Bab. Keajaiban Itu Nyata.

1191 Words
'Ya Allah, ini sungguh nyata,' ucap Safiya dalam hati. Safiya mencoba berdiri dengan tegak, meski sakit kepala mendera dan mampu melibungkan tubuhnya. Tapi, gadis itu tak mau terlihat rapuh di depan ayahnya. Orang yang selalu merendahkan, bahkan mencaci makinya. Safiya mengusap pelan kening yang terasa ngilu, ada rasa basah di jemarinya. Dan dia pun mampu melihat ada warna merah pekat di sana. Gadis itu menyembunyikan teriakan senang, meski lukanya terasa menggenang. "Pergilah dari sini! Jangan terus membangkang dengan semua perintahku. Aku tidak suka penolakan anak sial!" usir Hamzah dengan suara rendah penuh penekanan. "Aku juga tidak akan berhenti kuliah, Ayah. Kalau Ayah tak mau membiayaiku lagi, aku akan mencari pekerjaan sendiri," jawab Safiya menoleh ke belakang di mana ayahnya berdiri. Mata Safiya tak berkedip saat kembali melihat wajah asli ayahnya. Lelaki itu masih sama tampan seperti beberapa tahun silam, punya wajah yang tampan meski usianya sudah menuju tua. Sorot mata penuh kebencian itu tersirat jelas, membuat Safiya semakin merasakan sakit yang kian dalam. "Bekerja?" tanya Hamzah dengan tawa menggelegar syarat akan ejekan. "Kau mau jadi pengemis, dengan mata buta itu?" Hamzah benar-benar tak punya hati nurani, mampu bicara seperti itu. "Tidak masalah aku harus menjadi pengemis, Yah. Asal sekolahku tidak putus. Lagi pula, Ayah tak akan malu kan? Karena, kau tidak pernah menganggapku putrimu!" Safiya menjawab dengan suara lantang penuh dengan amarah. "Jangan macam-macam, Safiya! Kau akan mempermalukanku," ancam Hamzah penuh penekanan. "Kalau begitu, jangan paksa aku berhenti kuliah! Ayah tidak mau malu, meski aku tak kau anggap putrimu. Jadi, biarkan aku gapai mimpi itu, meski menurutmu tidak mungkin," jawab Safiya sambil berlalu dari ruang kerja ayahnya. Safiya menutup pintu sengaja dengan suara kencang. Setelah itu, ia bersandar di sana dengan hembusan nafas panjang. Air mata jatuh membasahi pipi. Membuat rasa pusing itu kembali mendera. Puas dengan menangis, Safiya memperhatikan rumah yang dia huni selama sembilan belas tahun ini. "Ya, Allah, ternyata, terima kasih atas keajaiban yang kau beri. Rumah yang aku huni sebagus ini, fasilitas apa pun, aku punya. Tapi kenapa, ayah serta kakakku tega tak pernah menganggapku ada." Gadis cantik ini tak pernah menyangka akan disalahkan oleh keluarga, karena ibu kandungnya meninggal dunia. Dirinya lahir ke dunia saja bukan atas keinginannya. Dan kepergian ibu pun dia juga tak pernah tahu rencana Allah itu seperti apa? Lalu, kenapa seorang ayah yang harusnya memberikan kasih sayang dan cinta, malah mengucilkannya dengan alasan yang begitu pilu. Safiya melanjutkan melangkah menuju kamarnya. Kesembuhannya ini, tidak boleh ada yang tahu. Ia ingin menyembunyikan agar lebih paham, siapa yang tulus, dan siapa musuh. Sampai di kamar, Safiya buru-buru menutup lalu mengunci pintu. Dia berlari ke arah kaca besar. Siluet wajahnya langsung terlihat. Ia memegang pelan ke seluruh wajahnya. "Aku pun tidak begitu buruk. Seharunya, ayah tak memperlakukanku dengan begitu kasar," ucap Safiya. Safiya mencari alkohol dan kapas juga perban untuk mengobati lukanya. Dia sengaja tak membuat perban itu rapi, agar orang tak curiga, kalau ia bisa melakukan perawatan sendiri, untuk lukanya. "Apa wajah kakak mirip denganku?" Safiya bertanya seorang diri. Penasaran dengan paras Iqbal yang selalu dingin juga ketus. Jika boleh jujur, dia sudah lupa dengan paras kakaknya sebelum ia celaka. Safiya diam sejenak, mengingat sebuah bingkai yang terus ia peluk dan menjadi teman bicara saat dia merasa sedih. Mata Safiya kembali memanas, wajah cantik dengan senyum menawan tinggal hanya sebuah gambar. Sebagai pelipur rasa rindu yang bisa dilakukan gadis cantik itu hanya memandang juga merangkul sebuah bingkai bergambar wajah mendiang sang ibu. "Ibu .... Apa kau juga melihat keadaanku di sini?" tanya Safiya dengan sesegukan. Senyum tipis mulai terbit di bibir Safiya. "Sekarang aku sudah bisa melihat, Bu. Kali ini, aku berterima kasih dengan perlakuan ayah. Meski aku terluka, aku bisa melihat lagi, Bu. Dan hanya Ibu yang aku beritahu." Tangan lentik itu mengusap pipi yang basah. Kemudian membelai lembut bingkai itu, seolah takut pecah. "Bu, mulai hari ini, aku tak akan patuh lagi dengan perintah Ayah. Aku sudah dewasa dan berhak bahagia, bukan? Apalagi, penglihatanku sudah kembali, aku akan mengejar mimpiku, Bu." "Meski aku tahu, ini tak mungkin, aku yakin Ibu selalu bisa melihat apa yang aku lakukan di sini. Tetaplah mendoakanku, meski kita sudah beda dunia." Safiya menangis sejadi-jadinya. Kali ini, dia tak peduli jika, ada yang mendengar berteriak bahkan menangis tersedu. Rasa bahagia bercampur haru baru saja dialami Safiya. Puas menumpahkan segala rasa yang membuat ia sedih, Safiya kembali beranjak ke depan kaca meja rias. Ia duduk di sana, mengambil tisu untuk membersihkan wajahnya yang basah, bahkan sembab oleh air mata. "Terima kasih ya, Allah, sudah memberikan aku kesembuhan. Maafkan aku jika kabar bahagia ini tak aku sampaikan kepada keluarga. Karena ini lebih baik untuk saat ini. Suatu hari, akan aku sampaikan kepada Ayah yang terus menganggapku anak pembawa sial." Safiya melangkah ke kamar mandi. Ruangan privasi itu tak luput dari tatapan mata indah itu. Meski dia tak dianggap ada, setidaknya, Hamzah masih memberikan fasilitas mewah seperti kakaknya. Selesai membasuh wajahnya, gadis itu beranjak ke ranjang untuk istirahat. Jam dinding sudah bergerak ke angka sepuluh. Esok ada jadwal kuliah pagi untuknya, sehingga Safiya akan menggunakan waktu istirahat dengan baik. ___ Pagi harinya, sebelum keluar dari kamar, Hamzah sudah mendapatkan telpon dari seseorang. Menatap layar ponsel dengan sebuah nama yang terpampang di sana, membuat lelaki itu segera mengangkat panggilan. "Halo, selamat pagi," sapa Hamzah setelah panggilan terhubung. "Pagi, Pak. Maaf, jika pagi ini sudah mengganggu," ucap Akmal. "Sepertinya penting sekali, Pak. Sehingga tidak bisa menunggu siang hari," jawab Hamzah dengan tertawa pelan. "Iya, ini memang penting, Pak Hamzah. Sebenarnya, ada yang aku inginkan," aku Akmal. "Apa yang anda inginkan, Pak?" "Begini, Pak Hamzah, bukankah anda mempunyai putri?" Hamzah tak segera menjawab, ia masih berpikir dengan pertanyaan lawan bicaranya. Bahwanya, semu orang sudah tahu dengan kekurangan Safiya. "I-iya, saya punya satu putri. Kalau boleh tahu, ada apa ya, Pak Akmal?" "Kau sepertinya lupa dengan ucapanmu sendiri dua puluh tahun silam," jawab Akmal. "Maksud anda?" Hamzah masih saja bingung dan benar-benar tak ingat dengan dua puluh tahun silam. "Kita sudah berjanji akan menjodohkan anak kita, kalau anak kita lahir sepasang. Dan itu sudah terjadi, bukan? Aku punya seorang putra, dan kau punya seorang putri." Akmal menjelaskan. "Ta-tapi, Pak Akmal, putriku buta, umur sembilan tahun," jelas Hamzah. Terdengar tawa dari seberang sana. Semakin membuat Hamzah merasa aneh. "Ini jaman modern Hamzah, putrimu akan sembuh. Nanti aku yang akan membawanya berobat ke luar negeri agar bisa melihat lagi." Bukannya Hamzah kuper atau kudet, lelaki itu memang sengaja tak mau memberikan pengobatan untuk putrinya. Dia merasa Safiya pantas mendapatkannya, karena mengambil satu-satunya wanita yang ia cinta. "Jangan banyak berpikir, Pak Hamzah! Segera bicarakan dengan putri anda. Aku juga akan bicara dengan Samir. Setelah itu, kita akan menentukan hari pertemuan," ucap Akmal. "Baiklah, kau sendiri sudah tahu keadaan putriku, dan aku tidak mau ada pembicaraan yang menyakitkan di hari lain," jawab Hamzah. "Itu tidak akan terjadi, Pak Hamzah." "Panggil nama saja, akan terdengar lebih akrab." Tak lama setelah obrolan demi obrolan terjadi, panggilan itu terputus. Ada senyum di bibir lelaki paruh baya itu. "Aku pikir perjodohan itu tak akan terjadi karena keterbatasan yang dimiliki Safiya," gumam Hamzah. "Awas saja kalau kamu tidak mau, Safiya!" Wajah dengan senyum bahagia itu berubah menjadi wajah seram karena ekspresi marah serang Hamzah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD