Mengkhawatirkan

1993 Words
“Bah!  Hah … hah …” Raga meraup udara serakah dan nyaris tersengal saat ia mengangkat kepala dari dalam air. Saat ini ia tengah menenggelamkan tubuhnya di dalam bak mandi berisi air penuh dan menenggelamkan kepala selama beberapa menit. Namun apa yang ia lakukan sama sekali tak menghilangkan bayangan saat wanita tersebut memperlakukannya seperti pria lemah, juga memperlakukannya seperti gigolo dengan meninggalkan segepok uang. Raga membasuh leher hingga bahunya yang terdapat jejak ruam kemerahan karena ulah wanita tersebut. Jejak dari giginya yang ditorehkan kala mereka melakukan penyatuan. Sayangnya sekuat apapun ia membasuhnya, jejak tersebut masih terus membekas dalam ingatan. Sebenarnya apa tujuanya? Kenapa harus pada dirinya? Apakah tak ada pria lain atau bahkan gigolo sekalipun yang sudi bermain dengannya? Deg! Sampai tiba-tiba Raga tersadar dan teringat masih ada jejak darah di celana yang menandakan wanita tersebut juga baru pertama kali melakukannya. Plak! Raga memukul air hingga luapan air tumpah membasahi lantai. Sial, ingatannya mengenai hal itu justru semakin mencabik-cabik hati dan perasaannya. Kedua tangannya mencengkram pinggiran bathup kuat dimana sorot mata juga raut wajahnya tampak mengerikan. Pandangannya seketika menjadi suram dengan giginya yang terdengar bergemeletuk. Raga bersumpah, ia bersumpah akan menemukan wanita tersebut bagaimanapun caranya, dan saat ia menemukannya, akan ia buat wanita tersebut menyesal seumur hidup. Akan ia buat harga dirinya lebih hancur dari hancurnya harga dirinya sebagai seorang laki-laki.  Sementara di luar, terdengar suara Bian yang berbicara dengan Viona, ibu Raga di lantai bawah. Tak memiliki kegiatan berarti, Bian memutuskan datang ke rumah Raga. Seperti biasa jika ia tak memiliki kegiatan, maka ia akan seharian di rumah Raga begitu juga sebaliknya. “Lo, bibi pikir Raga menginap di rumahmu, Bi.” Bian membeo. “Eh? Tidak, Bi. Semalam Raga turun di gang depan,” jawabnya. “Tapi Raga baru pulang tadi. Dan bibi lihat sepertinya ada yang aneh. Raga sama sekali tak mengatakan apapun saat memasuki rumah dan langsung masuk kamarnya,” ungkap ibu Raga kembali.  Bian tampak berpikir dimana dahinya terlihat sedikit berkerut. “Hm … kalau begitu biar Bian tanyakan, Bi. Raga masih di kamar, kan?” “Iya, sejak pulang dia tidak keluar kamar.” Akhirnya Bian memutuskan segera menaiki setiap anak tangga menuju kamar Raga di lantai dua. Sementara ibu Raga masih berdiri di tempat dan mengarah pandangannya pada Bian yang perlahan tak terlihat kemudian kembali melanjutkan pekerjaan rumah.  Sesampainya Bian di depan pintu kamar Raga, ia segera mengetuk pintu. Tok … tok … tok ... “Ga, kau di dalam? Aku masuk lo.” Seperti biasa meski tak ada jawaban dari dalam kamar, Bian segera masuk setelah sebelumnya mengetuk pintu. Lagi pula ia sudah biasa memasuki kamar Raga seperti memasuki kamarnya sendiri. “Loh, dimana anak itu?” gumama Bian saat mendapati kamar Raga kosong. Ia pun melangkah menuju kamar mandi dan mencoba mengetuk pintu. “Ga, kau di dalam?” panggilnya namun tak ada sahutan dari dalam. Sampai akhirnya tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan menunjukkan Raga dengan rambutnya yang basah dimana tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk dari pinggang sampai atas lutut. Raga hanya diam saat melihat Raga berdiri di depan pintu kamar mandi dan menyambutnya. Bahkan saat berjalan melewatinya, ia sama sekali tak mengucap sepatah kata. Bian menatap Raga dengan pandangan aneh seolah mengerti ada yang tak beres dengan Raga. Wajahnya tampak tak seperti biasa dan sama sekali tak menyapa walau hanya bertanya ‘ada apa’. Ia berjalan membuntuti Raga yang berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian kemudian bertanya, “Bibi bilang kau baru pulang, kau kemana semalam?”  Raga yang hendak mengambil celana menghentikan gerak tangannya saat mendengar pertanyaan Bian. Kemudian tanpa mengatakan apapun, ia melanjutkan niat mengambil pakaian tanpa menjawab pertanyaan Bian. Alis Bian tampak mengernyit, ia pun menepuk bahu Raga dan kembali bertanya. “Hei, Ga, kau mendengarku tidak?” Deg! Seketika tubuh Raga meremang merasakan tepukan Bian di bahunya tepat pada jejak yang ditinggalkan wanita semalam. Sontak Raga pun menepis tangan Bian dengan kasar hingga membuat Bian meringis. “Awsh … Raga! Apa yang kau lakukan?!” teriak Bian dengan memegangi pergelangan tangannya yang terasa panas. Sepertinya Raga tak bercanda saat menepis tangannya.  Ia hendak kembali memaki Raga seperti biasa namun melihat bagaimana Raga menatapnya membuatnya mengurungkan niat. Ia seolah dapat melihat Raga tak main-main dan melihat tatapan matanya begitu dingin dan suram. Alhasil Bian hanya bisa menatap Raga dalam diam, menatap  kedua jelaga Raga yang menatapnya seolah ingin membunuhnya . “Ra—“ suaranya seolah tercekat dan tertelan kembali ke tenggorokan. Seumur hidupnya baru kali ini melihat Raga dengan mode yang sangat mengerikan hingga membuat tubuhnya terasa kaku. Bahkan saat Raga berbalik dan melangkah melewatinya, ia sama sekali tak bisa menahan sekedar menahan menggunakan suara. Jbles! Pintu kamar mandi kembali tertutup saat Raga memasuki kamar mandi dengan membawa pakaian di tangan. Dan Bian hanya bisa menatap pintu itu dengan pasangan sulit diartikan. “Ada apa denganmu, Ga?” gumamnya. ‘Apa aku telah membuat kesalahan?’ batin Bian dengan mencoba mengingat apa yang terjadi semalam dan sepertinya tidak ada sesuatu hal yang serius. Semalam Raga terlihat baik-baik saja. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apa Raga menjadi korban perampokan dan menyalahkannya karena tak mengantar sampai depan rumah?  Tapi itu semua Raga yang memintanya bukan? Bian memutuskan menunggu Raga dengan duduk di tepi ranjang. “Sial!” decaknya saat merasakan tangan dan tubuhnya masih sedikit bergetar mengingat bagaimana tatapan Raga padanya. Tiba-tiba sebuah ide pun terlintas dalam otak, jika Raga menjadi korban perampokan pasti ponsel juga diambil, batinnya. Merogoh saku celana, Bian mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomor Raga. Drt … drt … Bian menoleh mendengar dering ponsel Raga yang ternyata berada di atas meja. Kemudian ia bangkit dari duduknya, mematikan sambungan telepon lalu membuka laci tempat Raga menyimpan dompet dan masih mendapatinya di sana. Itu artinya Raga tak menjadi korban perampokan karena benda berharganya masih utuh. “Lalu apa yang terjadi?” gumamnya. Cklek …. Bian menoleh mendengar suara pintu kamar mandi terbuka dan muncullah Raga yang keluar dari sana dimana ia telah memakai pakaian. Memakai celana training panjang juga sweater lengan panjang. Dan sama seperti sebelumnya, Raga sama sekali tak mengatakan apapun kemudian melangkah menuju tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Ia berbaring menyamping membelakangi Bian dan menarik selimut sampai bahu.  Bian yang masih berdiri di depan meja menatap Raga dengan pandangan penuh tanya. Ia hendak kembali membuka suara namun bayangan tatapan Raga terus berputar dalam ingatan. Bian menggeleng, ia tak boleh takut, jika terjadi sesuatu pada Raga ia harus melakukan sesuatu. Dan ia tak akan bisa melakukan apapun jika tak tahu masalah apa yang Raga hadapi. Glek! Bian menelan ludah susah payah kemudian memberanikan diri bertanya. Mungkin jika Raga tidak seperti ini, ia bisa menanyakannya dengan bebas tanpa rasa khawatir. Tapi mengingat Raga menepis tangannya dengan kasar dan memberinya tatapan mematikan, pasti telah terjadi sesuatu.  “Ga … Apa telah terjadi sesuatu?”  Hening, tak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut Raga sebagai jawaban. Sontak Bian pun semakin khawatir. Ia melangkah dan berdiri di sisi ranjang menatap punggung Raga yang tertutupi selimut. “Ga … ayolah, kawan, katakan sesuatu. Kau benar-benar aneh hari ini. Ceritakanlah padaku jika kau ada masalah,” ujar Bian dimana setiap kata yang terucap dari mulutnya terdengar merendah dan penuh kekhawatiran. Namun hal itu sama sekali tak mempengaruhi Raga agar mengatakan sesuatu. Raga tetap diam bahkan tak terlihat sedikitpun pergerakan layaknya patung.  Bian berjalan memutari ranjang dan berdiri di depan Raga, menatap Raga yang memejamkan mata dengan pandangan penuh tanya. “Ga, ayolah, Bung, jangan membohongiku dengan pura-pura tidur,” ucapnya. Namun bukannya menjawab, Raga justru mengubah posisi degan kembali membelakanginya.  Tangan Bian terkepal kuat dengan gigi yang terdengar bergemeletuk merasakan sikap Raga. Dengan nekat ia menarik tubuh Raga, menghadapkannya padanya lalu mendudukkannya dan mengutarakan kemarahan. Bahkan kedua tangannya mencengkram leher sweater Raga. “Raga! Apa yang sebenarnya terjadi?! Apa aku punya salah padamu?! Jangan seperti anak kecil yang hanya diam jika orang lain bertanya! Kau bukan lagi seorang bayi!” teriaknya hingga urat-urat di pelipisnya samar-samar terlihat. Rasanya benar-benar marah dengan sikap Raga yang mendiamkannya seperti ia adalah seorang penjahat dan telah melakukan kesalahan. Sementara a tak tahu dimana letak kesalahannya. Raga masih hanya diam dan menatap Bian dengan tatapan matanya yang kosong. Dan hal itu membuat Bian semakin dibuat kebingungan.  Bian melepas cengkraman tangannya perlahan, nafasnya masih sedikit terengah efek berteriak memarahi Raga dan kini hanya decakan kemarahan yang lolos dari mulutnya. “Sssssh … terserah! Terserah kau, Ga! Aku akan keluar dan tak akan peduli lagi padamu!” teriaknya seraya melangkah meninggalkan Raga. Ia berjalan sedikit pelan berharap Raga menahannya dan akan mengatakan masalahnya namun nihil, sampai ia mencapai pintu pun dimana tangannya telah memegang gagang pintu, Raga bahkan sama sekali tak bergeming.  “Grgggh--” Bian benar-benar kesal. Giginya terdengar bergerut saat ia berbalik dan melihat Raga tetap duduk seperti posisi sebelumnya.  Jbles! Bian menutup pintu kamar Raga dengan keras hingga suara bantingan pintu itu terdengar sampai lantai bawah. Sementara Raga masih terdiam dengan tatapan mata yang kosong. Ia benar-benar tak ingin berbicara apapun dan pada siapapun sekarang. Ia masih memikirkan bagaimana cara menemukan wanita itu, juga memikirkan betapa lemah dan bodohnya ia sebagai seorang laki-laki hingga menjadi korban pelecehan.  “Argh!”  Raga berteriak dengan memukul tepian ranjang saat pikirannya menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu lemah. Sangat lemah hingga kalah dari seorang gadis.  Sementara di luar, Bian tak henti-hentinya mengumpat, ia masih teramat sangat kesal dengan sikap Raga yang mendiamkannya tanpa alasan.  “Ada apa, Bi?” Ibu Raga yang sebelumnya mendengar bantingan pintu dari kamar Raga berniat menengok dan mendapati Bian turun dengan tak henti-hentinya mengumpat.  “Tanyakan saja pada Raga, Bi. Aku pulang,” jawab Bian ketus dan melangkah menuju pintu meninggalkan rumah Raga seperti meninggalkan kediamannya sendiri.  Ibu Raga hanya bisa menatap kepergian Bian dalam diam. “Ada apa? Tidak seperti biasanya,” gumamnya. Pasalnya selama ia mengenal Bian, tak pernah sekalipun Bian bersikap demikian. Jika Bian dan Raga bertengkar, Bian juga tak akan seserius seperti itu dan beberapa jam kemudian mereka akan akur kembali seperti tak terjadi apapun sebelumnya. Akhirnya ibu Raga pun memutuskan bertanya pada Raga sekalian menyuruhnya makan siang. Karena sejak pulang Raga sama sekali belum keluar dari kamar atau turun setidaknya mencari minuman dingin ke dapur.  Tok … tok … tok … “Ga, kau masih di dalam? Kau baik-baik saja? Keluarlah dan makan siang. Ibu sudah menyiapkan makan siang untukmu,” panggil sang ibu namun tak ada sahutan dari dalam kamar. Merasa gusar, ibu Raga mencoba membuka pintu dan mendapati Raga meringkuk di atas tempat tidur. Ia melangkah, berdiri di sisi ranjang dan mencoba membangunkan Raga. “Ga, bangun dan makan siang dulu.” “Biarkan Raga sendiri, Bu,” jawab Raga tanpa membuka kedua matanya yang terpejam kemudian berbalik memunggungi sang ibu.  “Ada apa? Kau ada masalah dengan Bian? Ibu juga ingin tanya kau semalam menginap di mana, Bian bilang kau tak menginap di rumahnya.” Bukannya menjawab, Raga justru menaikkan selimut hingga menutupi kepala dan hal itu membuat Viona merasa ada yang aneh dengannya. Selama ini Raga tak pernah bersikap demikian.  “Raga--” “Pergi.” Viona terkejut mendengar Raga mengusirnya dengan suaranya yang terdengar begitu dingin.  “Raga … apa mak--” “Raga bilang ibu cepat pergi! Raga sedang tidak ingin diganggu!” teriak Raga hingga membuat sang ibu tersentak kaget. “Raga ….” Viona hanya bisa mengurut d**a mendengar sang putra membentaknya. “Apa yang terjadi padamu, Nak …” batinnya. Akhirnya ia memutuskan keluar dari kamar Raga seperti yang Raga inginkan. Mungkin Raga memag membutuhkan waktu sendiri, mungkin nanti sore ia akan kembali menjadi Raga seperti semula. “Baiklah, nanti kalau kau lapar panggil saja ibu. Jika kau sakit istirahatlah dulu,” ucapnya yang kemudian melangkah menuju pintu dan keluar dari kamar sang putra.  Kriet … Jbels … Mendengar pintu kamarnya telah tertutup, Raga menarik selimut yang menutupi kepala dan menatap pintu kamarnya dengan pandangan tak terbaca. “Maaf,” gumamnya tanpa suara. Kemudian tubuhnya kian meringkuk dengan tangan yang memegangi d**a seolah merasakan sakit yang amat luar biasa di sana.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD