"Ayah, boleh aku berangkat kuliah bareng, Ayah?" tanya Safiya sambil memegang tongkatnya.
Hamzah berdecih, menatap kesal ke arah putrinya. Sedangkan Safiya memasang senyuman berharap ayahnya mengizinkan keinginannya.
"Harus berapa kali Ayah bilang pergi saja sendiri, uang saku sudah papa berikan, mobil plus supir sudah disiapkan," jawab Hamzah sambil berlalu pergi meninggalkan Safiya.
Gadis itu menghela nafas, rasa sakit menjalar di dadanya. Begitu perih dan terasa panas. Jika luka itu nyata, mungkin bisa diobati. Sayangnya, perasaan dan hati Safiya yang terluka.
Safiya memanjangkan tongkatnya, dia berjalan pelan menyusuri ruangan agar sampai pada halaman rumah. Pagi ini, dia ada kuliah di jam sembilan pagi. Saat langkahnya hampir sampai di pintu utama, Safiya berhenti lalu bergeser agar tak menutupi jalan.
Gadis itu tahu kalau kakaknya akan lewat, dia hafal sekali dengan aroma parfum yang selalu Iqbal pakai.
"Kak, aku nebeng ya?"
"Enak aja. Biasanya juga pergi sendiri. Aku tidak sudi semua orang tahu, kalau aku punya adik seperti dirimu." Iqbal menekan kata terakhir yang ia ucapkan.
Seketika senyum Safiya luntur, ia menunduk menyembunyikan kesedihannya. Sedangkan Iqbal langsung berjalan menuju kendaraannya. Salah satu asisten rumah yang melihatpun hanya bisa mengelus d**a.
Menyaksikan setiap hari nonanya dalam kedaan tidak baik-baik saja. Karena sesuai perintah Hamzah, tidak ada yang boleh membantu Safiya melakukan apa pun di rumah itu.
"Sabar Safiya, kamu bukan sekali dua kali diperlakukan seperti ini oleh kakak atau pun ayah," gumam Safiya sambil meneruskan langkahnya.
Sampai di halaman, sopir berlari kecil ke arah Safiya. Ia membantu gadis itu agar naik ke mobil yang siap membawa ke kampus.
"Terima kasih, Pak!"
"Sama-sama, Nona!"
Pak Leo menatap penuh rasa sayang kepada Safiya. Ia tahu bagaimana perkembangan gadis itu sampai tumbuh dewasa. Sejak lahir dan ibunya meninggal, dia tak pernah mendapatkan kasih sayang oleh keluarganya.
Seperti biasa, Safiya bersandar pada kaca mobil, menikmati perjalanan ke kampus, menikmati hal yang bisa ia rasakan. Dia ingin terlihat sempurna seperti gadis lainnya. Hanya saja, itu menjadi kemungkinan kecil yang bisa terwujud.
Karena ayahnya saja tak pernah peduli akan dirinya. Mungkin nanti menunggu dirinya lulus kuliah dan bisa mencari uang sendiri, baru dia akan mencari pengobatan untuk kekurangannya.
"Nona, nanti di jemput jam berapa?" tanya Pak Leo sedikit menoleh ke belakang.
"Jam dua belas sudah selesai, Pak."
Pak Leo mengangguk, nanti telpon saya kalau sudah keluar kelas ya, Non!"
"Iya, Pak!"
Tiba di kampus, Safiya berjalan pelan menuju kelasnya. Banyak sekali tatapan aneh bahkan kata-kata yang harusnya tak pantas diucapkan. Tetapi, Safiya tak memperdulikan semua itu.
Bahkan, tak ada yang tahu, jika Safiya adalah putri dari orang ternama dalam dunia bisnis. Karena gadis itu selalu diantar dengan kendaraan yang tergolong biasa. Bukan kendaraan mewah seperti kebanyakan anak orang kaya.
Iqbal pun di kampus juga tak peduli dengan keberadaan Safiya. Ia menjadikan adik kandungnya orang asing. Bahkan, lelaki itu juga ikut mencaci akan keterbatasan yang Safiya miliki.
Safiya berhasil duduk di mejanya, menunggu dosen datang. Meski sebenarnya, sangat memungkinkan gadis itu kuliah di rumah. Nyatanya, Safiya tak mau menghabiskan waktu terus berada di rumah yang membuat dirinya semakin sesak.
___
Selesai dengan mata kuliahnya, Safiya mencoba mengirim pesan kepada kakanya.
'Kakak ....'
'Boleh aku numpang saat pulang kuliah nanti?'
Pesan sudah terkirim, Safiya menerima balasan dari Iqbal dengan cepat.
'Pulang saja sendiri.'
'Gojek banyak!'
Safiya meremas ponselnya, dia tak pernah mendapatkan apa yang ia mau. Kakaknya pun tak pernah menganggapnya saudara.
Safiya kemudian menelpon Pak Leo, agar menjemput karena mata kuliahnya sudah selesai. Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kelas. Berjalan dengan bantuan tongkat tak membuat Safiya merasa kesulitan.
Mungkin saja dia akan terus bergantung dengan tongkat ini sampai dia menuju tua. Dan Safiya, sudah siap untuk itu. Dengan keterbatasan yang ia miliki, gadis cantik ini tak mempunyai teman satu pun sejak masuk kuliah.
Safiya pun juga tak mau mencari teman, jika mereka hanya memberikan kepalsuan. Lebih baik menjalani semuanya sendiri agar dia tak bergantung kepada orang lain. Menunggu datangnya Pak Leo, Safiya duduk di bangku yang ada di parkiran.
Tak lama, Pak Leo datang membantu Safiya menuju mobil.
"Maaf kalau lama menunggu, Nona."
Safiya menggeleng, "Tidak apa-apa, Pak. Saya juga belum lama duduk di sini."
Mobil itu membawa Safiya kembali pulang. Dia akan kembali ke rumah yang membuat dadanya sesak. Seperti burung dalam sangkar emas. Tak ada hal yang bisa dia lakukan kecuali mengurung diri di kamar.
___
Sore harinya, Safiya turun karena merasa bosan dengan kegiatan di kamar. Rebahan dan mendengarkan musik, lama-lama membuat dia jenuh.
Bertepatan dengan Iqbal juga Hamzah pulang, senyum tipis terpasang di bibirnya. Berharap dia mendapat hal istimewa sore ini.
"Ayah, mau aku buatkan kopi?" tanya Safiya saat aroma parfum Hamzah menyeruak di sisi kirinya.
"Duduk saja, jangan melakukan hal apa pun, yang akan membuat aku merugi, Safiya," jawab Hamzah dengan suara lantang.
Safiya kaget karena jawaban ayahnya dengan nada marah. Safiya memejamkan mata sejenak, mengatur nafas yang mulai tak karuan, dengan jantung berdebar kencang.
"A-aku tahu Ayah capek, aku juga hanya menawarkan, siapa tahu ayah mau minun kopi. Kenapa Ayah selalu tak suka kepadaku?"
"Berapa kali Ayah bilang, kamu adalah pembunuh ibumu sendiri. Kalau kau tak lahir ke dunia, ibumu tak akan tiada secepat itu," jawab Hamzah dengan sorot mata penuh kebencian.
"Satu lagi, jangan terus bergerak seolah kau itu orang normal," sambung Hamzah.
Lelaki paruh baya itu meninggakkan ruang tamu dengan perasaan kesal. Entah kenapa, setiap hari hanya rasa marah yang timbul jika berhadapan dengan Safiya.
Sebutir air mata mulai jatuh membasahi pipi Safiya. Iqbal yang sejak tadi berdiri di belakang adiknya, lantas berjalan masuk dengan menubrukkan bahunya ke tubuh Safiya. Membuat gadis itu hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan.
"Kakak ...."
Iqbal berhenti, menoleh ke belakang menatap adiknya. "Apa ?" tanya Iqbal dengan suara datar.
"Apa kau membenciku dengan alasan yang sama?" tanya Safiya dengan suara lirih.
"Kalau aku jawab iya, kamu mau apa?" Iqbal membalikkan pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Safiya, kecuali air mata yang kembali berderai.
Sebelum melanjutkan langkah, Iqbal menambahkan luka baru untuk adiknya. "Kau juga buta! Aku benci dengan kekuranganmu itu. Membuat aku dan semua keluarga malu saja!"
Safiya jatuh terduduk, membuat hentakan yang cukup keras di lantai, karena tongkatnya beradu. Asisten rumah yang sedang sibuk di dapur pun menghambur ke sumber suara.
Melihat Safiya menangis pilu di depan pintu utama. Membuat salah satu asisten yang bernama Ria mendekat untuk memberikan pertolongan. Berharap sang Tuan tak melihay aksinya, agar dia tak kena marah, atau mungkin dipecat.
"Nona ...!"
"Jangan mendekat, Mbak!"
"Tidak apa-apa, Non. Semua sedang ada di kamar, ayo bangun, Non!"
Mbak Ria mengangkat Safiya dengan menarik bagian bawah kedua ketiak gadis itu. Sehingga Safiya bisa berdiri meski dengan tangis yang belum reda.
"Mereka tetap saja menyalahkan aku atas meninggalnya ibu, Mbak. Bahkan aku juga tidak mau menjadi buta," ucap Safiya dengan tangis yang pecah di pelukan Ria.
Insiden kembang api saat tahun baru itu berakibat fatal pada penglihatan Safiya. Tepatnya, saat gadis itu berusia delapan tahun. Percikan api itu mengenai mata menyebabkan kebutaan.
Wanita yang bekerja sebagai asisten rumah tangga itu tak bisa berkata apa-apa. Hanya mampu memberikan pelukan dengan tangis kesedihan yang sama.