“Aku ... tidak tahu,” gumam Mira, suaranya tersedak. “Semuanya terasa salah. Kenapa aku tidak bisa mengingat satu pun momen ini? Kenapa aku merasa ... ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?”
Connor menarik napas panjang, berusaha menenangkan Mira. "Mira, sebenarnya kau adalah seorang pengacara muda yang sangat berbakat. Di usiamu yang ke-28 tahun, kau sudah berhasil menangani beberapa kasus besar. Salah satunya terkait dengan sindikat kejahatan Internasional. Sayangnya, tidak semua orang senang dengan keberhasilanmu. Kau sedang diincar oleh beberapa kelompok yang kuat, baik dari dunia kriminal maupun politik. Kecelakaan yang menyebabkan kau amnesia adalah karena benturan di kepala dan hasil tembakan dari salah satu anggota mafia internasional yang tidak puas dengan keputusan hakim di pengadilan. Kau berhasil membebaskan tersangka pembunuh anaknya. Itu sebabnya aku harus menjagamu, bahkan ketika kau tidak tahu siapa musuhmu. Hidup kita, itu bukan hanya tentang cinta, tapi tentang perlindungan juga. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mencelakaimu."
Mira memejamkan matanya, hatinya terselubung oleh kebingungan dan keraguan. Penjelasan Connor seolah membentuk kabut tebal di pikirannya, membuatnya sulit untuk membedakan mana kenyataan dan mana rekayasa. Jika dia seorang pengacara, mengapa tidak ada satu pun ingatan tentang kasus-kasusnya? Dan jika Connor begitu mencintainya, mengapa ia merasakan ketakutan yang dalam saat ia berada di dekatnya?
Connor membalikkan tubuh Mira perlahan, memaksa wanita itu menatap matanya yang tajam. “Percayalah padaku, Mira. Aku hanya ingin melindungimu.”
Mira menggigit bibir, berusaha menahan kekacauan emosi yang menghantam jiwanya. Mungkinkah Connor adalah pria yang harus ia percayai? Atau ada kebenaran lain yang tersembunyi di balik sikap protektif dan kata-kata lembutnya?
Ruangan itu kembali senyap, hanya terdengar detak jam tua yang menggantung di sudut. Tapi bagi Mira, waktu terasa semakin mendesak. Sesuatu sedang disembunyikan darinya, dan entah kenapa, hatinya yakin bahwa kebenaran itu tidak hanya ada di balik dinding rumah ini, tapi juga di antara orang-orang yang mengelilinginya—Connor, Light, dan siapa pun yang bermain dalam permainan ini.
Connor memandang Mira dengan sorot mata yang berbeda kali ini—bukan penuh kecurigaan, tapi dengan kelembutan yang mengalir dari dalam hatinya. Dia perlahan mendekat, lalu meletakkan tangannya di pipi Mira, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya yang dingin. "Aku tahu kau ragu," bisik Connor dengan suara rendah, hampir seperti doa. "Tapi aku bersumpah, Mira, aku mencintaimu. Aku tak akan pernah membiarkan apa pun atau siapa pun menyakitimu."
Mata Mira menatap jauh ke dalam mata Connor, dan di sana, untuk pertama kalinya, dia melihat kelembutan yang tak pernah dia duga akan muncul dari seorang pria yang begitu kuat, begitu penuh kendali. Hatinya, yang selama ini penuh ketakutan dan kebingungan, mulai luluh oleh kehangatan yang datang dari pria di hadapannya.
"Aku benar-benar ingin melindungimu," lanjut Connor, nadanya sedikit bergetar seolah-olah setiap kata yang keluar adalah sebuah janji yang tak bisa diingkari. "Tidak peduli seberapa banyak kau melupakanku, cinta ini tidak akan pernah berubah."
Mira menelan ludah. Kata-kata itu menembus ke dalam hatinya, membawa gelombang emosi yang membingungkan. Apakah mungkin bahwa pria ini, yang selama ini tampak begitu misterius dan menakutkan, benar-benar mencintainya? Mungkinkah di balik semua rahasia yang mungkin disembunyikan, cinta itu masih nyata, masih hidup dalam d**a Connor?
Perlahan-lahan, Mira meletakkan tangannya di atas tangan Connor yang masih menempel di pipinya, merasakan kehangatan dari kulit pria itu. "Aku ... aku ingin percaya padamu, Connor," bisik Mira, "tapi ada banyak hal yang tidak kuingat. Aku merasa seperti tersesat di dalam hidupku sendiri."
Connor menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya ke wajah Mira. "Kau tidak tersesat, Mira," katanya lembut, napasnya menyapu wajah Mira. "Aku di sini bersamamu. Selalu."
Mira merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Perlahan, dia mengangguk, mencoba menenangkan kekhawatirannya.
"Baiklah," katanya dengan suara pelan. “Aku akan mencoba."
Connor tersenyum tipis, senyum yang hanya sedikit mengangkat sudut bibirnya tapi penuh arti. Tanpa ragu, Connor merengkuh Mira ke dalam pelukannya. Tubuh Mira terselimuti dalam kehangatan tubuhnya yang kokoh dan di sana, dalam dekapan Connor, Mira merasakan sejenak kedamaian yang sudah lama tidak dia rasakan. Rasanya aman, seolah tidak ada yang bisa menyakiti mereka selama mereka bersama.
Connor menunduk, bibirnya menyentuh kening Mira dengan lembut. Ciuman itu pelan dan penuh perhatian, seperti sentuhan seseorang yang takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. Mira memejamkan mata, merasakan ciuman itu meresap ke dalam dirinya, membawa kehangatan yang perlahan-lahan melelehkan kebekuan hatinya
"Terima kasih," bisik Mira hampir tanpa suara, masih dalam pelukan Connor.
Connor tidak menjawab, tapi ciuman itu beralih dari kening Mira ke pipinya, lalu turun ke rahangnya. Bibirnya bergerak perlahan, seolah ingin memastikan setiap sentuhan terekam dalam ingatan mereka yang baru terjalin kembali. Mira terdiam, tubuhnya mulai merespons setiap sentuhan Connor dengan perasaan yang selama ini terpendam.
Mira merasakan napas Connor di dekat bibir sebelum akhirnya, dengan pelan tapi pasti, bibir mereka bertemu. Ciuman itu dimulai dengan lembut, penuh perasaan, seperti dua jiwa yang mencoba menemukan kembali satu sama lain dalam ketidakpastian yang melingkupi mereka. Tidak ada paksaan, hanya ada kehangatan dan ketulusan yang mengalir.
Tangan Connor bergerak ke belakang leher Mira, memperdalam ciuman mereka. Mira membalasnya dengan lembut, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen itu, momen di mana hanya ada mereka berdua. Semua kebingungan dan keraguan yang sempat menguasai pikirannya seolah menghilang, tergantikan oleh perasaan yang tidak bisa dijelaskan, perasaan yang mengatakan bahwa mungkin, hanya mungkin, dia benar-benar bisa mempercayai pria ini.
Saat ciuman mereka semakin dalam, tubuh mereka saling mendekat dengan naluri yang tidak bisa lagi dihalangi. Connor meraih pinggang Mira, menariknya lebih dekat, sementara tangan Mira meremas lengan Connor, mencari pegangan dalam badai emosi yang tengah menyelimuti mereka.
Ciuman itu terus berlanjut, intensitasnya meningkat seiring dengan gelombang perasaan yang terus mengalir di antara mereka. Tapi dalam keheningan dan keintiman itu, ada sesuatu yang tidak terucapkan, sesuatu yang masih tertinggal di balik bayang-bayang yang tak terungkapkan.
Mira menarik diri sejenak, napasnya terengah-engah. Matanya yang berkabut menatap Connor dengan bingung, seolah mencari jawaban yang belum pernah diberikan padanya. “Connor,” bisiknya dengan suara penuh ketidakpastian, “ada begitu banyak hal yang belum aku mengerti. Aku … aku butuh waktu.”
Connor mengangguk, tatapannya lembut, penuh pengertian. “Aku tahu, Mira,” katanya pelan. “Dan aku akan memberimu waktu sebanyak yang kau butuhkan.”
Mira tersenyum lemah, hatinya merasa lega, meskipun di dalamnya masih ada banyak misteri yang belum terpecahkan. Tapi untuk saat ini, dalam pelukan pria yang mengklaim mencintainya, dia memutuskan untuk membiarkan dirinya merasa aman. Setidaknya, untuk sejenak.
Namun, di balik rasa aman itu, bayang-bayang Light kembali menyusup ke dalam pikiran Mira. Ada hubungan apa sebenarnya antara dirinya dan Light, dan mengapa dia tidak bisa melupakan?
Misteri ini belum selesai dan Mira tahu, pertanyaan besar itu masih menunggu jawabannya.