Cemas

1038 Words
Keesokan harinya, seperti biasa, Bian telah berada di depan rumah Raga. Turun dari motornya, ia berjalan memasuki rumah Raga dengan bersiul dan sesekali merapikan penampilan. Sudah menjadi kebiasaannya menjemput Raga berangkat kuliah. Ia seolah telah melupakan masalahnya kemarin dan bersikap seperti tak pernah terjadi masalah apapun.  “Bian.” Bian menghentikan langkah saat suara ibu Raga menginterupsi pendengaran saat ia baru saja hendak menaiki tangga menuju kamar Raga. Ia pun menoleh dan bertanya, “Iya, ada apa, Bi?” “Ada yang ingin bibi tanyakan. Sebenarnya apa kau ada masalah dengan Raga?” tanya Viona mengingat kemarin Bian menggerutu memaki Raga.  “Eh? Maksud Bibi?” “Sejak kemarin Raga tak mau keluar kamar. Dia juga tidak menyentuh makanannya. Dan pagi ini saat bibi mencoba membangunkannya, tak ada sahutan apapun darinya. Bibi jadi merasa cemas. Sepertinya ada sesuatu yang tak beres dengan Raga,” ungkap Viona dimana raut kecemasan sangat terlihat jelas di wajah.  Bian hanya diam dan terlihat berpikir. Sebenarnya ia juga merasa ada yang aneh dengan Raga tapi berpikir mungkin pagi ini Raga akan sembuh dengan sendirinya. Tapi mendengar apa yang ibu Raga katakan, sepertinya Raga memang tidak baik-baik saja. “Baiklah, Bi. Bian akan mencoba mencari tahu.” Bian berbalik kemudian melanjutkan niat yang sebelumnya tertunda yakni pergi ke kamar Raga.  Sementara Viona masih berdiri di depan tangga menatap punggung Bian dengan harapan Bian bisa menyelesaikan masalah ini. Karena entah hanya perasaannya saja atau memang benar adanya, sepertinya Raga memiliki masalah yang berat melihat sikap Raga yang tiba-tiba berubah 180 derajat. Tok … Tok … Tok … “Ga, ini aku, kau kuliah tidak?” Hening …. tak ada sahutan apapun dari dalam kamar Raga. Bian pun mencoba kembali memanggil dan mencoba membuka pintu yang ternyata dikunci dari dalam. “Ga, jangan bilang kau masih tidur! Dasar pemalas!” Kali ini Bian sampai berteriak, biasanya dengan cara seperti ini Raga akan keluar kamar dan menatapnya ketus. Namun sampai beberapa menit berlalu, Raga sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. Jangankan menunjukkan batang hidung, membuka kunci pintu kamarnya saja tidak.  Brak! Brak! Brak! Habis kesabaran, Bian menggedor pintu kamar Raga bahkan menendangnya hingga berkali-kali. “Raga! Apa kau tuli?! Cepat buka pintunya atau aku akan mendobraknya tanpa ampun!” Sementara di dalam kamar Raga sendiri, ia masih mengurung dirinya di bawah selimut. Tak ada niat sedikitpun darinya untuk bangkit dari atas tempat tidur dan membuka pintu meski suara Bian sangat mengganggu. Sayangnya suara Bian seolah tak tertangkap indera pendengarannya. Pendengarannya seakan tuli karena dalam pikirannya hanya ada gadis yang berani menginjak harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Pertanyaan kenapa dan siapa terus berputar layaknya komedi putar dalam otak dan membuatnya sampai tak ingin melakukan apapun bahkan untuk makan sekalipun.  Brak! Pintu kamar Raga terbuka lebar. Bian benar-benar mendobraknya. Ia pun segera melangkah menuju tempat tidur kemudian menaiki ranjang dan berdiri di sana kemudian segera menarik selimut yang membungkus tubuh Raga.  “Bangun! Atau aku akan …” ucapan Bian terhenti saat pandangannya menangkap wajah Raga yang tampak tak baik-baik saja.. Raga meringkuk memeluk tubuhnya sendiri dengan mata yang sembab. Dia juga terlihat menggigit bibir bawahnya kuat-kuat seperti menahan emosi meluap-luap yang tak dapat dijelaskan dengan kata. “Ga …” gumamnya. Seketika tatapan kekesalannya pun menguap menjadi tatapan iba. “Ga … hei, apa yang terjadi padamu, Bung?” Bian berlutut dan melihat keadaan Raga, menepuk-nepuk pipi Raga dan rasa cemas pun mulai timbul dalam d**a. Raga hanya diam, ia tak bisa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya masih belum mampu menceritakannya pada siapapun karena merasa siapapun yang mendengarnya mungkin akan menertawakannya. Bukan hanya menertawakan, namun juga mengejeknya sebagai pria yang sangat lemah. Plak! Tiba-tiba saja Raga menepis tangan Bian kasar kemudian tanpa mengatakan apapun segera bangkit menegakkan punggungnya lalu turun dari atas tempat tidur. Ia pun melangkah menuju kamar mandi meninggalkan Bian yang hanya bisa menatapnya dengan pandangan tak terbaca.  Jbles! Pintu kamar mandi pun tertutup dengan keras hingga Bian terjingkat kaget. Bian menatap pintu kamar mandi itu dalam diam dimana pikirannya dipenuhi tanya. Sebenarnya, apa yang terjadi pada Raga. Bukannya sembuh seperti yang ia kira, namun Raga justru semakin berbeda dari kemarin. Sorot matanya, raut wajahnya juga perlakuannya berubah 180 derajat dari Raga yang ia kenal. Sampai sebuah pikiran aneh pun mulai terlintas. “Apa dia kesurupan?” gumamnya.  Kling! Kling! Bian tersentak kaget saat dering ponselnya berbunyi. Ia baru saja berpikir yang tidak-tidak dimana sempat terlintas pikiran meruqyah Raga sampai bunyi ponselnya menyadarkannya. Merogoh saku celana untuk mengambil ponsel seraya menurunkan kaki dari ranjang, ia pun menggeser layar dan melihat siapa yang mengirimi pesan. Dan rupanya itu adalah pesan dari Raga. { Jangan bertanya apapun dan tinggalkan kamarku. } Gigi Bian terdengar bergemeletuk. Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat kemudian bangkit dari duduknya di tepi ranjang lalu melangkah ke arah kamar mandi.  Brak! Brak! Brak! Bian menggebrak pintu kamar mandi dan berteriak, “Woi! Kau pikir siapa dirimu?! Jika aku punya salah padamu cepat keluar dan katakan dimana letak kesalahanku! Itupun jika kau seorang laki-laki, Ga! Cepat keluar dan kita bicara!” Nafas Bian sampai tersengal karena berteriak sekuat tenaga. “Woi! Ga! Cepat buka pintunya! Dasar Ayam!” Namun sia-sia, pintu kamar mandi tetap tertutup rapat dan sepertinya terkunci dari dalam.  Merasa sudah habis kesabaran, Bian akhirnya menyerah, namun menyerahnya kali ini bukanlah akhir dari keingintahuannya. “Hah! Terserah kau saja, Ga! Apa yang kau lakukan kemarin dan hari ini benar-benar membuatku muak! Terserah apa yang mau kau lakukan! Aku tidak peduli! Bahkan jika kau selamanya membenciku pun aku sama sekali tak peduli! Kau dengar itu! Aku tak akan memedulikanmu lagi!” Brak! Dan gebrakan terakhir yang Bian tinggalkan menjadi pertanda bahwa setelahnya ia benar-benar pergi keluar dari kamar Raga. “Argh!” teriakan Raga memenuhi kamar mandi diiringi suara kaca pecah kala ponselnya melayang menghantam cermin. Ia marah, ia benci dan ia kesal pada dirinya sendiri juga pada wanita yang menyebabkannya seperti ini.  Sementara ibu Raga yang telah menunggu Bian di lantai bawah segera menanyakan keadaan Raga saat Bian turun. “Bagaimana, Bi?” “Bian tidak tahu, Bi. Tapi sepertinya Raga memang tidak baik-baik saja. Tapi Bibi tenang saja, Bian akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya.” “Tidak perlu.” Bian dan ibu Raga menoleh saat sebuah suara menginterupsi pendengaran keduanya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD