Bab 1
BAB 1
Seorang perempuan cantik duduk di depan hakim dengan kemeja putih lengan panjang dan celana hitam panjang. Ratusan mata menatap ke arahnya, puluhan blitz kamera tertuju padanya. Hampir semua orang menyorakinya, bukan untuk mendukungnya, namun untuk menghinanya.
Ia hanya diam dan menatap lurus ke arah tiga hakim di hadapannya. Statusnya saat ini adalah terdakwa. Di belakangnya, tepat di jejeran bangku pertama persidangan terdapat pihak keluarga yang merupakan keluarga korban. Tanpa perlu menoleh ke belakang, ia sudah tahu bahwa mereka sedang menatap penuh kebencian padanya.
Sedangkan di samping kiri terdapat ibunya yang mungkin sedang menangis menyaksikan proses penentuan hukuman untuknya. Tak ada lagi harapan, tak ada bukti atau saksi yang bisa membelanya, pengacara dari pihak korban pun adalah pengacara handal dengan bayaran sangat mahal. Berbeda dengan pengacaranya yang biasa saja dan beda kelas.
Ia sudah pasrah dan tak menolak apapun yang dikatakan di pengadilan ini, mulutnya sudah lelah berucap bahwa ini sepenuhnya bukan salahnya. Ada orang lain yang ikut bersalah, tak akan ada percaya tertutama keluarga korban yang nyawa kepala keluarganya sudah tidak ada akibat kelalaiannya. Jika hanya berucap tanpa bukti maka akan dianggap kebohongan di pengadilan.
Pengacaranya tetap berusaha membela dirinya walaupun terus didesak oleh pengacara keluarga korban dengan berbagai bukti dan saksi. Bahkan keluarga korban pun ikut memberikan kesaksian untuk kasus beberapa hari lalu. Hingga akhirnya pengacaranya tak mampu lagi membelanya dan hakim menyatakannya sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan tak disengaja yang terdapat dalam KUHP Pasal 359 yaitu pembunuhan tidak disengaja dengan hukuman selama lima tahun dan ini adalah hukuman terberat untuk pasal ini, keluarga korban akan membuatnya menanggung kesalahannya dengan sangat berat dan ia sudah siap menerima hukuman tersebut walaupun ini bukan salahnya.
Tepat saat hakim mengetuk palu, ibunya langsung pingsan dan terjatuh di lantai pengadilan. Ia hendak berlari ke arah ibunya dan ingin menolong ibunya namun polisi mencegahnya. Ia memohon dan menangis pada polisi namun mereka tak mendengarkan dirinya karena ia sudah dianggap sebagai penjahat.
"Tolong lepaskan aku dulu."
"Ibuku pingsan."
"Aku harus menolongnya."
"Sudah banyak orang yang akan menolongnya, kau harus segera kembali ke dalam sel dan menjalani hukumanmu."
"Aku janji tidak akan kabur."
"Tapi tolong biarkan aku menolong Ibuku."
"Kalian bisa mengawasiku."
Tak ada balasan lagi dari polisi, tangannya kembali diborgol lalu dipaksa keluar dari ruang persidangan. Air mata yang sedari tadi ia tahan selama persidangan langsung jatuh di pipinya saat melihat ibunya dibopong oleh beberapa orang ke dalam mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Setidaknya ia bisa sedikit bersyukur bahwa masih ada orang yang peduli pada ibunya dan mau membantu ibunya.
Sebelum keluar dari ruangan persidangan, matanya tak sengaja bertatapan dengan mata setajam elang milik putera sulung korban yang memberikan kesaksian yang membuat hukumannya lebih berat. Mata itu menatap tajam dan penuh kebencian padanya, ia tak tahan ditatap seperti itu sehingga langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil mengikuti langkah polisi.
"Kau pantas mendapat hukuman itu."
"Tidak, aku tidak pantas mendapat hukuman ini karena aku tidak bersalah."
Ia langsung berhenti melangkah dan langsung menoleh ke belakang sambil menatap tegas ke arah pria itu. Pria itu menganggap ia bersalah, pria itu pasti sangat membencinya namun ia tak akan mengakui kesalahan yang bukan salahnya. Ia sudah mengatakan kebenaran yang terjadi hari itu di pengadilan namun kebenarannya dianggap angin lalu.
[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]