Bab 17. Mayat

1556 Words
Bab 17 Mayat Pintu diketuk. “Permisi, Bu,” ucap Dave. Di belakangnya berbaris Raka, Alva, Deva, dan yang terakhir, Farah. “Boleh kami masuk, Bu?” sambungnya. “Dari mana kalian? Kenapa terlambat?” “Mobil, maksud saya angkot yang kami tumpangi bocor, Bu. Jadi kami terpaksa lari sampai ke sekolah.” Bu Tina diam sejenak, sebelum akhirnya memastikan. “Benar itu, Farah?” Mereka berempat menoleh ke arah Farah. Memohon agar mengiyakan pertanyaan Bu Tina. “Be…benar, Bu.” Jawab Farah gugup. “Baiklah. Kalian boleh masuk.” Dave dan Deva menghela napas serempak. Mereka masuk, duduk di bangku masing-masing. “Hari ini ibu tidak bisa mengajar kalian sampai akhir. Sebelumnya ibu mohon maaf. Ibu ada urusan penting sekali. Jadi nanti les kedua akan digantikan oleh Bu Ratna.” Mendengar kata “Bu Ratna” membuat semua kepala terangkat. “Kenapa harus Bu Ratna sih, Bu? Kan ada guru lain,” ucap Jihan tidak terima. “Kebetulan hari ini beliau yang piket. Sudah, sudah. Buka buku kalian halaman 204. Ingat. Hari ini adalah pertemuan terakhir kita. Minggu depan ujian kenaikan kelas akan diadakan. Ibu harap kalian bisa mengharumkan sekolah ini.” Bu Tina duduk kembali ke singgasananya, membuka buku materi. “Alva, ke depan kerjakan soal nomor 12.” Ponsel Bu Tina berdering. “Sebentar anak-anak.” Bu Tina menerima telepon itu. “Kerjakan saja Alva.” Pintanya pada Alva yang sudah siap dengan spidol di tangannya. “Alva, Naira, Raka, Dave, Deva, dan Farah. Kalian semua ke ruangan Bu Ratna sekarang.” __00__ Dave memohon izin kepada Bu Ratna pergi ke toilet. Setelah mendapat izin, Dave setengah berlari menuju toilet. Sampai di sana, ia langsung masuk ke bilik paling ujung, mengeluarkan sesuatu yang mendesak ingin keluar sejak tadi. Tiga menit kemudian, Dave keluar. Ia mencuci tangan dan wajahnya. Hari ini ia tidak sempat mandi karena bangun kesiangan akibat mencari di mana Maya. Gadis itu belum ia temukan sampai sekarang. Entah bagaimana keadaan Pak Tirta sekarang, batinnya. Dave harus segera menemukan Maya sebelum hal buruk terjadi. Di dalam kamar mandi ada tiga bilik. Sejak ia masuk, bilik yang berada di tengah masih tertutup sampai sekarang. Suara grasak-grusuk tidak kedengaran sama sekali. Kamar mandi sangat hening. Dave berjalan mendekati pintu, mengetuknya. Tidak ada jawaban. “Ada orang di dalam?” Dave mendekatkan telinganya ke daun pintu. Dave mengetuk pintu lagi. Masih belum ada jawaban. “Ada orang di dalam?” tanya Dave sekali lagi. Di bagian bawah pintu ada sedikit ruang untuk melihat. Cuman itu satu-satunya cara untuk mengetahui adakah orang di dalam bilik atau tidak. Lagi pula ini toilet laki-laki, tidak masalah bagi Dave untuk melakukan itu. Saat Dave membungkukkan tubuhnya, yang pertama kali ia lihat adalah sepatu vans hitam, tapi kakinya cenderung kecil dan mulus. Dave berdiri, mengucek matanya. Kenapa kulit laki-laki semulus dan kakinya sekecil itu? Siapa dia? Dave mematung beberapa saat. Dave menundukkan tubuhnya kembali, memeriksa. Dave tidak salah lihat. Itu bukan kaki laki-laki. Melainkan kaki perempuan. Dave memutar knop pintu. Ternyata tidak dikunci. Dave kembali mematung, sekaligus menutup mulutnya. Tidak bisa dipercaya. Sosok yang ia cari dari semalam kini terduduk di atas kloset dengan wajah dan tubuh bersimbah darah. Bahkan ada satu yang yang sangat di luar masuk akal. Manusia mana yang tega memasukkan sebuah linggis ke dalam kemaluan seorang wanita. Dave terduduk di lantai. Tangannya bergetar, merogoh saku untuk menelpon Alva. “Kenapa, Dave?” “Ke-kamar …, mandi sekarang.” Suara Dave bergetar. Tak lama Alva dan Raka muncul. Mereka terkejut dengan pemandangan yang mereka lihat. Maya adalah teman sekelas mereka—11 IPA 1. Sudah beberapa hari ini ia tidak muncul di sekolah. Guru-guru juga bertanya kenapa Maya yang terkenal ceria dan suka bersosialisasi dengan para guru menghilang tanpa kabar. Bu Ratna, Naira, dan Farah menyusul. Naira membantu Dave berdiri. Farah tidak kuasa melihat sosok wanita yang diperlakukan sekejam itu. Maya, kenapa hal buruk seperti itu menimpanya? Batin Raka. Bu Ratna menghubungi kepala sekolah melaporkan apa yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, berita menyebar ke seluruh penghuni SMA Kencana Indonesia. Ini kali kedua tragedi pembunuhan terjadi. Meskipun yang pertama itu adalah kebohongan yang hanya diketahui mereka bertujuh—ditambah Prof. Nulin. Murid-murid yang lain belum mengetahuinya. Pak Eko dan beberapa guru lainnya mengamankan para murid. Mereka menghalau para murid untuk kembali ke kelas mereka masing-masing. Polisi datang. Mereka mengefakusi jasad Maya. Air mata Dave mengalir. Ia tidak berbicara sama sekali. Wajahnya terlihat lesu. Tatapan matanya kosong. Masih bersender di tubuh Naira, Dave berdiri lemah. “Lebih baik lo bawa Dave ke UKS,” ujar Raka melihat Dave yang tidak terlihat baik-baik saja. “Biar gue yang bawa.” Deva mengambil alih merangkulkan tangan Dave ke bahunya, berjalan menuju UKS. Keadaan jadi semakin rumit. Dalam waktu seminggu mereka harus memecahkan semuanya agar ujian mereka tidak terganggu. Alva pergi meinggalkan kamar mandi. Naira sempat hampir mencegahnya kalau tidak ditahan Raka. Wajah Raka seolah berbicara agar membiarkan Alva pergi. Pasti dia sedang mencari sesuatu Ponsel Farah berbunyi. Sebuah pesan masuk, dan masih dari nomor yang tidak dikenal itu lagi. Farah menutup mulutnya mencegah suara jeritan syok keluar. Foto itu berhasil membuat matanya membulat sempurna. Nomor yang tidak dikenal yang kemarin mengirimkan foto Pak Diko dan videonya, kini mengirimkan foto Maya dalam kondisi telanjang, dengan linggis yang menancap di k*********a. __00__ Alva berlari menuju lantai tiga—lantai paling atas dari Gedung SMA Kencana Indonesia. Ia menuju ruangan CCTV. Sampai di sana ada seorang satpam yang berjaga. Alva tidak mengiraukan. Ia memaksa masuk. Namun kalah cepat, satpam yang berjaga menghalangi tubuhnya. “Biarkan saya masuk, Pak.” “Tidak bisa.” Satpam itu terus berusaha mengahadang Alva, mendorong tubuhnya agar menjauh dari pintu. “Biarkan dia masuk.” Alva menoleh ke belakang. Bu Ratna dan seorang polisi berjalan mendekati mereka. Satpam itu memberi hormat terlebih dahulu sebelum akhirnya membukakan pintu. Alva langsung berlari mendatangi satu monitor untuk melihat rekaman CCTV di toilet. Alva memukul meja geram. Rekaman itu sudah dihapus. Ia menggenggam kuat tangannya. Alva menoleh ke arah Bu Ratna yang berdiri di belakang polisi sambil menyilangkan tangan. Alva ingin mendatangi Bu Ratna, melayangkan pukulan kepadanya. Namun Alva segera menghentikan langkahnya. Ia belum bisa melakukan itu sekarang. Tidak akan ada orang yang mempercayainya sebelum Alva memegang bukti yang kuat untuk menghancurkan iblis itu. Wajah Bu Ratna seolah menyiratkan bahwa ia menang. Saat polisi berbalik arah melihatnya, raut wajah Bu Ratna langsung berubah. Ia mengubah raut wajahnya menjadi khawatir. “Bagaimana sekarang, Pak? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Bu Ratna. Matanya melirik Alva. “Untuk saat ini kami akan mengautopsi jasad korban dan memintai keterangan yang melihatnya.” Polisi itu memberikan penjelasan. Bu Ratna mengajak polisi itu keluar dari ruangan CCTV meninggalkan Alva yang tengah emosi. Sejak awal ruangan CCTV ini sudah dikendalikan oleh mereka. Alva tidak lagi bisa mengaharapkan apa-apa dari ruangan ini. Jalan satu-satunya untuk memecahkan apa yang sedang terjadi adalah dengan bertindak sendiri. Di tempat yang lain, Prof. Gunawan memutuskan untuk memulangkan semua murid. Pak Eko beserta beberapa guru lainnya kewalahan mengatur hampir 300 siswa. Tidak seperti kejadian pertama waktu itu. Kali ini mereka lebih beringas. Mereka protes tentang bagaimana keamanan sekolah ini. Bagaimana bisa sekolah terbaik keempat di Jakarta bisa terjadi pembunuhan dua kali dalam sebulan. Bagaimana nasib mereka jika sekolah ini nantinya akan memiliki nama buruk. Oleh sebab itu Prof. Gunawan mengambil keputusan untuk memulangkan murid-muridnya. Polisi sudah berhasil mengefakuasi jasad Maya. Mereka sudah membawanya guna kebutuhan autopsi. Farah, Naira, dan Raka tidak ikut pulang bersama murid yang lainnya. Mereka semua pergi ke UKS untuk melihat Dave di sana. Sampai di sana, Dave sudah tidur. Deva duduk di kursi menjaganya. “Bagaimana keadaan Dave?” Naira bertanya. Ia terlihat khawatir melihat Dave. “Gue rasa dia sedikit terguncang. Lo semua tahu kan, Maya itu cewek yang lagi dia incer sekarang. Gue merasa kali ini Dave bukan sekedar mengincar Maya untuk jadi pacar belaka.” “Gue sependapat dengan lo, Deva,” sambung Raka. “Sekarang kita biarkan Dave istirahat. Karena polisi akan datang lagi nanti untuk mengintrogasi Dave.” Naira dan Farah setuju dengan apa yang dikatakan Raka. “Kalau begitu gue ke kantin dulu, ya.” Naira inisiatif membelikan makanan. “Ayo, Farah.” Naira menggandeng tangan Farah meminta untuk ditemani. “Sebenarnya ada yang belum gue sampein ke kalian,” ujar Deva menghentikan langkah Naira. “Maksud lo?” Raka tidak mengerti. Deva menarik napas sejenak. “Sebenarnya gue dan Dave tahu kalau Maya menghilang.” Deva menundukkan kepalanya tidak berani menatap mereka karena merasa bersalah telah menyembunyikan sesuatu. “Minggu pagi gue dan Dave jogging. Dave ngeliat Maya pergi ke rumah kosong yang ada di ujung komplek. Dengan pakaian serba hitam, Maya hati-hati banget. Ia waspada, memastikan tidak ada yang ngikutin dia. So, last night Maya’s father came to Dave’s house. He asked Dave where Maya was.” Maya tidak masuk sekolah sudah lima hari. Kalau kemarin pagi Maya masih ada, itu artinya tiga hari sebelum itu ada sesuatu yang terjadi padanya. Raka teringat hari terakhir Maya masuk kelas, ia pulang cepat. “Lo inget gak terakhir kali Maya masuk kelas dia pulang cepat?” tanya Raka tiba-tiba membuat mereka semua menoleh ke arahnya. “Gue inget. Waktu itu Maya mual, muntah. Izin ke Bu Ratna kalau gak salah.” Naira mengingat jelas kejadian hari itu karena ia yang mengantarkan Maya ke ruangan Bu Ratna. “Nai, ikut gue.” Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD