharusnya menjadi rumahnya. Dengan langkah tertatih-tatih dan tangan menekan bahunya yang dibalut perban, Mira berjalan melintasi koridor panjang yang dihiasi lukisan-lukisan klasik dan vas-vas bunga yang tertata rapi. Dindingnya berlapis kayu mahoni, berkilauan dalam cahaya lampu kristal yang tergantung megah di langit-langit. Namun, di balik kemewahan itu, ada sesuatu yang terasa kosong. Tidak ada foto dirinya, tidak ada jejak yang menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari tempat tersebut. Segalanya terasa asing, seolah-olah ia hanyalah tamu yang tidak diundang di rumah orang lain. Ketika Mira sampai di sebuah ruangan yang luas dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan taman belakang yang indah, ia merasa d4d4nya semakin sesak. Ruangan itu, meskipun begitu mewah, terasa dingin dan tidak ramah. Tidak ada tanda kehidupan, tidak ada kehangatan. Hanya perabotan mahal yang tersusun rapi, seakan-akan ruangan itu hanya ada untuk dilihat, bukan untuk dihuni. Saat itulah seorang wanita paruh baya dengan seragam pelayan yang rapi memasuki ruangan, wajahnya penuh keprihatinan. "Nyonya Sullivan, apa yang sedang Anda lakukan?" tanyanya dengan penuh rasa khawatir. Wanita itu mendekat, menuntun Mira kembali ke sofa, memastikan bahwa sang nyonya duduk dengan nyaman. Mira menatap wanita itu dengan kebingungan yang terpancar dari matanya. "Si-siapa aku?" tanyanya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam keputusasaan yang membelit. "Dan mengapa tidak ada satu pun tanda keberadaanku di sini? Tidak ada foto, tidak ada apa pun ...." Pelayan itu bernama Mrs. Collins. Ia menatap Mira dengan penuh simpati. "Nyonya Sullivan," ujarnya perlahan, "Anda baru saja pindah ke sini bersama Tuan Sullivan. Rumah ini memang masih baru bagi Anda. Setelah kalian menikah, rumah inilah yang menjadi rumah kalian berdua." Kata-kata itu terasa aneh di telinga Mira, meskipun ia mencoba mencernanya. Mrs. Collins melanjutkan dengan suara yang hangat dan penuh perhatian. "Tuan Sullivan sangat mencintai Anda, Nyonya. Ia telah menyiapkan semua ini dengan hati-hati, memastikan bahwa Anda akan nyaman di sini. Semua dekorasi, setiap detail, semua dipilih berdasarkan pilihan Anda." Mira merasa kakinya gemetar lagi, bukan karena kelemahan fisik, tapi karena kebingungan yang semakin merajai hatinya. "Dan aku? Sebelum semua ini, sebelum aku kehilangan ingatan, siapa aku?" pertanyaannya menggantung di udara, sarat dengan kepedihan yang mendalam. Mrs. Collins tersenyum lembut, meskipun di balik senyum itu ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan. "Anda adalah seorang wanita yang kuat, cerdas, dan sangat dicintai oleh Tuan Sullivan. Anda bekerja sebagai pengacara yang sukses, selalu berjuang untuk keadilan dan kebenaran. Anda adalah seseorang yang dihormati oleh banyak orang." Mendengar hal itu, Mira merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Pengacara? Keadilan? Kata-kata itu terasa asing dan tidak nyambung dengan perasaan kosong yang kini tertanam di benaknya. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang mendesak dari dalam hatinya, seolah-olah kata-kata Mrs. Collins adalah kunci yang sedang mencoba membuka pintu di dalam pikirannya. "Tuan sullivan sangat mencintai Anda, Nyonya Mira. Dia telah menunggu lama untuk hari di mana kalian berdua bisa membangun kehidupan bersama di rumah ini," lanjut Mrs. Collins, sambil menggenggam tangan Mira dengan lembut. "Semua ini hanya soal waktu. Anda akan mulai mengingat semuanya kembali, dan saat itu, Anda akan tahu betapa berartinya Anda bagi Tuan Sullivan." Mira hanya bisa mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya, kabut itu masih belum hilang. Mrs. Collins mungkin mengatakan yang sebenarnya, tapi tetap saja, ada sesuatu yang tidak bisa Mira pahami, sesuatu yang menahan hatinya dari menerima semua ini sepenuhnya. Saat Mrs. Collins meninggalkannya sendirian lagi, Mira menatap keluar jendela, ke taman yang tampak begitu sempurna dalam cahaya matahari yang mulai terbenam. Di sana, di tengah keindahan yang tenang, Mira merasakan bahwa di balik segala kemewahan dan perhatian yang ia terima, ada sebuah rahasia yang tersembunyi. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ingatan yang hilang, sesuatu yang mungkin hanya bisa ia temukan jika ia terus mencari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD