Episode 12

1078 Words
Suasana menjadi hening setelah Aldrich mengeluarkan perintahnya. Jazlyn terlihat jengkel dan masih menatap tajam ke arah Daren yang hanya bersikap acuh. 'Bawahan dan atasan sama saja' pikirnya menghela nafas panjang sambil menimang untuk tinggal di mansion milik Graham. Jazlyn menatap Lucy. Meskipun berat, tetapi Ini kesempatan emas untuknya bisa dekat dengan Aldrich untuk mengawasi pria itu. Dan juga, bertemu dengan Jossie adalah hal yang diinginkan segera. "Bersiaplah… sekarang, Jazlyn!" Gadis itu hanya mengangguk, lalu beranjak dari sofa berjalan menuju kamarnya. Ia masih ragu akan keputusannya ini. Namun, tidak ada cara lain lagi. Ia harus mengambil resiko masuk ke kandang lawan. Jazlyn tidak banyak membawa barang. Hanya koper berwarna silver saja. Barang-barang di sana juga sudah lengkap. Ia pun segera kembali ke ruang tamu. Dari jauh, gadis itu melihat kecanggungan diantara ketiganya. Aldrich hanya diam saja tidak mau memandang Lucy. Semetara Lucy menundukkan wajah dengan cemas. Sepertinya, ada sesuatu diantara mereka berdua yang Jazlyn sendiri tidak tahu. "Lucy!" panggil Jazlyn lembut sampai wanita itu menoleh. Ada bekas butiran kristal di sudut matanya. "Tuan, berikan aku sedikit waktu untuk bicara dengan Lucy." Tanpa satu kata satu pun, Aldrich berjalan dengan angkuh. Keluar dari rumah itu. Sedangkan, Daren mendekat ke arah Jazlyn. "Nona, biarkan saya membawa koper, Anda." Gadis itu mengangguk, lalu menyerahkan koper tersebut. Pria itu pun pergi meninggalkan mereka berdua. "Ada apa?" tanya Jazlyn kepada Lucy. "Aku akan mengunjungimu, tenang saja, Lucy. Dan terimakasih, kau sudah membantuku." Lucy langsung memeluk Jazlyn dengan erat, seperti cucunya sendiri. "Kau harus hidup. Dan berhati-hatilah." Peringatan dari wanita tua itu membuatnya keheranan. "Apa maksud dari perkataanmu, Lucy?" Mendadak, hawa dingin merayapi tubuh Lucy. Wanita tua itu tidak mampu mengeluarkan suara sedikitpun. Merasa ada yang aneh, Jazlyn melepas pelukannya perlahan. "Apakah kau sakit? Wajahmu pucat." Lucy menggelengkan kepalanya perlahan. 'Tolong, jangan buat dia curiga' Setelah bicara dalam hatinya, Lucy baru bisa angkat bicara. "Pergilah, Tuan Graham menunggumu." Jazlyn enggan untuk meninggalkan Lucy. Ia merasa ada yang tidak beres dengan wanita itu. "Pergilah… aku baik-baik saja." Gadis itu mengangguk lalu tersenyum. "Jaga dirimu baik-baik, Lucy." Jazlyn berbalik arah, keluar dari rumah itu. Ia melihat ada mobil berwarna hitam tidak jauh dari rumahnya. Gadis itu berjalan mendekat lalu masuk begitu saja. "Maaf, Anda menunggu lama." Daren menatap Jazlyn dengan seksama. Gadis itu ternyata lebih berani dari yang dikira. Rasa sopan santun yang melekat di tubuhnya sangat rendah. "Jalan!" titah Aldrich di angguki oleh Daren. Pertama kalinya, pria itu membebaskan hukuman bagi seorang manusia yang tidak memiliki sopan santun. Mungkin, tuannya sedang jatuh cinta. Pikir Daren begitu saja. Ia mengerem mobil yang di kemudi dengan mendadak, membuat para penumpang yang ada di belakang tersentak kaget. "Jangan membuatku untuk menghukummu, Daren." Ancaman Aldrich sukses membuat bulu roma Jazlyn berdiri. Ia merasa ada yang aneh dengan pria itu. 'Auranya sangat mengintimidasi' Tanpa sadar, Jazlyn sedikit bergeser, menjauh dari Aldrich. Berada di samping pria itu terasa terintimidasi. 'Apakah ini keputusan yang tepat?' Gadis itu mulai ragu dengan tindakan buru-buru yang diambilnya. "Maafkan saya, Tuan." Daren menjalankan mobilnya kembali dengan perlahan lalu melirik ke kaca di depannya untuk melihat kedua orang beda jenis itu. Selama perjalanan, tidak ada yang bersuara sama sekali. Jazlyn sangat benci keheningan seperti makam. Ia sesekali melirik ke arah Aldrich yang setiap dengan pandangan tajamnya. Jika pria itu lebih lembut sedikit, pasti dirinya sudah jatuh hati. 'Sial!' umpat Jazlyn berulang kali. Perasaan di dalam hatinya mendadak tidak enak saat melihat mansion mewah tidak jauh dari mobil yang ditumpanginya. Perlahan tapi pasti, ia mulai gelisah. Instingnya mengatakan kalau mansion itu adalah sebuah penjara mewah. Aldrich melirik ke arah Jazlyn yang terlihat gelisah. Ia merasa bahwa gadis itu terlihat tidak nyaman. "Kau tidak akan diperlakukan seperti pelayan." Perkataan pria itu membuat Jazlyn menoleh. Kalau pun menjadi pelayan, ia tidak keberatan. Namun, sepertinya hati kecil gadis tersebut menolak keras logika yang telah diambilnya. Saat memasuki gerbang mansion, mata Jazlyn tertuju pada sebuah pohon besar yang rindang. Taman kecil, beserta air mancur di tengahnya. Terdapat dua patung seperti bentuk iblis berada di taman itu. Mobil pun berhenti, puluhan pelayan datang berbaris. Jazlyn sudah terbiasa dengan hal ini. Meskipun begitu, ia masih enggan untuk keluar dari mobil. 'Bolehkah aku kembali!' teriaknya di dalam hati. Sudah terlambat, pilihan yang diambilnya berada di ambang mata. Ia harus melangkah maju ke depan. Pintu mobil pun dibuka oleh Daren. Semua pelayan menunduk hormat kepada mereka. 'Aku merasa tidak nyaman' Jazlyn menatap mansion mewah di depannya. Terdapat beberapa patung yang terlihat akrab. Ia kemudian melihat Aldrich berjalan menjauhinya. Akhirnya, gadis itu mengikuti dari belakang. "Jangan bicara pada pelayan, kecuali dengan Daren." Tanpa menoleh, Aldrich memberi peringatan kepada Jazlyn. Gadis itu hanya mampu mendesis seperti ular. 'Baiklah, aku bisa leluasa tanpa ada yang mengawasiku. "Mari ikut saya, Nona." Daren terus menyeret koper Jazlyn berjalan lurus ke depan, naik ke tangga. Sementara Aldrich menghilang entah kemana. "Ini kamar Anda." Daren membuka pintu berwarna coklat tua. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan. "Jika ada apa-apa, Anda bisa memencet tombol merah itu. Saya akan datang." Setelah mengucapkan perkataan itu, Daren pergi begitu saja. Tinggalah Jazlyn sendirian di ruangan tersebut. Ia menatap kamar bercat biru, terlihat sudah disiapkan. Kemudian, matanya mengarah ke arah boneka yang berada di ranjang. 'Kamera pengawas.' Ini buruk, pikiran Jazlyn tertuju pada boneka itu. Lalu berjalan ke arahnya. Ia memanggil benda itu kemudian melemparnya. "Kenapa ada boneka di sini? Aku tidak suka." Jazlyn melempar tubuhnya ke ranjang. Sesekali, melirik boneka yang jatuh di lantai. Sementara itu, Aldrich mengusap kasar wajahnya di depan laptop. Pria itu mengepalkan kedua tangannya. "Ganti boneka itu dengan barang yang lain." Daren mengangguk lalu beranjak pergi. Gadis bernama Jazlyn itu memang sedikit unik. Tidak seperti gadis lainnya yang suka boneka. Di samping itu, bau tubuhnya juga sangat harum. Berbeda dengan manusia yang sudah ditangkapnya. Mereka cenderung memiliki bau busuk seperti bangkai. Setelah Daren pergi, Aldrich menutup kasar laptonya. Ia bangkit dari kursi, menuju ke arah jendela, menatap langit yang mulai petang. "Gadis itu sudah tidur." Aldrich menghilang begitu saja, berteleportasi menuju kamar Jazlyn. Ia melihat gadis itu tengah tertidur pulas sambil merentangkan kedua tangannya. Tanpa sadar, tangan miliknya sudah mendarat sempurna di pipi Jazlyn. "Kau milikku." Aroma yang keluar dari tubuh Jazlyn membuat mata Aldrich berubah menjadi merah. Ia menghirupnya dalam-dalam, menikmati aroma itu. "Teratai," gumamnya lirih. Baru kali ini, ia menemui manusia yang sangat harum tanpa parfum sekalipun. "Adam b******n," igau Jazlyn tiba-tiba membuat wajah Aldrich menghitam. Pria itu menarik tangannya dengan kasar lalu berbalik arah. 'Aku akan membunuh orang yang akan mengambil milikku' BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD