Rafael mengemudikan mobilnya masuk ke pelataran parkir Allianz Ecopark, atau dikenal juga dengan nama Ocean Ecopark, adalah taman wisata alam dan keluarga di kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Taman ini di kelilingi pepohonan rindang dan sungai yang asri. Selain itu, terdapat jalur untuk berolahraga, taman bermain, danau wisata, kebun binatang mini, gazebo untuk santai, serta kano dan perahu kayuh.
Pengunjung bisa bermain sambil belajar di tempat-tempat seperti Rumah Lebah, Faunaland, dan Rumah Energi. Outbondholic serta arena paintball juga akan memberi kesenangan seru untuk semua umur. Ada juga Learning Farm yang menawarkan paket belajar bercocok tanam untuk anak-anak. Fasilitas Eco-market dan kedai makanan pun akan melengkapi keseruan di tempat wisata di Jakarta ini.
“Kamu tahu tempat ini?” tanya Mayra, heran, lalu menoleh menatap Rafael.
“Aku tidak tahu. Namun, aku kemari karena melihat keramaian.”
“Tentu saja akan ramai, ini adalah akhir pekan, biasanya tempat ini full kunjungan.” jawab Mayra.
“Ayo, turun.” ajak Rafael, membuat Mayra turun dari mobil.
Mayra tersenyum melihat keramaian yang ada di tempat wisata ini, meski sudah hampir siang. Namun, tak ada yang bergeming sama sekali dari tempat mereka duduk, banyak keluarga juga yang sedang piknik.
“Kita ke kedai itu saja.” ajak Mayra, lalu berjalan memunggungi Rafael. Sebagai pengikut, Rafael menyusul langkah kaki Mayra, sebagai penunjuk jalan.
“Ice creamnya, Bu, dua, ya.” pintah Mayra, “Kamu mau rasa apa?”
“Terserah kamu saja.” jawab Rafael, tanpa menoleh ke arah Mayra, sedangkan ia memandangi setiap keluarga atau pasangan yang melintasi kedai, sungguh pemandangan yang indah dan tempat wisata yang menarik.
“Strawberry saja, Bu.” pintah Mayra.
“Tunggu, ya, Neng, silahkan duduk.” kata pemilik kedai.
Mayra lalu duduk di samping Rafael, melihat tatapan Rafael tertuju pada segerombolan anak kecil yang sedang bermain bola di taman. Mayra tersenyum dan menikmati pemandangan itu seperti Rafael.
“Di sini ramai sekali, ya.” kata Rafael.
“Tentu saja, aku, kan, sudah bilang, ini akhir pekan jadi akan sangat ramai akan pengunjung.” jawab Mayra, sesaat kemudian pemilik kedai membawa dua ice cream rasa strawberry yang sudah di tata di atas mangkok berukuran kecil.
“Kamu memesan rasa strawberry?” tanya Rafael, ketika melihat warna pink.
“Haha … bukannya kamu mengatakan terserah aku saja? Aku suka rasa srawberry jadi aku memesannya.” kekeh Mayra, menyendok ice cream itu ke mulutnya.
“Baiklah, aku suka, kok.” jawab Rafael, membuat Mayra terkekeh.
“Apa kamu senang melihat mereka?” tanya Mayra.
“Iya, mereka sangat lucu dan menggemaskan.” jawab Rafael.
“Tentu saja, anak kecil memang lebih identik dengan kelucuan. Mereka tak ada pikiran sama sekali, mereka memang harus menghabiskan masa kecil dengan baik.” kata Mayra.
“Dulu, sewaktu aku kecil, aku tidak menghabiskan masa kecilku dengan bahagia.”
“Kenapa?” rasa penasaran Mayra, membuat keinginan tahunya membesar, tak mungkin seorang Rafael tidak bahagia sewaktu kecil.
Rafael mendengkus dan tersenyum melihat Mayra dengan lelehan ice cream di ujung bibirnya, Rafael terkekeh, wanita yang kini tengah duduk di sampingnya adalah wanita yang konyol dan menggemaskan, selama ini ia tidak pernah sekali pun nyaman di dekat seorang wanita. Namun, pada Mayra, Rafael merasakan kenyamanan yang luar biasa.
Rafael menggelengkan kepala lalu meraih tissue yang ada di hadapannya, mengambilnya selembar dan menyeka lelehan coklat di ujung bibir Mayra, andaikan saja Rafael berani, ia bisa saja menyeka lelehan coklat itu dengan bibirnya. Namun, ia masih menghargai Mayra sebagai seorang wanita yang menjaga harga dirinya.
“Kamu jorok sekali.” geleng Rafael, membuat Mayra merona.
“Ish.” Mayra begitu kesal, lalu memalingkan wajahnya karena malu, selalu saja ia bertingkah konyol di depan Rafael. Di depan pria asing yang begitu tampan, Rafael terkekeh dan menggelengkan kepalanya.
Siang mulai menampakkan kekejamannya, matahari sudah mulai menembusi kulit, waktunya mencari tempat teduh sekalian makan siang, Rafael tak menyadari waktu cepat sekali berlalu, kini siang menunjukkan pukul 2, membuat perut Mayra sejak tadi mengeluarkan bunyi halus.
Ada apa, sih, dengan diriku? Kenapa aku selalu saja bertingkah konyol di depan Rafael? Konyol sekali. Batin Mayra, sembari memukul jidatnya pelan.
Rafael selalu saja menyadari tingkah Mayra dan tersenyum setelahnya.
“Kita makan siang di sini saja.” kata Rafael, membuat Mayra mengangguk dan tak berani berjalan di samping Rafael, karena malu sejak tadi perutnya berbunyi.
“Ada apa, Mayra?” tanya Rafael, ketika berbalik menatap Mayra yang memilih berjalan di belakangnya.
“Kamu jalan duluan saja, aku akan menyusul langkah kakimu.” kata Mayra.
Rafael menggeleng, lalu menggenggam tangan Mayra, membuat Mayra sontak terkejut karena sikap Rafael, “Jangan pernah malu padaku, meski perutmu mengamuk, aku tidak perduli dan tidak pernah menertawakannya.”
Rafael membantu Mayra untuk duduk lalu memutari meja dan duduk di hadapan Mayra.
“Kamu mau pesan apa?” tanya Rafael.
“Aku pesan nasi goreng saja.” jawab Mayra.
“Baiklah.” Rafael memanggil salah satu waitres pria.
“Iya, Tuan? Anda mau pesan apa?” tanya pelayan hotel tersebut menggunakan bahasa inggris, membuat Mayra lagi-lagi tak paham.
“Kamu bisa berbicara Indonesia saja.” kata Rafael, karena melihat kebingungan Mayra.
“Oh, anda tahu berbahasa Indonesia? Maaf, Tuan.”
“Baiklah, saya pesan nasi goreng 1 dan mie goreng seafoad 1, minumnya es jeruk 2 dan air mineral 2.” kata Rafael, membuat Mayra terkekeh mendengarnya.
Sepeninggalan waitres, Rafael mengangkat sebelah alisnya karena melihat kekehan Mayra yang tak beralasan.
“Ada apa? Kamu terkekeh?” tanya Rafael.
“Kamu memesan mie goreng saja? Di Jerman memangnya ada mie goreng sama es jeruk?” tanya Mayra.
“Mie goreng dan es jeruk di Jerman berbeda dengan di Indonesia.”
“Begitu, ya.” Mayra mengangguk karena paham.
****
Setelah menghabiskan waktu bersama Rafael dari malam kemarin sampai malam ini, Mayra memilih pulang dan Rafael tak lagi menyuruhnya untuk membereskan apartemen karena mengerti kelelahan Mayra menemaninya seharian, besok Rafael memiliki jadwal penerbangan sampai dua hari.
Rafael mempercayakan apartemennya kepada Mayra selama ia pergi.
Suara hentakan kaki terdengar feminim, Tari masih memakai high heels dan menarik kopornya memasuki rumah, Tari membuka high heelsnya dan menghampiri sofa di mana Mayra tengah terbaring lemas.
“May, kamu baru pulang?” tanya Tari, membuat Mayra mengangguk lemas.
“Iya.”
“Dari apartemen Pak El?”
“Iya.”
“Kamu gak menyambutku?” tanya Tari, membuat Mayra bangun dan memposisikan dirinya duduk, Mayra menarik Tari, membuat Tari duduk di sampingnya.
Mayra memeluk sahabatnya itu, “Aku merindukanmu, Tar.”
“Aku, kan, pergi hanya dua hari, kenapa serindu itu?”
“Aku, kan, emang sering merindukanmu jika kamu ada jadwal dua hari di luar kota.” jawab Mayra.
“Baiklah, besok aku gak ada jadwal penerbangan. Kita jalan-jalan saja, gimana?”
“Sepulang kerja, ‘kan?”
“Iya, donk, besok aku harus beristirahat, karena aku pun lelah.”
“Baiklah.”
“Apa ada kemajuan dengan Pak El?” tanya Tari, membuat Mayra terkejut mendengar pertanyaan sahabatnya itu, kemajuan seperti apa yang di maksud Tari?
“Apa maksudmu, Tar? Kemajuan antara majikan dan pembantu?”
“Seharian ini, kan, yang aku dengar, Pak El gak ada jadwal penerbangan, otomatis kalian ketemu, ‘kan? Kamu kan beresin apartemennya.”
“Gak ada yang terjadi juga, aku hanya menemaninya jalan-jalan.”
“Apa? Menemaninya jalan-jalan? Kemana?” Tari histeris dengan pertanyaannya sendiri, membuat Mayra keceplosan, sebenarnya ia tak ingin memberitahukannya pada Tari. Namun, mulutnya mengatakan hal itu begitu saja tanpa ia rencanakan.
“Keliling Jakarta.”
“Ish, itu yang ku maksud kemajuan, May, itu namanya rejeki nomplok loh.” Tari menyikut Mayra, membuat Mayra tersenyum.
“Kemajuan apa, sih? Aku gak ada hubungan apa-apa dengan Pak El, aku juga gak mungkin ngekhianatin kamu, kamu, kan, suka banget sama Pak El.” tepis Mayra, ia kembali membaringkan kepalanya.
“Aku memang suka sama Pak El. Namun, aku hanya batas mengaguminya saja karena dia tampan, bukan berarti aku mau dia menjadi milikku, kamu kayak gak tahu aku seperti apa saja orangnya.” kata Tari, membuat Mayra bersemangat mendengarnya dan kembali membangunkan kepalanya.
“Jadi, maksud kamu, kamu gak menyukai Pak El?”
“Aku suka, May. Namun, hanya sebatas mengagumi saja kok, aku malah berharap kamu bisa jadian sama Pak El atau dekat dengan beliau, karena begitu terlihat Pak El baik orangnya.” goda Tari, membuat Mayra merona.
“Ish, apaan, sih, hubunganku dengan Pak El hanya sebatas rekan kerja doank loh. Aku gak ngeharepin apa-apa ketika aku menjadi pembokatnya.” tepis Mayra, membuat Tari melongo, ia sangat tahu, sahabatnya itu mulai nyaman berada di sekitar Rafael.
“Udah deh, May, aku tahu kok, kamu jangan menyembunyikan apa pun dariku.”
“Apaan, sih, Tar, jangan mulai menggodaku.”
Mata Tari tertuju pada high heels dan tas selempang yang di simpan Mayra di atas meja riasnya.
“Kamu baru beli tas dan high heels itu?” tunjuk Tari.
“Oh, itu?”
“Jangan bilang, Pak El membelinya untuk kamu? Serius?” tanya Tari, dengan wajah sumringah, membuat Mayra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal hanya karena bingung harus mengatakan apa kepada sahabatnya yang keponya luar biasa.
“Dia terpaksa membelikannya untukku karena kejadian yang tak ku harapkan, Tar, kamu jangan menganggap hal itu sebagai perasaan Pak El, kami benar-benar gak ada hubungan apa-apa. Ketika Pak El sedang di teras menungguku, Raihan datang menemuiku, karena ingin cepat menghindari Raihan, aku masuk ke mobil Pak El, aku lupa jika aku hanya memakai sandal jepit dan tanpa tas, aku menyadarinya ketika sudah jauh dari kost. Aku minta ke Pak El untuk mengantarku pulang. Namun, Pak El malah mampir ke butik.” kata Mayra, menjelaskan, ia benar-benar tak ingin sahabatnya itu salah paham.
“Itu sama saja dia perhatian, harga sepatu dan tas itu mahal, May, aku sangat tahu itu, aku, kan, sering beli yang sale gitu dan aku sangat tahu harganya. Gak mungkin juga Pak El mau membelikannya untukmu yang beliau tak anggap siapa-siapanya, kamu mikir, donk, May, jangan bego, cukup deh di begoin Raihan, jangan di begoin sama perasaan kamu sendiri.” kata Tari, membuat Mayra kehilangan alasan.
“Jangan mikir yang aneh-aneh, Tar, kamu salah loh, jika berpikiran sejauh itu.”
“Kenapa aku harus salah coba? Aku tuh sudah tahu banyak pria di luar sana dari yang bule dan lokal, aku tahu setiap perlakuan seorang pria jika dia menyimpan perasaan terhadap wanita yang di sukainya.”
“Kamu ih, jangan berpikir hal aneh deh, aku ini bukan siapa-siapa, aku ini gak berguna juga, ngapain Pak El suka sama aku, kamu terlalu nonton drama.” tepis Mayra, tak ingin kecewa pada harapan yang di berikan Pak El, jadi ia hanya menganggap bantuan Pak El hanya bantuan kepada sesama manusia.
BERSAMBUNG