Sungguh, ini membuatku malas jika harus menjadi pembantu dalam sehari, aku harus mengerjakan pekerjaan ini demi mendapatkan uang, karena aku memang membutuhkan uang, dulu aku juga sampai bekerja parttime di salah keday di Jakarta. Namun, karena pernah hampir di rampok, aku tak lagi bekerja dan lebih fokus pada perusahaan maskapai ini.
Lift terbuka, membuatku mencari kamar dengan nomor 551, aku mencarinya dan apartemen pria asing itu berada di pojok yang pintunya menghadap ke jalan.
Aku bergegas menghampiri pintu dan menekan password yang telah ku dapatkan dari Ibu Danessa, ketika pintu apartemen terbuka, aku masuk dan melihat seisi apartemen pria asing ini begitu kotor dan banyak pakaian juga beberapa botol minuman yang kosong, semuanya berserakan tak terarah, pria asing ini memang hidup di negara lain. Jadi, sudah wajar baginya menikmati setiap miras yang ada, ada beberapa botol wine, botol wiski dan beberapa kaleng bir menjadi pemandangan yang menyakitkan mataku. Dengan beberapa kresek cemilan. Apa pria ini hanya makan cemilan dan minum miras? Terus, dia tak makan berat seperti nasi?
Aku menaruh tas kerjaku dan membuka jas kerjaku, aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum pria asing itu pulang. Aku tidak tahan berada di sini, sedangkan aku adalah tipe wanita yang menyukai akan kebersihan. Karena harus bekerja keras, aku mengikat rambutku asal dan mulai mengepak semuanya, semua barang-barang yang seharusnya ada di sampah, membuatku memungutnya satu persatu dan membuangnya di kresek hitam yang berukuran sangat besar. Aku memang membeli kresek hitam untuk membuang sampah.
Rumah ini benar-benar berantakan, baju yang harusnya ada di mesin cuci membuatku menyatukannya di keranjang cucian, rumah ini terlihat kosong. Namun, berantakan membuatnya ramai, seakan yang tinggal di tempat ini ada puluhan orang.
Dua jam kemudian, aku sudah membersihkan bagian ruang tamu, aku sudah menyapu dan mengepelnya, juga menelfon bagian pembuangan sampah, untuk menjemput sampah di depan pintu. Aku juga menggiling pakaian kotornya ke dalam mesin cuci, jika saja Tari ada, dia sudah pasti membantuku dengan senang hati untuk membereskan rumah pria asing ini.
Karena lelah membuat lelap menjemputku, aku berbaring di sofa dan mulai memejamkan mataku, membiarkan mesin cuci berputar otomatis, aku juga membeli beberapa makanan yang sudah ku siapkan di atas meja, semua itu karena perintah Ibu Danessa, wanita yang cantik dan memiliki anak bayi, aku hanya bisa menolongnya dengan alasan kasihan terhadap bayi kecilnya.
****
Aku terbangun dari tidurku, karena mendengar suara hentakan kaki yang begitu sangar, aku terkejut dan melihat sekeliling, syukurlah pria asing itu belum pulang, aku harus bergegas pulang, ku ambil jas kerjaku, tas dan memakai sepatuku untuk meninggalkan tempat yang tadinya seperti kandang ayam dan sekarang terlihat lebih seperti hotel bintang lima, saking bersihnya.
“Kamu mau kemana?” suara pria asing itu membuatku memejamkan mata karena aku kedapatan tidur sejak tadi, jadi pria itu sudah pulang? Oh… tuhan, itu membuatku sangat malu.
“Saya harus pulang, pekerjaan saya sudah selesai dan jemur sendiri pakaianmu, saya sudah mencucinya dan mengeringkannya.” kataku, hendak melangkahkan kakiku.
“Jangan pulang dulu, ini perintah.” kata pria asing itu.
“Apa ada lagi yang harus saya kerjakan? Saya sudah mengerjakan semuanya, saya juga sudah merapikan kamar dan membuang sampah, mencuci juga sudah, meski tidak ada dalam deretan perintah Ibu Danessa.” kataku.
“Saya tahu, karena itu, temani saya makan.” kata pria asing itu, membuatku menoleh tak percaya. Menemaninya makan? Itu tidak ada dalam deretan perintah Ibu Danessa, kenapa aku harus menemaninya makan?
Aku lalu duduk di hadapan pria asing ini, ada perasaan ragu plus perasaan tak enak karena baru pertama kalinya kami bertatapan muka seperti saat ini, waktu di kantor ia melihatku. Namun, tak sedekat saat ini, aku berusaha mengatur irama jantungku mengabaikan malam yang sudah menjemput.
“Apa kamu yang membeli makanan ini?” tanya pria asing itu.
“Iya, maaf saya tidak tahu bagaimana seleramu, jadi saya hanya membelinya, kulkas juga sudah ada isinya, ada makanan siap saji juga.” kataku.
“Apa Ibu Danessa yang memerintahkanmu?”
“Sudah pasti beliau, karena beliau adalah orang yang bertanggung jawab atas dirimu selama di Indonesia.” kataku.
“Kenapa kamu melakukannya? Perintah atau uang?”
“Dua-duanya, saya bukan wanita yang munafik, saya melakukannya karena perintah dan uang, karena mengerjakan semua ini juga ada bayarannya, jadi tidak ada salahnya saya mencoba.” kataku, terserah apa anggapannya padaku, meski itu terdengar murahan.
Pria asing ini terkekeh, lalu meneguk segelas air putih, aku tak tahu apa maksud kekehannya saat ini. Namun, melihatnya terkekeh, membuatku sedikit merasa bahwa pria ini ternyata memiliki senyum yang indah.
“Baiklah, saya memang lebih suka wanita yang apa adanya.” jawabnya.
“Apa?”
“Mau buat kesepakatan denganku?”
“Kesepakatan? Kesepakatan apa?” tanyaku, mataku mencoba melek, agar aku bisa menerka perkataan pria asing ini.
“Aku akan membayarmu untuk bekerja di apartemen ini.” katanya, membuatku tak paham. Namun, aku berusaha memahami apa maksud pria ini, maksudnya dia akan menjadikanku pembantunya dan membayarku, apa lagi?
“Maksud kamu sebagai ART?”
“Tentu saja, tidak mungkin sebagai sekretaris, saya memang membutuhkan ART agar saya bisa melakukan apa yang saya mau, jika membutuhkan bayaran kamu bisa menentukannya. Yang saya butuhkan adalah yang mau bekerja membereskan apartemen, mengurus seragam pilot dan memasak untuk saya, saya tidak suka dengan makanan siap saji, yang saya sukai adalah makanan yang di masak dan yang menyehatkan.” kata Rafael, membuatku sedikit mendapatkan harapan hidup, jika aku bekerja di sini meski lelah. Namun, aku bisa mendapatkan uang dan itu akan membantuku menghidupi kedua orang tuaku di kampung.
Aku sejenak berpikir. Namun, aku tidak mungkin langsung mengiyakan.
“Jadi, saya harus di sini dan bekerja untukmu? Bagaimana dengan perusahaan?” tanyaku.
“Saya tidak menyuruhmu untuk melepas pekerjaan utamamu, hanya datang di sore hari setelah bekerja dan membereskan semuanya, memasak dan siapkan seragam pilot milik saya, setelah itu kamu pulang ke rumahmu.” Mengurus pakaian dan makanan pria asing ini, terdengar seperti seorang pria mencari istri, kenapa tidak menikah saja? Kenapa harus merepotkan diri membayar orang lain.
Aku menghela napas, menurutku itu kesepakatan yang lumayan, “Berapa bayaran buat saya?”
“Tentukan saja, berapa yang kamu mau.”
“Saya tidak bisa menyebutkannya. Namun, bayar saja sesuai pekerjaan saya.”
“Apa itu artinya kamu setuju?”
“Iya, saya memang membutuhkan pekerjaan lain, apalagi apartemen ini tidak terlalu jauh dari kost saya.”
“Baiklah, mulai besok bekerja lah dan datang tepat waktu.”
“Oke.”
“Ya sudah … temani saya makan, lalu kamu bisa pulang.” Perintah pria asing ini.
Aku setuju karena memang membutuhkan tambahan pekerjaan.
Aku dan pria asing ini lalu makan berdua, di pikiranku pria asing ini tak akan sopan padaku di saat kita berdua. Namun, melihatnya makan dan sesekali terkekeh melihat tingkahku yang mungkin membosankan, aku jadi merasa bahwa pria ini sama saja dengan penduduk asli di sini, sederhana dan tidak membosankan.
“Jangan menatap saya, saya tidak suka jika seseorang menatap saya diam-diam.” kata pria asing ini, membuatku menundukkan kepala.
Busyeett… pria ini memiliki tubuh yang indah dan seksi, benar kata Tari, pria ini sangat seksi, tubuhnya yang ideal dan warna kulitnya yang berwarna gelap, membuat semua wanita akan menatapnya sejenak. Tampan. Benar-benar tampan. Ciptaan Tuhan yang benar-benar indah dan sempurna.
****
Meski pria itu memberiku makan dan memberiku gaji. Namun, dia tidak mengantarku pulang, apa yang ku harapkan? Kenapa juga aku harus mengharapkan dia mengantarku pulang? Bukan mengharapkannya. Namun, aku pikir dia tidak memiliki hati nurani menyuruhku pulang sendirian di tengah malam.
Aku masuk ke kost dan melihat Tari tengah memakan mie instant cup yang saat ini tengah di raupnya. Aku melupakan satu hal, Tari tak tahu sejak tadi aku di mana dan dia akan gila plus histeris jika dia tahu, mulai besok aku akan bekerja di apartemen pria yang di kaguminya itu.
“Kamu dari mana aja, sih?” tanya Tari, membuat langkahku terhenti, aku ingin sekali mengatakannya kepada Tari tentang kesepakatan yang aku buat dengan Rafael. Namun, aku belum siap melihatnya histeris. Sumpah!
“Aku mandi dulu dan ganti pakaian, setelah itu baru aku ceritakan.”
“Baiklah, aku menunggu ceritamu itu.” kata Tari.
Aku masuk ke kamar dan menghempaskan tubuhku di atas ranjang mini milikku, aku dan Tari sangat lah berbeda, Tari lebih suka merawat diri dan dia jago bahasa asing di 5 negara, sedangkan aku tidak tahu bahasa Inggris apalagi merawat diri, aku tidak suka hal-hal seperti itu. Mungkin, karena itu Raihan meninggalkanku, selain membosankan, sebagai wanita aku juga tidak berguna.
Beberapa menit kemudian, setelah mandi dan berganti pakaian aku berjalan menghampiri Tari yang tengah maskeran sambil membaca majalah, itu memang rutinitasnya setiap hari jika ia memiliki waktu luang di rumah, aku duduk di sebelahnya dan mengejutkan sahabat centilku ini.
“Njirrr, kamu mengejutkanku, Mayra.” celetuk Tari.
“Haha … aku yang harusnya terkejut dengan masker ini.”
“Kamu mau pake? Biar ku pakaikan.”
“Males ahh..”
“Ya ampun, May, kamu itu wanita loh, rawat diri napa, sih.”
“Baiklah, sini aku pakai satu.” kataku.
“Itu ada di atas nakas.” Aku lalu mengambil masker yang masih ada dalam kemasan dan memakainya satu, aku duduk di sebelah Tari dan merasakan dingin menerpa wajahku, lelahku hilang seketika, karena rasa dingin.
“Leganya.”
“Kamu dari mana, May? Tumben kamu pulang malam, biasanya juga kamu takut pulang malam setelah kejadian rampok itu.”
“Aku dari rumah Pak El.”
Tari bangun dari pembaringannya dan melepas maskernya, sudah ku katakan, Tari akan terkejut jika aku memberitahukannya, bukan hanya terkejut. Namun, ia akan histeris dan menyalahkanku atas sikapku, kenapa tak mengajaknya dan mengapa tak memberitahunya.
“Beneran kamu? Jangan becanda, Mayra.”
“Aku gak becanda, Tari.”
“Kamu ngapain ke sana? Kenapa gak bilang dan gak cerita?”
“Gimana aku mau cerita coba, kalau kamu itu ada penerbangan dari pagi, ketemu aja abru ini kita, jadi gak sempet cerita.”
“Tapi, ngapain kamu kesana?”
“Jadi pembantu.”
“Pembantu?”
“Iya, aku di perintahkan Ibu Danessa membereskan apartemen Pak El, kamu, kan, tahu, aku akan mengerjakannya meski melelahkan asalkan ada upahnya.” Kekehku.
“Jadi, ini persoalan uang?”
“Iya, lumayan buat nambah penghasilan.”
“Tapi, May, kamu ke sana terus apa kata Pak El? Dia bagaimana jika di rumah? Tampan, gak? Aku pengen banget tahu jadi kamu, meski itu hanya jadi pembantu dia, siapa yang gak suka coba? Memiliki majikan tampan dan menawan seperti Pak El.” kata Tari, membuatku menggeleng.
“Pakai saja maskermu kembali.” kataku.
“Jawab dulu, donk, Mayra.”
“Dia di sana, tampan iya, makin tampan iya, dia mengajakku makan malam karena kasihan sejak sore aku membersihkan apartemennya yang sudah mirip seperti kandang ayam, lalu dia menawarkan kesepakatan padaku.”
“Kesepakatan? Kesepakatan apa?”
“Dia menyuruhku dari sore sampai malam untuk membereskan apartemennya, memasak untuk dia dan menyiapkan seragam pilotnya yang akan dia pakai.” jawabku enteng, tanpa bangun dari senderanku saat ini.
“Lalu, kamu setuju?”
“Iya setuju, dengan bayaran yang lumayan, kamu, kan, tahu yang berhubungan dengan uang itu gak akan bisa ku tolak, kehidupan ini keras, Tar, aku harus mencari cukup uang.” kataku.
“Aishh … kamu bagus donk, kapan-kapan pas aku lagi free, aku ikut, ya? Bantuin kamu juga gak apa-apa tanpa bayaran. Aku hanya kepengen lihat Pak El dengan wajah tampannya ketika ia di apartemen.”
“Tentu saja kamu bisa ikut, aku gak sepelit itu, Tari.”
“Thanks, sahabatku tersayang, kamu memang wanita yang gak pelit. Meski matre.” kekeh Tari, membuatku hendak memukul bahunya. Namun, ia dengan cepat menghindariku. Dasar!
“Aku bukannya matre, Tari, aku hanya membutuhkan kelangsungan hidup.” aku menepis perkataan si centil yang sudah beraninya mengataiku. Tari terkekeh mendengar ocehanku.
BERSAMBUNG