Sudah hampir malam, Rafael masih ada jadwal penerbangan jam 11 malam nanti, ia masih bisa beristirahat beberapa jam sebelum keberangkatannya, Mayra mendengkus karena merasakan perutnya begah, efek terlalu banyak makan. Mayra menatap Rafael tengah berjalan duluan di depannya, Mayra berlari dan menghampiri Rafael.
"Kamu nginapnya di lantai berapa?" tanya Mayra.
"Lantai 15."
"Kalau aku di lantai 10."
Rafael menekan tombol lift, ketika lift terbuka, Mayra dan Rafael masuk ke dalam lift, hanya ada mereka berdua, Mayra sangat bersyukur mendapatkan teman di kota asing ini, jika saja Rafael tak ada, Mayra pasti sangat kesulitan, sedangkan Jovi yang di percayakan Pak Harjum, tak ada kabarnya sejak pagi ketika ia meminta izin pada Mayra untuk melapor terlebih dahulu.
Mayra masih memegang burger di tangannya dan menikmatinya tanpa memedulikan Rafael yang tengah menggeleng dengan senyumnya, saat seperti ini Mayra terlihat menggemaskan menurut Rafael. Mayra tak menyadari ada lelehan saos tomat di ujung bibirnya, membuat Rafael lagi-lagi tertawa.
"Kamu ketawa? Ada apa?" tanya Mayra.
"Apa kamu anak kecil? Kenapa memakan burger itu sampai berhamburan?" geleng Rafael, membuat Mayra menyentuh ujung bibirnya dan memalingkan wajah karena malu.
"Kamu ada tissue gak?" tanya Mayra.
"Aku tidak pernah membawa tissue, buat apa juga?"
"Aish, aku akan melapnya dengan apa ini?" gumam Mayra. Rafael menggenggam tangan Mayra dan membalikkan tubuh Mayra menghadapnya, jantung Mayra berdegup kencang ketika Rafael menatap wajahnya.
"Aku akan melapnya untuk kamu." kata Rafael, lalu-
Cup...
Rafael mencium bibir Mayra, membuat darah Mayra seakan berhenti mengalir seketika, Mayra menjatuhkan burger miliknya karena terkejut akan sikap Rafael saat ini, jantungnya berdegup kencang, bibir Rafael masih bertaut dengan bibirnya, menjilat lelehan saos tomat yang ada di kedua ujung bibir Mayra, Mayra seakan tak bisa memberontak, ia menikmatinya, tentu saja, ia wanita normal yang juga menyukai hal seperti ini, apalagi jika melakukannya dengan pria yang juga ia kagumi.
Rafael melepaskan bibirnya ketika bunyi lift terdengar. Menandakan mereka sampai di lantai 10. Mayra dengan wajah memerah membuat kedua tangan Rafael menyentuh kedua pipi Mayra, rasanya tubuh Mayra saat ini kakuh.
"Kamu sudah sampai." kata Rafael, membuat Mayra tersadar seketika, lalu melihat lift terbuka, Mayra lalu berlari meninggalkan Rafael yang kini masih di dalam lift. Rafael menggelengkan kepala karena sikap menggemaskan Mayra yang malu dan meninggalkannya.
Mayra hendak berjalan masuk ke kamarnya. Namun, tiga pria berotot membuat langkah Mayra terhenti.
"Kalian siapa?" tanya Mayra. Ia gugup dan takut secara bersamaan.
"Serahkan USB itu." kata pria itu.
"Apa maksudmu? USB? Maksudnya?"
"Jangan pura-pura tidak tahu atau kami akan membunuhmu?" tanya pria sangar itu, membuat Mayra penuh dengan ketakutan.
"Pukul saja, Bos. Supaya dia mau mengatakannya." kata pria satunya, dengan bahasa inggris, membuat Mayra menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Saya benar-benar tidak tahu apa maksud kalian, USB? Maksudnya? USB mana?" tanya Mayra, heran.
"Jangan pura-pura, kamu tidak akan tertolong, kami sudah mematikan CCTV, jadi serahkan USB itu dan berikan pada kami." kata pria itu, membuat Mayra bingung meski pria satunya berbahasa Indonesia.
Dua pria lainnya merebut tas milik Mayra dan membongkar isi dalamnya. Namun, tak menemukan apa pun di dalamnya. Mayra menitikkan air mata karena ia sangat takut saat ini, sedangkan Rafael sudah naik ke kamarnya.
"Katakan di mana USB itu? Dasar jalang!" pria sangar itu hendak menampar Mayra. Namun, tendangan dari Rafael membuatnya menjauh dari tubuh Mayra.
Ketiga pria itu beradu tinju dengan Rafael, sedangkan Rafael menyembunyikan Mayra di belakang tubuhnya, Mayra memejamkan mata, berusaha mengatur napasnya karena ia takut terjadi sesuatu padanya dan juga Rafael.
Hanya dengan beberapa pukulan, Rafael akhirnya mengalahkan ketiga pria itu meski tangannya terkena sabetan pisau, membuat tangannya berdarah.
Ketiga pria itu berlari menuju tangga darurat dan naik ke atas atap, helikopter sudah menunggu mereka, entah apa yang di maksud ketiga pria itu, USB apa yang di maksudkannya, membuat Mayra pun bingung menerka setiap perkataan pria sangar itu.
"Kamu gak apa-apa, 'kan? Kamu bisa buka matamu." kata Rafael, menggenggam kedua pundak Mayra. Mayra membuka pejaman matanya dan memeluk Rafael, ia sangat takut, hampir saja ia terbunuh di hotel ini.
Rafael mengelus punggung Mayra lembut, mengabaikannya luka yang ia dapatkan karena sabetan pisau di lengannya. Ia lebih khawatir dengan keadaan Mayra saat ini.
"Aku takut, El." kata Mayra, membuat Rafael mengangguk.
"Mereka sudah pergi." jawab Rafael, membuat Mayra melepaskan pelukannya dan melihat isi tasnya berhamburan, Rafael membantu Mayra memungut satu persatu barang Mayra. Suara lift terdengar, membuat kedua petugas yang berseragam security menghampiri Rafael dengan menundukkan kepala.
"Maafkan kami, Tuan, kami datang sangat terlambat." kata salah satu petugas.
"Apa kalian sudah mendapatkan pelakunya? Mereka melewati tangga darurat."
"Mereka sudah kabur, Tuan, menggunakan helikopter. Namun, Tuan tidak perlu khawatir, kami akan menangkapnya dan mencari tahu pelakunya." kata salah satu petugas itu.
"Baiklah, kalian bisa pergi."
"Namun, anda terluka, Tuan."
"Saya tidak apa-apa."
"Biarkan kami memanggil dokter untuk anda." kata salah satu petugas dan berlalu meninggalkan Rafael dan Mayra.
Mayra melihat darah yang mengalir deras di lantai, membuat Mayra melihat arah darah itu mengalir, kini lengan Rafael terluka parah.
"El, tanganmu-"
"Aku gak apa-apa, sebentar lagi dokter akan datang."
"Tapi-"
"Yang penting kamu gak apa-apa, itu sudah cukup buatku."
"Tapi, El, kamu sudah menyakiti dirimu sendiri karena menyelamatkanku." sesal Mayra.
"Aku akan lebih menyakiti diri sendiri jika melihatmu kenapa-napa."
"Aku gak apa-apa, kok, hanya terkejut saja."
"Baiklah, kamu jangan tidur di kamarmu."
"Terus, aku harus tidur di mana?"
"Kita ke kamarku saja." Rafael lalu menarik Mayra memasuki lift.
Mayra menatap lengan Rafael yang terluka parah karena darah tak berhenti mengalir, Mayra mengambil sapu tangan yang ada di dalam tasnya dan membalut luka Rafael.
"Aku gak apa-apa, Mayra." kata Rafael.
"Gak apa-apa gimana, kamu terluka loh, seorang pilot tidak boleh membuat dirinya terluka." kata Mayra, masih membalut luka Rafael, membuat Rafael tersenyum karena melihat kekhawatiran Mayra padanya.
Rafael lalu menarik Mayra masuk ke kamarnya, membuat Mayra mendengus lega karena ia akhirnya berada di kamar Rafael, trauma itu masih membuatnya takut, sesaat kemudian suara bel terdengar, membuat Mayra bergegas membuka pintu, terlihat dua pelayan hotel, dua petugas security dan satu dokter bersamaan masuk.
"Silahkan periksa, Dok, dia kena sabetan pisau." kata petugas hotel itu.
"Anda seorang pilot, 'kan?" tanya dokter.
"Iya, Dok, ada apa?"
"Anda tidak boleh mengoperasikan pesawat dalam keadaan seperti ini, karena itu hanya akan membahayakan penumpang anda dan anda sendiri juga rekan anda." kata Dokter.
"Apalagi sengatan pisau ini sangat tajam, membuat luka anda harus di jahit dan perihnya akan selalu datang meski anda sedang tidur." kata Dokter, membuat Mayra bingung mengartikannya.
"Baiklah, Dok." kata Rafael yang tengah duduk di tepian ranjangnya.
"Saya akan menjahitnya." kata Dokter, membuat Rafael mengangguk.
Mayra memalingkan wajahnya ketika melihat tangan Rafael kini tengah di jahit. Mayra merasa ngilu dan tak bisa melihatnya, Rafael tersenyum melihat Mayra tengah memalingkan wajahnya, Rafael lega melihat Mayra baik-baik saja, rasa sakit tangannya yang tengah di jahit tak sebanding dengan rasa sakit jika melihat Mayra terluka.
Hampir setengah jam, luka Rafael di jahit oleh seorang dokter ahli, setelah selesai, para pelayan hotel, petugas security dan dokter keluar dari kamar Rafael. Mayra duduk di tepian ranjang tepat di samping Rafael.
Mayra melihat lengan Rafael yang kini di balut perban, Mayra tak tega, apalagi harus membuat Rafael mencelakakan diri demi menyelamatkannya.
"El, maafkan aku." kata Mayra, menundukkan kepala.
"Maaf? Untuk apa?"
"Karena aku, kamu terluka."
"Aku gak apa-apa, Mayra, jangan menyalahkan diri seperti itu. Namun, aku masih tidak paham, sebenarnya orang-orang itu siapa dan apa yang mereka inginkan dari kamu?" tanya Rafael, membuat Mayra sejenak berpikir dan menundukkan kepala.
"Mereka meminta USB dariku. Namun, aku gak tahu, USB apa yang mereka maksud." jawab Mayra.
"USB?"
"Iya, mereka memaksaku mengatakan dimana aku menyimpannya. Aku gak mengenal mereka, melihat mereka saja baru pertama kali, itu juga yang membuatku gak paham." kata Mayra.
"Baiklah, yang terpenting saat ini, kamu baik-baik saja." kata Rafael.
"Makasih sudah menyelamatkanku. Jika, tak ada kamu, aku mungkin akan terbunuh." kata Mayra.
"Iya, Mayra." jawab Rafael.
"Bagaimana dengan penerbanganmu? Batalkan saja dulu, kamu gak boleh mengoperasikan pesawat jika kamu terluka, apalagi pada bagian lengan." kata Mayra, membuat Rafael sejenak berpikir.
"Aku gak apa-apa, aku gak mungkin membuat tanggung jawabku pindah ke orang lain."
"Dengarkan aku, El, kamu lagi sakit, sebagai seorang pilot, melukai dirinya sendiri itu tidak di perbolehkan, kamu gak hanya membawa dirimu sendiri. Namun, rekan kamu dan ratusan penumpang." kata Mayra mencoba mengingatkan.
"Tapi-"
"El, dengarkan aku, kali ini saja."
"Baiklah, aku akan menyuruh Capilot untuk menggantikanku." kata Rafael, membuat Mayra tersenyum.
"Baiklah, kamu istirahat saja, aku akan keluar, panggil aku, jika kamu membutuhkan sesuatu." kata Mayra, beranjak dari duduknya hendak melangkah keluar dari kamar. Namun, genggaman tangan kiri Rafael membuat Mayra kembali duduk di sampingnya.
Mayra berbalik menatap Rafael.
"Ada apa, El?" tanya Mayra.
"Kamu tidak bertanya, mengapa aku menciummu?" tanya Rafael, membuat Mayra merona.
"Aku gak perlu bertanya, karena kamu hanya membantuku menyekanya." jawab Mayra.
Rafael menyunggingkan senyum, "Kamu memang wanita yang polos, Mayra."
"Ish, apaan, sih, sakit dan sehat sama saja, selalu saja menggodaku." kata Mayra, membuat Rafael menggeleng.
"Aku melakukan itu, karena aku suka sama kamu, Mayra, kamu lucu, menggemaskan dan apa adanya, kamu selalu menjadi diri sendiri, itu yang membuatku suka, kamu tak pernah berusaha menjadi orang lain, sama halnya di saat aku menyelamatkanmu malam ini, karena aku menyimpan perasaan terhadapmu." kata Rafael, membuat Mayra membulatkan matanya penuh, mendengar pengakuan Rafael.
"El, aku-"
"Jangan menolakku, Mayra."
"Aku bukan siapa-siapa, El, aku wanita yang gak berguna dan gak bisa kamu banggain, aku mungkin bisa banggain kamu. Namun, kamu gak bisa banggain aku, karena itu aku di khianati oleh mantan kekasihku." kata Mayra, membuat Rafael terkekeh.
"Siapa bilang kamu wanita yang tidak berguna? Jangan merendahkan dirimu, Mayra, aku menyukai seseorang bukan untuk aku banggakan. Namun, untuk aku lindungi." kata Rafael, menggenggam tangan Mayra menggunakan tangan kirinya.
Mayra menatap genggaman tangan Rafael, membuat Mayra menatap Rafael sejenak lalu kembali menundukkan kepala.
"El, kamu-"
"Aku sudah bilang, 'kan? Jangan merendahkan dirimu." kata Rafael, membuat Mayra akhirnya mengangguk paham.
"Kamu mau, kan, menjadi kekasihku?" tanya Rafael.
Mayra menganggukkan kepala. Rafael dengan wajah sumringah memeluk mesra Mayra yang kini tengah tersenyum bahagia. Karena di samping Rafael, Mayra selalu merasakan aman dan nyaman.
"Aku akan melindungimu dan membuatmu bahagia." kata Rafael.
"Hem, iya." jawab Mayra.
Rafael melepas pelukannya dan mengelus pipi Mayra, membuat Mayra terlihat merona dan gugup, baru kali ini jantungnya akan melompat seketika, ketika Rafael menatapnya tanpa berkedip.
"Kamu cantik, kamu juga alami, kamu juga mampu membuat hatiku terpaut." kata Rafael, membuat Mayra menundukkan kepala karena malu. Rafael menggenggam dagu Mayra dan mengangkatnya, ia lalu mengecup bibir Mayra, kedua kali lalu menciumnya lama dan memagutnya.
BERSAMBUNG