“Lo gila ya, Dave?” Deva mendorong tubuh Dave hingga terduduk di tempat tidur. “Gue tahu lo suka sama Maya, tapi gak gini juga.”
“Diam di tempat pun gak bakal dapet apa-apa, Deva. Minggir!”
Deva menarik tangan Dave, menahannya agar tidak pergi.
Pesan yang masuk tiga menit lalu di ponsel Maya, membuat Dave seketika berubah menjadi gila. Seperti kehilangan kendali, Dave bersikeras ingin menemui pengirim pesan itu seorang diri.
“Lo gak boleh bertindak gegabah, Dave. Bisa aja itu cuman pancingan, supaya mereka mendapatkan apa yang mereka mau.”
Dave mengibaskan tangannya. “Terus gue harus diam di tempat kayak gini? Iya?” Dave berdecih. “Gue harus ke sana.” Dave keluar dari kamar Maya, menuruni anak tangga cepat-cepat. Rasanya sudah tidak sabar ingin melayangkan pukulan tangan ke wajah manusia-manusia biadab yang telah membunuh Maya. Dave rela harus melakukan apa pun demi mendapatkan orang-orang yang membunuh Maya, apa pun caranya.
Saat Deva hendak mengejar Dave, Alva menahannya. “Biarkan saja. Kita ikuti dia.”
Deva setuju dengan perkataan Alva barusan.
Mereka berterima kasih kepada Tirta karena telah sudi mengizinkan mereka menggeledah kamar anaknya. Berkat kebaikannya itu, mereka menemukan petunjuk baru yang bisa mengarahkan mereka kepada siapa yang membunuh Maya. Bukan hanya itu, mereka juga mendapatkan foto tempat yang harus Maya datangi. Itu artinya, markas mereka berada di sana.
Setelah berpamitan, Alva bergegas mengemudikan mobilnya sekencang mungkin mengikuti kemana arah Dave pergi. Isi pesan itu membuatnya ingin marah sebenarnya. Namun bekerja mengikuti emosi bukanlah pilihan yang bagus. Alva paham betul itu. Ia tidak ingin terbakar emosi begitu saja agar hasil kinerja yang akan mereka dapatkan lebih baik lagi.
Di persimpangan tempat kejadian kecelakaan tempo hari lalu, Dave berhenti sejenak. Sepertinya anak itu sedang menimbang jalan mana yang benar untuk menuju ke markas orang-orang yang membunuh Maya. Dave belok kiri. Alva mengikutinya dengan jarak tidak terlalu dekat agar Dave tidak tahu bahwa ia sedang dibuntuti.
Melihat Dave semakin kencang, itu artinya bukan sebuah kabar baik. Alva menginjak gas, menambah kecepatan. Ia harus mengejar Dave untuk menghalanginya. Dave bukanlah pengemudia yang baik, ditambah lagi keadaannya yang tersulut emosi, bisa menjadi sebuah petaka baginya.
“Pegangan, Deva,” ujarnya memperingati Deva karena ia akan menambah kecepatan mobil yang mereka kendarai.
Setelah berhasil menyeimbangi posisi mobilnya dengan mobil Dave, Alva menambah lagi kecepatan mobilnya, lalu menghentikan mobil Dave dengan cara menyalipnya dari depan. Dave mengerem. Se-inchi lagi mobil mereka bertabrakan.
Deva langsung turun. Ia membuka mobil yang Dave kendarai.
“Lo udah gila, ya?”
Dave tak kuasa menahan air matanya. Ia menangis. Ia merasa bodoh dan merutuki dirinya. Melihat Dave seperti itu menghilangkan kemarahan yang tadinya ingin dilampiaskan Deva kepada Dave. Setelah berhasil menenangkan Dave, ia meminta Dave agar pindah ke mobil Alva. Mereka harus mengembalikan mobil Tirta yang Dave pakai sebelum kembali ke markas. Raka dan Naira pasti sudah menunggu di sana.
__00__
“Yang lain pada ke mana?” tanya Naira. Ia merebahkan tubuhnya di sofa panjang, meluruskan kakinya.
“Ke rumah Maya,” jawab Farah singkat. Ia berdiri dari duduknya, meletakkan kembali buku yang barusan dibacanya ke tempat semula.
“Ngapain?” sahut Raka.
“Aku juga gak tahu. Tapi kayaknya tadi papanya Maya nelpon Dave, jadi mereka ke sana.”
Tak lama setelah Farah menyelesaikan kalimatnya terdengar suara mesin mobil. Benar. Dave, Deva, dan Alva masuk beriringan. Wajah Dave terlihat pucat. Naira bingung, apakah Dave sakit lagi?
“Lo kenapa, Dave? Sakit?” tanya Naira mendatangi Dave, lalu memegang dahinya. “Panas.”
“Lo istirahat di kamar gue aja gimana? Lo belum fit?” saran Raka.
Dave menggelengkan kepala tidak setuju dengan saran Raka. Ia ingin tetap di sana, ikut membahas.
“Gimana? Kalian dapat rekaman CCTV-nya?” Alva menanyai Raka dan Naira.
Naira mengangguk. Ia mengambil laptopnya, membuka file, menunjukkan kepada semuanya.
Di dalam video itu menunjukkan ada dua orang laki-laki yang memakai pakaian serba hitam, dan lengkap dengan topeng menutupi wajah mereka. Jika dilihat, Maya sudah tidak bergerak sama sekali saat dimasukkan ke dalam bilik toilet. Itu artinya, Maya sudah tidak bernyawa saat itu.
Tiba-tiba Naira menghentikan video. Ia memperbesar bagian tangan salah satu dari dua laki-laki yang membawa Maya. “Lihat ini.” Maya menggunakan kursor sebagai penunjuk. “Gelang dengan huruf A.”
“Andi dan Andri?” ucap Alva spontan.
“Jadi mereka…”
“Tahan.” Raka meraih tangan Dave, menahannya. “Itu artinya, mereka berdua terlibat dalam kasus pembuhunan Maya?”
“Bukannya mereka berdua…”
“Benar. Mereka berdua anak kesayangan Bu Ratna,” potong Alva cepat.
“Lalu kenapa Bu Ratna menjaga mereka berdua?” tanya Farah menatap Alva.
“Ada yang tidak beres di sini.” Alva melipat tangannya, mencoba berpikir. “Naira.”
“Ya?”
“Coba lo cari tahu siapa Andi dan Andri sebenarnya.”
“Sebentar.” Naira mengambil laptopnya, lalu duduk di sofa. Untuk hal semacam ini bukanlah sulit bagi Naira. Ia hanya perlu mendapatkan akses ke komputer sekolah, lalu menyalin data-data sesuai yang dipinta Alva.
Tiga menit kemudian Naira berseru. “Dapat.” Diarahkannya layar laptop ke mereka semua. “Andi dan Andri adalah alumi SMP Guna Abadi—SMP terbaik di Indonesia saat ini. Mereka masuk ke SMA Kencana Indonesia karena Ibu mereka.”
“Maksud kamu Bu Ratna?” Farah mencoba menebak.
Naira menjentikkan jarinya membenarkan tebakan Farah.
“Itu artinya, Bu Ratna sengaja menyewa seseorang untuk menjadi satpam dadakan agar bisa melindungi anak-anaknya?” Deva mencoba menarik kesimpulan.
“Lo bener, Deva. Bukan hanya itu. Lo inget waktu Bu Ratna dan dua anaknya merusak TKP. Gue rasa Bu Ratna sedang dibawah ancaman seseorang saat ini.”
“Maksud lo?” Raka menuntut penjelasan lebih.
“Bu Ratna tidak akan terjun sejauh ini jika tidak berurusan dengan dua anak kembarnya. Kita harus mendapatkan Andi dan Andri sekarang.”
“Tapi sayangnya mereka berdua sudah tidak kelihatan belakangan hari ini,” ujar Deva.
“Kenapa?”
“Mereka keluar dari sekolah. Gue liat waktu pergi ke supermarket bareng mama gue waktu itu. Mereka membawa dua koper besar, dan berpakian rapi. Sepertinya Bu Ratna menyuruh mereka untuk bersembunyi.” Deva menunjukkan foto dari ponselnya. “Lihat ini. Gue sengaja potret, siapa tahu bisa berguna.”
Alva hampir lupa. Ia menyerahkan memori card kepada Naira menyuruhnya untuk memeriksa, lalu mencatat apa saja yang bisa dijadikan petunjuk dari video itu. Awalnya Naira bertanya apa yang ada di dalamnya. Namun Alva enggan menjawab, dan menyuruhnya melihat sendiri.
Naira mengajak Farah memeriksa memori card yang diberikan Alva padanya. Setelah melihat apa isinya. Naira ingin muntah rasanya. Ia juga marah melihat cara mereka memperlakukan Maya sekejam itu. Farah menangis. Ia bisa merasakan bagaimana rasa sakit yang dialami Maya.
Tidak banyak petunjuk yang Naira dan Farah dapatkan. Mereka hanya mendapatkan nomor plat mobil yang membawa Maya ke tempat ia diperkosa dan juga mengingat bagaimana suasana ruangan gelap itu.
Setelah selesai melihat-lihat file, Naira memberikan kembali memori card kepada Alva.
Raka tengah duduk di sofa. Alisnya ditekuk. Terlihat dari gayanya ia tengah memikirkan sesuatu. Semakin hari bukannya semakin menemukan titik terang, justru teka-tekai semakin banyak bermunculan. Waktu mereka hanya tersisa lima hari saja berikut juga hari ini. Ketika satu teka-teki terjawab, teka-teki baru muncul.
Jika mereka tidak bisa menyelesaikan kasus ini secepat mungkin, maka bisa dipastikan ujian mereka akan terganggu nantinya. Bukan hanya merusak konsentrasi, mereka juga tidak bisa belajar guna mempersiapkan ujian. Itu bukan masalah besar sebenarnya. Karena mereka juga bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan mudah nantinya. Bukan bermaksud sombong. Tapi begitulah mereka. Murid-murid yang memiliki iq di atas rata-rata dari murid lainnya.
“Kamar lo di mana, Ka?” tanya Dave tiba-tiba. Nampaknya ia sudah lelah.
“Ayo gue antar.” Raka mengajak Dave untuk mengikutinya.
“Aku ikut, Ka. Mau numpang sholat.”
Raka mengangguk.
Begitu naik ke atas, Farah dibuat terkejut. Ia melihat Kayla tengah memasak di dapur saat menuju kamar mandi tamu.
“Mama?”
Kaila berhenti memotong sayuran, menoleh ke sumber suara. “Farah? Kamu ngapain di sini?”
Bukan hanya Farah saja yang heran melihat mamanya ada di rumah Raka. Raka pun kebingungan sejak kapan di rumahnya ada asisten rumah tangga. Saking sibuknya mengurusi kasus, Raka sampai tidak tahu bahwa mamanya mempekerjakan asisten rumah tangga dan itu mama dari temannya.
Raka mengikuti Farah menyalami mamanya.
“Jadi selama ini kamu di sini?”
Farah mengangguk. “Iya, Ma.”
“Kami di bawah tante, di garasi. Jadi Farah gak pernah naik ke atas.”
“Tente lega sekarang. Kemarin-kemarin tante sempet kepikiran di mana Farah sebenarnya. Tapi setelah tahu kalau Farah ada di rumah kamu, tante udah gak khwatir lagi.”
Raka mengulum senyum simpul.
“Farah ke kamar mandi dulu ya, Ma.”
“Iya.”
Usai mengambil wudhu, Raka menunjukkan ruangan sholat kepada Farah. Sembari menunggu Farah selesai sholat. Raka berbincang santai dengan Kaila. Kaila banyak menanyakan soal tentang bagaimana Farah di sekolah. Raka menjawab apa adanya. Lagi pula Farah memang seorang gadis yang pintar dan baik pula.
Sebelum itu Raka juga sudah mengantarkan Dave ke kamarnya untuk istirahat. Raka bisa merasakan kalau Dave tampaknya benar-benar kehilangan atas kematian Maya. Rasa bersalah atas kejadian itu belum sepenuhnya hilang dalam pikirannya. Ditambah lagi sampai sekarang orang-orang yang memperkosa dan membunuh Maya belum ditemukan, pasti membuat Dave semakin banyak beban pikirannya.
“Sebenarnya kalian mengerjakan tugas apa?”
“Tugas?” Raka kebingungan.
“Tugas kelompok sebelum ujian, Ma.” Potong Farah cepat. Beruntung timing-nya tepat. Kalau tidak, pasti kebohongannya akan terungkap.
“Iya, Tante.” Raka mengiyakan dengan kikuk.
“Ayo, Ka. Kita lanjut mengerjakan tugas.”
Raka mengikuti Farah. Ia paham sekarang. Ternyata gadis itu tidak memberitahukan perihal sebenarnya kepada mamanya. Sama sepertinya, mungkin Farah menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan mamanya.
Bersambung....