Bab 2. Sehari sebelumnya.

2704 Words
Seperti biasa, pagi ini selepas menunaikan sholat Shubuh, Farah mengawali harinya dengan membaca al-Quran setengah juz di pagi hari, baru sisanya akan disambung nanti selepas Maghrib. Setelah itu barulah Farah melanjutkan aktivitas hariannya seperti biasa.   Saat ini Farah tengah duduk di kursi meja rias menancapkan jarum terakhir di hijabnya. Perpaduan antara gamis merah maroon dengan hijab hitam membuat wajah Farah tampak manis.    “Kak,” panggil Sarah sambil mengetuk pintu kamar Farah.   “Iya, dik. Kenapa?”   “Mama udah nungguin kakak di depan. Kata Mama suruh cepat, Kak.”   “Iya, iya. Sebentar lagi Kakak keluar.”   Farah bergegas melapisi bibirnya dengan lip balm. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Terlihat tidak bersamangat.    “Bismillah. Semoga ini memang benar jalanku,” gumam Farah menyemangati dirinya.   Setelah semua dirasa cukup, Farah langsung keluar rumah menjumpai Kaila yang sudah menunggunya.   “Sudah semua? Ada yang ketinggalan, gak?” tanya Kaila memastikan.   “Udah, Ma.”   “Kamu beneran gak ikut, sayang?” Kaila menanyai Sarah yang tengah berdiri di depan pintu rumah sambil memegang komik conan.   “Enggak, Ma. Sarah mau di rumah aja, mau baca ini,” katanya sambil mengangkat komik.   “Ya udah kalau gitu. Jangan lupa kunci pintu, ya?”   “Oke, Ma.”   “Mama pergi dulu. Assalamualaikum.” ucap Kaila sembari melambaikan tangan, Farah juga ikut melambaikan tangan ke Sarah.   Setelah berjalan kurang lebih lima menit, mereka berdua sampai di pinggir jalan besar. Karena belum mempunyai transport sendiri, maka angkot adalah pilihan paling tepat untuk sampai ke SMA Kencana Indonesia.   “Pak!” Kaila melambaikan tangan memberhentikan angkot.   “Ayo naik, Farah.”    Angkot yang mereka naiki masih kosong, belum ada penumpang lain selain mereka berdua.    “Mau ke mana, Bu?” tanya supir itu ramah.   “Mau ke SMA Kencana, Pak.”   “Mau daftarkan anaknya, ya, Bu?”   “Iya, Pak.”   “Beruntung sekali kamu Neng bisa sekolah di sana. Anak bapak nyoba tahun lalu gak lulus.”   “Kalau boleh tau kenapa gak lulus ya, Pak?”   “Skor iq anak saya gak memenuhi standar, Bu. Jadi ya gak lulus.”   Farah yang semula tidak tertarik mendengar percakapan itu langsung menatap wajah Mamanya.   “Maksud…Bapak?” tanya Farah sedikit gugup.   “Loh, kamu belum tahu? SMA Kencana Indonesia mewajibkan calon muridnya untuk melakukan tes iq terlebih dahulu. Mereka punya standar sendiri untuk meluluskan murid.”   “Skor minimalnya berapa, Pak?   “Kalau tidak salah…. 137, Neng.”   Jleb.   Seketika kerongkongan Farah terasa tercekat mendengar apa yang barusan dikatakan supir itu.   “Skor iq anak saya 135, sedikit lagi padahal. Tapi ya mau bagaimana, Alhamdulillah-nya anak saya bisa menerima dengan besar hati.”   “Jadi sekarang anak bapak sekolah di mana?” tanya Kaila.   “Anak saya sekolah di SMA Negeri 5, Bu. Gak jauh lah sama SMA Kencana Indonesia.”   “Anak ibu sudah pernah tes iq?”   “Wah belum, Pak. Saya juga baru dengar ini ada sekolah yang membuat peraturan seperti itu.”   “Tesnya ada di sana, kan, Pak?” tanya Farah. Tangannya bergetar sekarang.   “Kamu gak usah khawatir, pihak sekolah yang melakukan itu.”   Sang supir menginjak rem karena lampu di depan sana berubah merah.   “Sudah tiga tahun ini SMA Kencana Indonesia menerapkan sistem seperti itu, Bu. Yang saya dengar, mereka ingin menjadikan SMA Kencana jadi nomor satu di Indonesia. Saat ini, SMA Kencana menempati posisi kedua di Jakarta dan keempat di Indonesia.”   Mobil mulai berjalan lagi.   “Menurut mereka, dengan menyeleksi ketat calon-calon murid seperti itu, akan lebih mudah untuk sampai ke tujuan mereka. Anak saya juga bilang begitu.”   Tampak di depan sana ada lima orang murid, empat cowok dan satu cewek. Salah satu dari mereka melambaikan tangan, tampaknya mereka ingin naik angkot juga.   “Sepertinya mereka murid-murid SMA Kencana,” ucap supir itu sebelum berhenti.   “Pagi, Pak,” sapa salah seorang murid. Hidungnya mancung, dan ada lesung pipi di kanan dan kiri wajahnya.   “Pagi Den Raka. Tumben naik angkot?”   “Biasa, Pak. Ada urusan mendadak. Udah kalian cepet naik.”   Farah menatap kelima-limanya. Semua tampak rapi dari mulai atas hingga ke bawah, sepertinya mereka memang benar-benar murid SMA Kencana Indonesia.   Setelah mereka berlima naik, supir pun kembali menginjak gas melajukan angkotnya.   Mereka berlima duduk berjejer berseberangan dengan Farah dan Mamanya. Yang cewek duduk di tengah. Cewek berambut sepinggang itu mengeluarkan sebuah buku. Farah menyipitkan matanya mencoba untuk melihat judul yang tertera di sana, namun tidak bisa. Farah memiliki minus 2.0 di kanan dan 2.7 di mata kiri. Ia tidak bisa melihat dengan jelas judul buku itu, ia hanya bisa melihat kalau buku itu berwarna biru langit.   “Coba lo liat deh, Al,” cewek itu mengarahkan bukunya ke cowok yang berambut tebal di sebelahnya,” Di sini dikatakan, matahari terbit tidak sama dengan fajar? Maksudnya?”   “Iya. Matahari terbit tidak sama dengan fajar. Dalam istilah biologi, Matahari terbit itu disebut arunika. Jadi dalam peristiwa arunika, sisi teratas matahari muncul di atas horizon di sebelah timur. Sedangkan fajar itu adalah proses di mana langit mulai terang, beberapa waktu sebelum matahari muncul, mengakhiri twilight.”   “Twilight?” tanya Naira.    Raka menjawab, “Peristiwa cahaya matahari terlihat mulai akhir senja hingga fajar.”   Laki-laki berambut tebal, dagu terbelah, dan hidung mancung itu mengambil buku tersebut dari tangan Naira, “Lihat ini,” Tangannya menunjuk gambar yang ada di buku, “Refraksi Atmosfer menyebabkan matahari masih dapat terlihat sementara berada di bawah horizon, Matahari terbit dan Matahari tenggelam adalah dari satu sudut pandang, ilusi optik. Matahari juga muncul lebih besar di horizon, tetapi hal ini merupakan ilusi optik lainnya, sama dengan ilusi bulan.”   Naira bertanya lagi, “Lalu kenapa ketika matahari terbit ataupun terbenam, langit berubah menjadi merah dan oranye?"   “Rona merah dan oranye langit ketika matahari terbit dan matahari terbenam disebabkan oleh partikel debu. Partikel kecil, aerosol padat lainnya, dan aerosol cair di atmosfer bumi.”   Raka bertepuk tangan ceria, “Memang gak ada tandingannya lo, Al. Gak salah kalau kita pilih lo jadi ketua tim, “ laki-laki itu menyikut cowok di sebelahnya, “Yakan, Dave?”   “Yoi,” jawab Dave singkat sambil menaikkan alis.   Farah merasa kesulitan meneguk salivanya. Ia tidak berkedip melihat kelima murid yang ada di depannya. Ini benar-benar di luar nalar. Hanya membahas soal 'fajar' saja jawabannya bisa serumit itu.   Dan apa tadi barusan? Refraksi atmosfer? horizon? twilight? Farah bahkan belum pernah mendengar istilah itu.   Kaila menatap wajah Farah, ia bisa melihat dengan jelas kalau anaknya sekarang tengah gelisah seperti memikirkan sesuatu. Namun itu tidak menurungkan niatnya untuk menyekolahkan Farah di SMA Kencana Indonesia.   Farah merasa seperti kura-kura yang sudah lama berada di dalam tempurung, lalu keluar melihat luasnya dunia.   “Kalian murid SMA Kencana, kan?” tanya sang supir.   “Iya, Pak,” jawab Naira.   “Wah kebetulan sekali. Itu kenalin, dia mau sekolah juga di sana. Ini mau daftar, yakan Neng?”   “Kenalin. Gue Naira,” Naira terlihat antusias sekali mengajak Farah berjabat tangan.   Farah menerima jabatan tangan itu, walaupun sedikit gugup, “Saya Farah.”   “Gue Raka,” Raka juga mengulurkan tangannya.   Farah menyatukan kedua tangannya membentuk simbol permohonan maaf, menolak halus berjabat tangan dengan lawan jenis.   “Ups. Sorry,” ucap Raka kikuk.   Sudah menjadi kebiasaan bagi Farah untuk selalu menjaga wudhunya. Ia juga menolak bersentuhan dengan orang yang bukan mahromnya.   “I’m Deva,” ucap laki-laki bertubuh paling pendek di antara empat laki-laki lainnya.   “Gue, Dave, jangan sampai ketuker ya.” Laki-laki itu tersenyum lebar memamerkan gigi rapinya.   Naira menyikut bahu teman di sebelahnya, “Kenalin diri lo. Kaku banget sih!”   “Gu…e Alva…”   “Semoga kita bisa jadi teman, ya,” Naira tersenyum hangat.   Lima menit kemudian mereka turun dari angkot. Empat pria itu langsung berjalan masuk ke area sekolah terlebih dahulu, sedangkan Naira memilih tinggal sebentar.   “Aku berharap kamu diterima, supaya aku punya teman,” Naira mendekati Farah, “Gak enak juga jadi cewek sendirian di tim ini,” bisik Naira tepat di telinga Farah.   Farah hanya tersenyum getir menanggapi Naira.   “Ruang kepala sekolah di mana, ya, Naira?” tanya Kaila.   “Ibu tinggal lurus saja, ikuti parkir roda empat. Nah, kantor kepala sekolah ada di ujung.”   “Terima kasih, ya.”   “Iya, Bu. Sama-sama. Kalo gitu Naira pamit ya. Assalamualaikum.”   “Waalaikumsalam,” jawab Farah dan Mamanya serentak.   Kaila menggandeng tangan anaknya,  “Ayo!”   Melihat Gedung megah nan kokoh di depan sana membuat Farah merinding. Dalam benaknya masih terpikirkan mengenai tes iq yang dikatakan supir angkot tadi. Farah sama sekali belum pernah melakukan tes iq.    Tiba-tiba ia teringat kalau belum sarapan. Dan sepertinya ini juga bisa digunakan sebagai pelarian untuk mengulur waktu setidaknya sampai Farah benar-benar siap.   “Ma, kita makan dulu, ya. Farah laper.”   “Oke, ayo kita cari makan.”   Farah melihat ada warung kecil di seberang jalan. Warung itu tampak ramai pengunjung.   “Ke sana aja, yuk, Ma.”   “Ya udah, ayo.”   Tidak lama mereka menunggu, pesanan pun datang. Farah memilih nasi gurih dan Kaila memilih lontong sayur. Mereka berdua tampak menikmati pesanan masing-masing.   “Kelihatannya ibu orang baru, ya?” tanya pelayan wanita yang usianya sama dengan Kaila. Ia membawakan ceret berisi air putih lalu meletakkannya di meja Kaila.   “Iya, Bu. Baru pindah semalam.”   “Aslinya dari mana, Bu?” Wanita itu duduk di samping Farah.   “Asal saya dari Medan, Bu.”   “Mau daftarkan anak ke SMA Kencana? Bawa piagam atau penghargaan lainnya?”   “Untuk?” tanya Farah.   “Loh, jadi kamu belum tahu?”   Farah menggeleng.   “Selain mewajibkan tes iq, pihak sekolah juga mengharuskan mereka yang ingin mendaftar melampirkan penghargaan.”   Farah tersedak setelah mendengar ucapan pelayan itu. Pelayan pun menuangkan segelas air lalu memberikannya kepada Farah.   “Minum, minum.”   “Jadi maksud ibu tes iq tanpa penghargaan sama sekali gak berguna?”   “Umumnya mereka yang mempunyai iq tinggi biasanya mempunyai satu atau dua penghargaan yang mereka dapat saat di sekolah lama mereka. Piagam penghargaan sangat berguna bagi mereka yang mendapat skor terendah minimal untuk diterima sebagai murid di SMA Kencana. Secara tidak langsung, piagam itu akan menjadi alternatif bagi mereka."   “Gimana, Ma? Kita gak bawa itu.”   “Tenang aja, itu bisa dibawa ketika kamu masuk nanti. Mereka akan menanyai penghargaan apa saja yang sudah kamu dapatkan.”   “Terima kasih atas infonya, Bu.”   “Iya, Bu. Sama-sama.”   Makanan Kaila sudah habis tak bersisa, namun milik Farah hanya dimakan setengahnya saja. Ia kehilangan selera makannya. Berharap mengajak Mamanya makan adalah cara untuk menyiapkan diri, malah membuatnya semakin tidak berani untuk menginjakkan kaki di SMA Kencana Indonesia.   Setelah Mamanya membayar, mereka kembali ke sekolah untuk bertemu kepala sekolah. Sesampainya di gerbang, satpam langsung menanyai mereka.   “Mau kemana, Bu? Cari siapa?” sambut satpam itu ramah.   “Mau bertemu kepala sekolah, Pak. Saya mau mendaftarkan anak saya.”   “Baik, Bu. Sebentar,” Satpam itu membuka gerbang, “Silahkan, Bu. Ibu tinggal berjalan lurus, ikuti saja parkir roda empat. Kantor kepala sekolahnya ada di ujung.”   “Baik, Pak. Terima kasih.”   _00_   “Baik, Bu. Saya akan langsung saja. Saya yakin ibu sudah mendengar bahwa SMA Kencana Indonesia mengharuskan calon murid untuk melaksanakan tes iq terlebih dahulu.”   “Iya, Pak. Saya sudah dengar.”   “Untuk mempersingkat waktu, ibu diharap untuk menunggu di luar selama proses berlangsung.”   “Baik, Pak.”   Farah menahan tangan Kaila, “Tungguin Farah, Ma.”   “Ehm,” kepala sekolah nampaknya sengaja berdehem, “Bagaimana kamu mau mandiri kalau hal sepele seperti ini saja masih minta ditemani.”   Farah memandangi wajah kepala sekolah itu takut-takut. Ia pun langsung melepas tangan Kaila.   “Mama yakin kamu bisa,” Kaila menggenggam tangannya, “Fighting!”   Usai Mamanya pergi, Farah hanya berani melihat ke bawah, ia tak lagi berani menatap wajah seram milik kepala sekolah itu. Brewok dan jenggot yang ada di wajahnya membuat kepala sekolah itu lebih tampak seperti algojo.   “Baik, lah.”   Bahkan suaranya pun tak kalah menyeramkan dari wajahnya.   “Akan ada dua sesi dalam tes iq ini. Pertama kamu akan saya berikan tiga soal sekaligus, dalam waktu dua menit, kamu harus menjawab semua soal dengan benar. Sesi kedua, akan saya berikan lembar soal berisi 70 pertanyaan. Kamu hanya diberi waktu satu jam setengah untuk menjawabnya.”   Kini kepala sekolah itu menatap Farah lebih tajam, “Kamu siap?”   “Si..ap, Pak,” Farah gugup. Dentum jantungnya tak berirama mulus lagi.   “Baiklah. Saya akan bacakan sekaligus soalnya.”   Entah angin apa yang membuat Farah melirik ke pelat nama yang ada di atas meja kepala sekolah. Tertulis ‘Prof. Gunawan Kencana’ itulah namanya.   “Soal pertama.”   Farah merasakan tubuhnya berdesir hebat mendengar kata ‘soal pertama’   “Sebuah tongkat pemukul dan sebuah bola dihargai Rp. 11.000. Harga tongkat pemukul 10.000 lebih mahal dari bola. Berapakah harga bolanya?”   Keringat mulai mengucur di dahi Farah.   “Soal kedua. Jika untuk membuat 5 buah robot diperlukan waktu lima menit dan 5 buah mesin. Berapakah waktu yang diperlukan 100 mesin untuk membuat 100 robot?”   Prof. Gunawan tampaknya sengaja menjeda sebentar sebelum membacakan soal ketiga. Ia ingin memberi waktu walau hanya sedikit untuk Farah berpikir.   “Soal ketiga. Di sebuah kolam terdapat sepetak teratai. Setiap hari, petak teratai itu akan bertambah dua kali lipat. Jika dibutuhkan 48 hari agar kolam itu  dipenuhi teratai secara sempurna. Berapa hari yang diperlukan petak teratai agar menutupi setengah dari kolam tersebut.”   Prof. Gunawan tersenyum puas setelah mengakhiri soalnya. Wajahnya seperti mengatakan, apakah kamu bisa menjawab semuanya?   “Dua menit dari sekarang,” katanya sambil menekan stopwatch.   Dua menit bukan lah waktu yang lama. Setelah menarik napas dalam kemudian membuangnya. Farah memantapkan diri, dia sudah siap untuk menjawab meskipun belum tahu benar atau tidak jawabannya.   “Soal pertama,” Farah meneguk ludahnya terlebih dahulu, “Harga bolanya adalah 500. Kenapa? Karena jika harga pemukul lebih mahal 10.000, itu artinya harga asli pemukul adalah 10.500.”   “Soal kedua. Jika 5 buah mesin dalam dalam waktu lima menit menghasilkan 5 buah robot. Maka hal serupa juga akan terjadi pada 100 mesin yang menghasilkan 100 robot. Waktu yang diperlukan hanya lima menit."   “Soal ketiga?” Prof. Gunawan memotong Farah. Ia tersenyum licik. Pandangannya juga seperti menyepelekan Farah.   “Waktu yang diperlukan adalah 47 hari. Kenapa? Jika area yang diselimuti petak Teratai itu mengganda setiap hari, maka hanya dibutuhkan 1 hari saja dari setengah danau terselimuti menjadi terselimuti seluruhnya.”   Farah ngos-ngosan karena menjawab soal ketiga satu tarikan napas. Ia mengatur napas sambil menyenderkan tubuhnya di kursi.   “Kamu jangan senang dulu. Masih ada ini," Prof. Gunawan mengangkat dua lembar kertas lalu memberikannya kepada Farah lengkap juga sebuah pulpen.   “Waktu kamu hanya satu jam setengah. Dimulai dari... sekarang!”   Farah benar-benar tidak habis pikir. Ini seperti ingin membunuhnya. Bagaimana bisa ia tidak diberi waktu istirahat barang semenit pun. Sekarang dirinya harus berkutat dengan 70 soal yang bahkan semuanya sudah terlihat seperti deretan semut yang berbaris. Hanya terlihat warna hitam saja.   Farah memakai kacamatanya, barulah tulisan di atas kertas itu dapat dibaca.   _00_   “Kak, bangun, kak, bangun!” Sarah mengguncang tubuh Farah.   “Mmm?”   “Bangun kak, sholat Dzuhur. Udah jam 3 ini.”   “Astagfirullah,” Farah langsung duduk. Ia teringat kalau memang belum sholat Dzuhur.   Ia bergegas ke kamar mandi. 20 menit lagi azan ashar tiba. Karena tadi pulang dengan kepala yang hampir pecah, Farah langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur dan tertidur pulas. Tanpa terasa ia tidur selama lima jam lamanya.   Usai sholat, Farah keluar rumah untuk mengangkat pakaian. Ia mendengar suara klakson sepeda motor yang sengaja dibunyikan berkali-kali, dan itu mengganggunya.   “Mama?” Farah kaget, bagaimana bisa Kaila membawa motor bermerk scoopy itu.   “Gimana motor Mama? Manis, kan?”   “Beli motor kok gak bilang-bilang, sih, Ma?”   “Mama juga bawa kabar gembira buat kamu.”   Kaila bergegas turun lalu mengambil gumpalan pakaian yang dibawa Farah, “Ayo cepetan masuk. Mama udah gak sabar.”   “Ada apa sih, Ma? Kok kelihatannya Mama bahagia sekali.”   Kaila meletakkan asal baju-baju di sofa.   “Kamu lulus, Farah. Kamu lulus. Bahkan kamu menjadi siswa dengan iq tertinggi di SMA Kencana Indonesia.” Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD