Bab. 13. Memanjakan Diri.

1385 Words
Safiya keluar dari toilet restoran itu beberapa menit kemudian. Setelah memastikan Samir tidak lagi di sana. Setelah sopirnya datang dan menelponnya. Memastikan tak ada bekas air mata meski mata sedikit sembab. Gadis itu berjalan pelan ke arah kendaraan yang menunggu. "Kita ke kampus, Pak!" titah Safiya kepada sopirnya. "Baik, Non!" Kendaraan roda empat itu bergerak menuju arah kampus. Sesekali helaan nafas panjang terdengar begitu berat. Membuat Leo menatap majikannya dari kaca miror. Perjalanan selama dua puluh menit pun sampai di pelataran kampus yang sudah menjadi tempat Safiya menimba ilmu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada sopirnya, gadis manis itu keluar dengan anggun. "Dijemput jam berapa, Non?" "Jam lima, Pak," jawab Safiya. "Baik, Non." Tidak masuk satu hari membuat tatapan semua orang tertuju pada gadis yang memakai dres warna biru muda dengan motif bunga. Hal yang biasa dibawa Safiya pun tidak digunakan. Membuat jutaan tanya pada semua orang yang mengetahui keterbatasan gadis itu. Bisik-bisik mulai terdengar, bahwasanya, kebutaan yang dia derita sangat membuat hidupnya terbatas. Tak punya teman, jalan harus ada tongkat. Dicaci dan dihina orang. Tanpa memperdulikan sekelilingnya yang berdesas-desus, Safiya terus melanglah menuju gedungnya. Senyum tipis terkembang dengan tatapan dingin lurus ke depan. 'Wajah palsu penuh kebusukan itu sekarang terlihat nyata dengan dua mataku,' monolog Safiya dalam hati. Sampai di kelasnya, Safiya berdiri sejenak di depan pintu. Mengamati seluruh penghuni kelas itu dan mulai mengingat wajahnya satu per satu. Hanya satu yang tersenyum tulus ke arahnya. 'Mungkin itu yang bernama Gita?' tanya Safiya dalam hati. Semua yang pernah menggunjingnya mengenai penglihatannya yang tak sempurna, kini terdiam dengan tatapan berbeda-beda. "Kau sudah bisa melihat?" tanya Gita dengan wajah berbinar, berjalan mendekat ke arah Safiya. Safiya mengangguk kaku karena bingung mau bereaksi apa. "Aku turut senang kalau penglihatanmu sudah kembali," ucap Gita dengan senyum mengembang. "Terima kasih," jawab Safiya menatap wajah ayu berbalut kerudung warna moca. "Ayo duduk, dan abaikan mereka. Sebentar lagi dosen akan datang!" ajak Gita menarik lengan Safiya. Safiya mengangguk, menempati kursi yang masih kosong dan mulai mengeluarkan buku juga alat tulisnya. Sejak dia bisa melihat, dia akan berusaha lebih baik ke semua hal yang terjadi pada hidupnya. Lebih ikhlas menerima semua takdir, meski di hati terasa getir. Karena manusia tak akan pernah puas dengan secuil kebahagiaan. Akan ada keinginan lain yang harus dicapai dan lupa akan bersyukur. ___ Berada di kampus hanya tiga jam saja, membuat Safiya merasa bosan. Karena hatinya yang sedang tidak baik-baik saja, dipaksa untuk belajar dan mengerjakan tugas. Dalam perjalanan ke parkiran, Safiya bareng dengan Gita. Teman baru yang menolongnya saat dia akan terjatuh di waktu lalu. Gita juga ingin tahu bagaimana mata temannya itu bisa sembuh, yang ia tahu, Safiya tak izin kuliah untuk tindakan operasi. Safiya menceritakan hal yang perlu di ceritakan saja, yang terpenting dirinya sudah sembuh dan bisa kemanapun tanpa bantuan tongkat atau harus merepotkan orang lain. "Lain kali aku janji bakal ngobrol banyak sama kamu. Tapi, sore ini aku ada tempat lain yang harus aku kunjungi. Jadi, maaf kalau aku tak bisa menjelaskan banyak hal," ucap Safiya menatap tak enak ke arah Gita. "Tidak masalah. Pergilah! karena aku juga harus pulang. Kalau boleh, kita bertukar nomor telpon saja gimana?" tanya Gita. "Owh, tentu saja. Sini ponsel kamu," pinta Safiya sambil merogoh gawainya dari dalam tas. Selesai bertukar nomor telpon, keduanya berpisah ke kendaraan masing-masing. Safiya melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Leo yang melihat itu pun, merasa senang. Setidaknya, Nonanya tidak lagi sendirian. Punya teman untuk sekadar berbincang dan teman nongkrong. "Ada tempat lain yang harus nona tuju?" tanya Leo. "Ke mall saja, Pak. Aku mau pulang sedikit malam. Lagi pula bosan kalau di rumah terus," jawab Safiya. Gadis itu berencana membelanjakan uang yang ditransfer oleh ayahnya. Dia harus sedikit merubah penampilannya, agar tak selalu dianggap wanita kuper. Mobil melaju ke arah mall yang kebetulan searah dengan kampus Safiya. Beberapa menit berlalu, kendaraan roda empat itu sudah terparkir di basemat mall. "Saya akan tunggu di sini saja, Non!" "Kemungkinan, saya akan lama, Pak." "Tidak masalah, Non. Jangan buru-buru. Nikmati saja waktu Nona," jawab Pak Leo. Safiya hanya tersenyum lebar, kemudian mulai turun dari mobil. Hal yang akan ia lakukan lebih dulu, ia akan memotong rambutnya sedikit. Dia sudah lama tak memperhatikan rambutnya setelah dia nyatakan buta. Sekarang semua sudah berhasil ia lewati, anggap saja sebagai buang sial. Safiya benar-benar menikmati waktu sore ini, meski dia seorang diri. "Mau dipotong seperti apa?" tanya pemilik salon menatap wajah ayu Safiya dari pantulan kaca. "Apa saja asal wajahku lebih fress," jawab Safiya. "Rambutmu panjang, Nona. Aku mau potong sedikit dan membuat layer," ucap lelaki yang berwajah ayu seperti wanita. "Baiklah, lakukan saja!" Safiya memberikan izin untuk mengeksekusi rambutnya. Setelah rambut selesai, dia juga membentuk kukunya. Gadis itu memanjakan dirinya sendiri, setelah kepenatan hidup yang ia lalui. Hampir satu jam, Safiya baru keluar dari salon. Setelah membayar tagihannya, ia lanjut mencari toko perhiasan. "Entah apa tujuanku membeli perhiasan ini?" tanya Safiya memandangi beberapa set perhiasan yang ia pilih. "Mungkin kelak akan berguna," ucap Safiya pada dirinya sendiri. Safiya lanjut memasuki beberapa toko pakaian untuk mencari beberapa dres juga kemeja. Safiya tak akan berharap banyak mengenai pernikahan yang hanya sebatas perjodohan. Apalagi kata-kata Samir masih jelas terngiang di telinganya. Hal itu membuat Safiya sedikit sesak nafas kalau mengingat perbincangan siang tadi. ___ "Kau ini lelaki yang biasa terlihat alim, kenapa bisa menjadi lelaki sadis," ucap Reyhan menatap serius ke arah Samir. Sedangkan lelaki tampan bernama Samir itu malah santai dengan memegang cangkir berisi kopi. Keduanya memutuskan untuk ke cafe setelah bekerja. "Sadis dari segi apa?" tanya Samir mengeryit tanda tak paham dengan ucapan temannya. "Menikah saja belum, kamu sudah memberitahu Safiya mengenai rencanamu untuk tidak menganggap serius hubungan kalian," jawab Reyhan. "Lah, dariapada dia berharap lebih, kan, lebih baik aku jujur saja kalau memang aku tidak berharap hubungan pernikahan itu berubah menjadi cinta," ucap Samir mencoba membenarkan apa yang dia inginkan. "Ah, ngomong sama kamu memang enggak pernah benar," jawab Reyhan. "Ya udah diem aja, kalau gitu!" Samir menatap kesal ke arah Reyhan. Keduanya terdiam beberapa saat. Menikmati minuman yang sudah dipesan dengan tanpa suara. Hanya alunan musik syahdu di telinga, dan beberapa percakapan pengunjung. Hingga Reyhan kembali mengatakan sesuatu kalimat yang membuat sahabat sekaligua teman kecilnya itu berpikir. "Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan pernah bermain dengan hal yang berbau pernikahan. Meskipun aku tak kenal, sekalipun aku tak cinta dengan istriku, aku akan berusaha sekeras jiwaku untuk tetap bertahan dalam pernikahan." "Itu kamu, Rey, bukan aku!" Samir tak pernah menganggap semua omongan sahabatnya itu sebuah solusi. "Kamu apa tak pernah mendengar pepatah jawa yang mengatakan, witing tresno jalaran soko kulino?" tanya Reyhan. Samir menggeleng, meski ibunya berasal dari jawa, dia memang tak pernah tahu seluk beluk bahasa jawa itu. "Bagaimana kalau kamu nanti jatuh cinta pada Safiya?" tanya Reyhan dengan mata memicing ke arah sahabaynya. "Dia bukan tipeku, Reyhan. Jangan mulai berpikir jauh!" "Tapi aku yakin kalau pepatah jawa yang aku ucapkan tadi akan terjadi padamu," ucap Reyhan dengan penuh keyakinan. "Terserah apa katamu. Aku tak mau percaya itu. Karena Safiya bilang, kalau dalam satu tahun pernikahan hubungan itu saling menyiksa, aku boleh ajukan cerai," jawab Samir seolah tanpa beban saat mengatakan itu. Reyhan mengucap istighfar sambil mengusap d**a, tak pernah berpikir, kalau sahabatnya akan mengatakan hal itu. Dia pikir, Samir akan berpikir dewasa, nyatanya, pikiran sahabatnya itu masih belum bisa berpikir ke arah masa depan. "Kamu mau punya cewek dan jalan sama wanita manapun, meski kamu sudah jadi suami orang. Gimana kalau orang tuamu tahu kelakuan busukmu itu?" "Mereka enggak bakal tahu kalau mulutmu enggak ember," jawab Samir menatap serius ke arah Reyhan. "Si alan kau, Samir!" Reyhan tak tahan untuk tidak mengumpat. Hingga Reyhan kembali punya pertanyaan yang membuat Samir berpikir sejenak sebelum ia menjawab. "Gimana kalau kamu enggak tahan untuk menyentuhnya? So, kamu bakal satu ruangan terus sama dia, bakal tahu dia sedang ngapain dan kegiatan lainnya?" Reyhan masih menunggu jawaban dari sahabatnya yang masih terdiam. "Buang pikiran burukmu itu, Rey! Aku enggak bakal tergoda dengannya. Menurutku, dia hanya wanita biasa yang tak bisa membuat aku tertarik secara naluriah," jawab Samir. "Oke, kalau gitu jangan kau sentuh Safiya sampai umur pernikahan kalian satu tahun. Setelah kalian bercerai, aku yang akan menjadi suaminya," ucap Reyhan tanpa ada kalimat candaan. Samir melotot karena kaget dengan ucapan Reyhan. Dia tak bisa menjawab ucapan sahabatnya itu. Karena dia juga tak tahu kemana arah pernikahan terpaksa yang akan ia lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD