Bab 23. Bayangan

1363 Words
Bab 23 Bayangan Kekhawatiran Naira, Farah dan Deva selesai sudah. Lima belas menit yang lalu yang ditunggu telah kembali dengan selamat. Alva menceritakan apa yang terjadi di sana secara rinci. Meskipun ada sedikit keraguan dalam hati Naira bahwa bisa saja laki-laki itu membohongi Alva, namun iya harus berpikiran positif saat ini, agar mereka bisa memecahkan misteri ini secepat mungkin. Enam hari saja waktu yang tersisa untuk mereka saat ini. Mereka berenam harus bisa memanfaatkan waktu yang tersisa agar segala sesuatunya berjalan sesuai yang diharapkan. Jika ujian mereka terganggu, itu adalah sebuah petaka. Naira sengaja tidak langsung memberitahukan penemuannya dari foto itu. Naira membiarkan Dave, Raka, dan juga Alva beristirahat sejenak. Malam telah tiba. Farah tidak lagi gelisah seperti kemarin karena ia sudah meminta izin kepada mamanya tadi pagi sebelum pergi ke sekolah. Alva juga berjanji akan mengantarkannya pulang malam ini. Jadi tidak ada yang perlu Farah khawatirkan. Naira datang membawakan jus jeruk. “Nih, diminum dulu.” Raka, Dave, dan Alva sepertinya terlihat sangat haus. Mereka hampir berebut menuangkan jus ke gelas. Farah menatap Naira. Yang ditatap paham apa maksud Farah menatapnya. Naira menggunakan tangannya sebagai kode memberitahu kepada Farah untuk menunggu sebentar lagi. Tiga gelas mereka sudah kosong. Naira beranggapan sekarang adalah waktu yang pas untuk mengatakan kepada mereka. “Denger sini, guys.” Naira membuka forum. Ia mengangkat ponselnya ke udara, menunjukkan sebuah foto halaman sekolah yang ada pohon besarnya. “Ini foto yang gue ambil sehari setelah kejadian rekayasa pembunuhan Pak Diko.” Naira memperbesar foto. “Ini bayangan laki-laki-“ “Tunggu!” sela Raka. Ia berdiri, meminta Naira menyerahkan ponsel yang ia pegang kepadanya. Naira memberikan ponsel tersebut tanpa ragu. Raka terlihat fokus sekali menatap layar benda canggih itu. Ia mengerutkan keningnya sebelum menunjukkan sesuatu kepada temannya. “Lihat ini.” Raka memperbesar ukuran foto di bagian ujung. Bagian ujung itu adalah gerbang sekolah yang masih terjangkau pontretan ponsel Naira. “Nai.” “Hm?” Ia menoleh ke arah Raka. “Lo bisa buat foto kabur jadi jernih, kan?” “Bisa.” Naira berdiri. “Sini laptop.” Raka menyerahkan ponsel Naira, kemudian berlari ke atas, menuju kamarnya untuk mengambil laptop. Tak lama Raka kembali dengan benda yang diminta Naira. Setelah diberikan kepadanya, entah apa yang dikerjakan Naira. Hanya dia sendiri yang paham. Semua berkumpul di belakang Naira memperhatikan layar dan jarinya yang menari-nari di atas kibor. Farah takjub dibuatnya. Baru kali ini ia melihat seseorang yang bisa memainkan jari di atas kibor secepat itu. Ia pikir selama ini Alm. Papanya lah yang tercepat. Ternyata jika dibandingkan dengan Naira, papanya tertinggal. Naira menekan tombol enter. “Selesai.” Gambar yang semula kabur kini menjadi jernih sekali. Sebuah mobil jeep berwarna hitam. Naira berhasil. “Coba lo cari plat nomor itu, Nai.” “Oke, sebentar.” Naira kembali menarikan jarinya di atas kibor. Ponsel Alva berdering. Ia pergi beberapa langkah dari tempat mereka berkumpul, kemudian menjawab panggilan itu. Mata Alva menjadi berbinar. Ia segera menutup ponselnya, dan berlari keluar markas mereka. “Al…” Suara Farah terputus saat hendak memanggil Alva. Alva sudah keburu keluar terlebih dahulu sebelum Farah menuntaskan nama Alva. Kenapa pria itu pergi begitu saja. Ini adalah kali keduanya Alva melakukan itu. Alva memutar stir menuju rumah sakit. Ia tidak sabar ingin cepat sampai ke sana. Berbeda dari tempo hari yang lalu. Sekarang bukan rasa khawatir lagi, melainkan perasaan bahagia. Ia mendapat kabar dari dokter yang merawat kakaknya, bahwa kakaknya sudah sadar. Alva harus segera ke sana. Di sisi lain, tidak ada yang menyadari perginya Alva kecuali Farah seorang. Semua sedang fokus memperhatikan Naira bekerja. “Ini data pemilik mobil itu.” Farah mengerjap beberapa kali. Ini bahkan belum lewat lima menit. Dan dirinya hanya sebentar saja mengalihkan pandangan dari laptop ke Alva melihatnya pergi tadi. Lalu apa ini? Secepat itu Naira bisa mendapatkan data pemiliki mobil yang diminta Raka? “Lo gak diragukan lagi, Nai.” Deva mengacungkan jempol untuk Naira sebagai tanda takjubnya. Raka terlihat berpikir. “Kenapa, Ka?” tanya Naira penasaran. “Sebenarnya apa yang ada di TKP itu?” Raka menatap bergantian keempat wajah temannya. “Bu Ratna dan laki-laki ini. Apa yang sebenarnya tujuan mereka merusak TKP itu?” Kalimat Raka barusan sukses membuat otak mereka bekerja sempurna. Mereka sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing menebak jawaban untuk pertanyaan Raka. Hening. “Itu artinya, sewaktu lo tiba di sekolah, ada laki-laki yang bersembunyi di balik pohon besar itu,” ujar Raka. Naira setuju dengan apa yang Raka katakan. “Kita harus menemui pemilik mobil ini terlebih dahulu. Kita juga harus bisa mengetahui dengan siapa dia bekerja.” Deva mengutarakan idenya. “Aku setuju,” ujar Farah. “Biar aku yang urus.” “Nai?” Farah meyakinkan Naira. “Tenang aja, Nai. Aku punya ide.” “Tapi sebelum itu,” sambung Raka. “Ada yang lebih penting dan harus kita lakukan sekarang.” Raka mencari Alva, namun pria itu sudah menghilang. “Al?” “Dia keluar tadi setelah menerima telpon.” “Kapan?” tanya Dave. “Sekitar lima belas menit lalu.” “Anak itu memang selalu pergi begitu saja,” seru Raka sedikit kesal. __00__ Alva memegang erat tangan Dinda. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan perut kakaknya. Dinda mengelus lembut rambut adiknya itu. Haru rasanya melihat sosok Alva yang biasanya sangat-sangat menjaga sekali agar tangisnya tidak sampai diketahui orang lain, namun kini Dinda melihat itu setelah lima tahun. Alva senang sekali melihat kakaknya sadar. Meskipun dengan kondisinya sekarang, sadar sudah lebih dari cukup. Alva menegakkan kembali badannya, menatap wajah Dinda. Dinda membalas tatapan adiknya dengan tawa kecil. Alva segera menghapus air matanya malu. “Udah gede takut kehilangan kakaknya.” “Apaan sih, Kak.” Pintu ruangan terbuka. Dr. Amini—dokter yang merawat kakaknya memasuki ruangan. Ia langsung mencegah Alva untuk berdiri menyambutnya. Amini sengaja melakukan itu dengan niatan agar tidak menganggunya. “Bagaimana keadaan kamu?” tanya dr. Amini. Dinda tersenyum. “Baik, Dok.” “Syukurlah.” Amini menatap Alva sekarang. “Bisa kita bicara sebentar?” Alva mendengarkan dengan seksama semua yang dikatakan Amini kepadanya. Semua kondisi Dinda sekarang cukup stabil. Hanya saja kaki kakaknya sebelah kanan patah. Untuk sekarang, Amini menyarankan agar Dinda dirawat dulu di rumah sakit sampai keadaannya benar-benar pulih. Setelah itu barulah boleh untuk dibawa pulang. Alva menyetujui itu. Lagi pula ia tidak bisa seratus persen meluangkan waktunya untuk Dinda. Selain bersekolah, Alva juga harus menyelesaikan misteri yang saat ini masih belum menemui titik terang sama sekali. “Kalau begitu, saya pamit.” “Terima kasih, Dok.” “Sama-sama.” Ponsel Alva berdering. Raka menelponnya. “Halo?” “Lo ke mana?” “Gue ada urusan mendadak. Maaf.” “Kapan lo balik?” “Gue balik sekarang.” Sambungan telepon diputus. Alva berpamitan terlebih dahulu kepada Dinda dan berjanji akan kembali untuk menemaninya. Dinda mengiyakan. Sebelum pergi Alva mengecup kening kakaknya terlebih dahulu. Alva bergegas keluar dari rumah sakit menuju mobilnya. Sebelum membuka pintu mobil, Alva tanpa sengaja melihat ke arah langit. Ada sesuatu yang membuatnya memicingkan mata, menajamkan penglihatan. Seorang wanita tengah berdiri di rooftop rumah sakit, bersiap untuk melompat dari ketinggian. Tanpa berpikir panjang, Alva berlari kembali masuk ke rumah sakit. Ia menabrak seorang pemuda hingga terjatuh. Tidak ada waktu untuk meminta maaf. Alva bangkit, melanjutkan larinya mencari mencari lift terdekat. Sedikit lagi Alva mencapai lift, pintunya tertutup. Ditekannya beberapa kali tombol tanda lift turun. Tidak bereaksi. Ia mencari tangga sekarang. Ketemu. Alva berlari, menaiki satu persatu tangga darurat rumah sakit itu. Entah berapa ratus anak tangga sudah Alva pijaki, ia berhenti sejenak, mengatur ulang napasnya kemudian melanjutkan larinya menuju atap. Tiba di anak tangga terakhir, Alva membuka pintu perlahan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Ia berjalan cepat namun berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengeluarkan suara. Hingga ia rasa sudah bisa meraih tangan wanita itu, Alva langsung mengambil tanganya, menarik, hingga perempuan itu jatuh di pelukan Alva. Perempuan itu memberontak berusaha melepaskan diri. Alva dengan sigap merangkul erat tubuh wanita tersebut. Perempuan bertubuh mungil itu lama-lama kehabisan tenaga. Ia sudah tidak sekuat yang tadi. Ketika dirasa Alva perempuan itu sudah tidak memberi perlawanan, dilepasnya tubuh wanita itu. Dengan sigap Alva menahan wanita itu agar tidak terjatuh ke tanah. Ia pingsan. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD