Bab 20
Kemiripan
Naira dan Farah memperbanyak kertas bergambar pria bengis yang digambar Dave. Mereka membagi menjadi dua kelompok. Deva bersama Raka, Dave, Naira dan Farah menjadi kelompok dua.
Kali ini mereka akan menangkap pria yang menyamar menjadi satpam dadakan itu. Dave, Naira dan Farah menyusuri sekitaran tempat tinggal Raka, menanyakan kepada para masyarakat yang lewat apakah pernah melihat pria yang ada di dalam gambar.
Di sini lain, Deva dan Raka pergi ke sekolah, untuk menanyakan kepada para warga hal yang sama yang ditanyakan Naira dan yang lainnya.
Satu jam mereka sudah mencari dan menempel beberapa. Dengan mengembel-embeli akan memberikan hadiah kepada siapa yang berhasil melihat pria bengis itu.
Hingga mereka menemukan seorang perempuan yang memakai baju ketat sekali hingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Naira mendatangi perempuan itu.
"Maaf, Kak. Saya ingin bertanya, apa Kakak pernah melihat laki-laki ini?
Tatapan perempuan itu membuat Naira bergidik ngeri. Perawakan tinggi, rambut tergerai, memakai hils, membuat Naira sedikit takut.
Perempuan itu melihat dengan teliti wajah pria yang ada di gambar. "Gue tahu."
Naira langsung tidak sabar. Akhirnya ia bisa mengetahui di mana keberadaan laki-laki itu.
"Dia adalah pria favorit gue."
"M-maksud Kakak?"
Perempuan itu berdecih. "Kamu emang polos atau bodoh?" Ia tertawa. "Ah, sudahlah. Lupakan." Wanita itu mengeluarkan rokok, lalu menyulutnya.
Naira menahan napasnya agar asap rokok tidak masuk ke dalam paru-parunya.
"Apa yang bisa gue dapat?"
"Ini, Kak." Naira menunjuk tulisan '5 juta' yang ada di gambar.
Perempuan itu mengangguk tiga kali. Sepertinya ia tengah memikirkan angka itu. Dari gerak-geriknya, perempuan itu terlihat tertarik dengan imbalan yang ditawarkan.
"Sini pulpen."
Naira cepat-cepat memberikannya pulpen.
Berjalan mulus sesuai dengan yang diharapkan. Setelah selesai mendapatkan informasi di mana laki-laki itu tinggal, Naira mentransfer uang yang telah dijanjikan. Tapi sebelumnya, Naira telah memastikan terlebih dahulu bahwa perempuan itu tidak berbohong dan memberikan informasi yang benar sekaligus valid.
Naira menelpon Dave dan Farah untuk berkumpul di tempat yang sudah mereka tentukan.
Dave dan Farah datang. Naira menjelaskan bahwa ia sudah mendapatkan informasi di mana tempat tinggal laki-laki itu. Dave menelpon Raka, memintanya untuk mengakhiri pencarian karena mereka sudah berhasil.
Mereka semua berkumpul kembali di rumah Raka.
“Lho? Alva mana?” tanya Raka keheranan melihat Alva tidak ada di dalam. Saat mereka pergi tadi Alva bilang ada hal yang harus ia kerjakan di sini, tapi kenapa sekarang malah menghilang?
“Coba lo telpon gih.” Naira menyikut bahu Deva.
Semua melihat ke arah Deva sekarang, menunggu apakah Alva bisa dihubungi atau tidak.
Deva menggeleng. “Gak aktif.”
“Kita tunggu saja dia.” Raka mendudukkan dirinya di sofa.
Ponsel Farah berbunyi. Ia segera mengangkat.
“Halo, Ma?”
”Kamu di mana? Kok belum pulang?”
“Farah lagi di rumah temen, Ma.”
“Oh ya sudah. Jangan pulang malem-malem ya.”
“Iya, Ma.”
Farah menutup telepon.
“Siapa? Your mother?” tanya Deva saat Farah baru saja melengketkan bokongnya ke sofa.
Farah mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Deva.
“Coba lo telpon sekali lagi, Dev,” pinta Raka. Ia terlihat khawatir sekaligus kecarian. Sebenarnya Alva pergi ke mana? Kenapa tidak memberitahu kalau ia hendak pergi.
“Masih gak aktif.”
“Sekarang udah jam tujuh, lo gimana Farah? Lo mau nginep di sini gak?”
Menginap? Farah diam, tidak menjawab.
“Atau gini aja deh. Kita sambung ini besok, setelah pulang sekolah. Gimana?”
“Gue setuju.” Dave buka suara. “Gue juga udah kelelahan, mau istirahat.”
“Oke kalau begitu. Lo gue anter, ya?” tawar Raka.
Farah diam. Apa iya harus satu mobil lagi sama orang yang bukan mahromnya?
Naira memegang bahunya. “Tenang. Gue ikut nganterin lo kok. Lo Pasti gak nyaman kan satu mobil sama Raka.”
Farah tersenyum kikuk. Tebakan Naira benar.
“Kalau gitu gue pamit, ya.” Dave berdiri, berpamitan pulang. Deva mengikutinya dari belakang.
“Ayo, Farah.” Naira mengajak Farah menunggu di luar selagi Raka mengeluarkan mobilnya dari bagasi.
__00__
Alva mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Detak jantungnya meninggkat dua kali lebih cepat. Dalam pikiran Alva tidak lain tidak bukan adalah bagaimana cara agar bisa secepatnya sampai ke sana. Lampu merah tak lagi Alva hiraukan. Klakson mobil yang berbunyi hanya menjadi penghias jalan saja, karena Alva sama sekali tidak menghiraukannya.
Alva memarkirkan mobil, berlari masuk ke dalam rumah sakit. Setelah mengetahui di mana kakaknya berada, segera Alva berlari menuju ke sana.
Alva membating pintu. Napasnya tersengal. Segera ia menghampiri Dinda yang tengah terbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur memakai pakaian khas pasien. Kepala Dinda dibalut perban, selang bantu pernafasan dipasangkan, satu kakinya diangkat ke atas. Jarus infus dan transfuse melekat. Alva menggenggam kuat tangannya.
Tak lama setelah semua pergi, Alva menerima telepon dari orang yang tidak dikenal. Orang itu memberitahu bahwa ia menemukan telepon ini saat terjadi kecelakaan takbrak lari. Setelah korban dilarikan warga ke rumah sakit, tanpa sengaja orang tersebut menginjak ponsel yang ia duga milik korban.
Alva menarik kursi, menggenggam erat jari telunjuk Dinda. Hari ini, rasa takut itu kembali hadir setelah lima tahun lamanya. Rasa takut akan kehilangan, kembali membuat Alva tidak bisa berpikir jernih. Melihat satu-satunya orang yang sayang dengannya, membuat hati Alva terasa teriris.
Pintu terbuka.
“LEPAS!”
Alva menoleh ke sumber suara. Terlihat dua orang suster laki-laki berusaha memegangi papanya yang mabuk.
Pegangan terlepas.
“Aku mau lihat anakku,” racau Nugraha khas orang mabuk lainnya.
“Maaf, Pak. Tapi bapak ini memaksa untuk masuk.” Ucap salah seorang suster.
“Tidak masalah, Pak. Biar saya yang urus.”
Kedua suster itu mengangguk, kemudian berpamitan pergi.
Nugraha berjalan mendekati tempat tidur Dinda dengan jalan yang sempoyongan. Alva menghadang Nugraha dengan tubuhnya. Nugraha mengangkat kepalanya yang berat, matanya melihat ke arah mata Alva. Tangannya berusaha mendorong tubuh Alva, tapi tenaganya sangat lemah.
“Minggir,” ucapnya.
Alva menahan kedua tangan papanya. “Kapan papa mau berubah!” jerit Alva hingga urat lehernya terlihat jelas. Alva mendongakkan kepalanya, mencegah air matanya tumpah. Di keadaan seperti ini pun Nugraha masih sempat-sempatnya mabuk.
Jeritan Alva membuat kesadaran Nugraha hampir pulih. Ia berdiri tegak, menatap tajam ke arah Alva.
“Kak Dinda sekarat, Pa! Sekarat! Papa ke mana? Papa ke mana?!”
Bugh
Alva tersungkur ke lantai. Sudut bibirnya robek. Alva berdecih. Disekanya darah itu.
“Keluar kamu,” ucap Nugraha pelan, namun terdengar menusuk. “Keluar kamu!” bentaknya.
Alva berdiri. Mata mereka saling bertukar pandang sekarang. Bedanya, mata Alva menyorotkan kekecewaan, mata Nugraha menyorotkan rasa kebencian. Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya Alva memilih keluar, enggan melihat papanya.
Alva berjalan sedikit lemas dicampur kecewa. Ia menutup pintu perlahan, kemudian memilih duduk di kuris tunggu yang biasa disediakan pihak rumah sakit. Baru saja duduk, ia melihat sesuatu yang janggal. Alva berdiri, mengejar sosok wanita yang memakai gamis merah muda berhijab hitam.
“Tunggu,” ucap Alva, namun perempuan yang dikejarnya entah seolah tidak dengar atau pun sengaja pura-pura tidak dengar.
Alva terus berlari hingga keluar rumah sakit. Ia menabrak beberapa orang yang lewat karena saking cepatnya mengejar perempuan itu. Alva kehilangan jejaknya. Wanita itu tak lagi terlihat. Alva memutar badannya, memperhatikan setiap bagian dari rumah sakit, wanita itu benar-benar hilang.
Alva menyeka keringatnya. Perempuan itu mirip sekali dengan wanita yang lima tahun lalu menghembuskan napas terakhirnya. Alva merasa itu adalah orang yang sama. Segera Alva menyadarkan diri. Tidak mungkin. Ia pasti salah lihat.
Bersambung...