Suudzon-Able

1783 Words
"Belakangan ini saya disibukkan dengan berbagai hal, Mas. Saya stres banget sampai - sampai pikiran saya kayak buntu gitu. Saya jadi males ngapa - ngapain. Termasuk mikir buat lanjutin cerita - cerita saya di Dreame. Kayak udah jenuh banget gitu sama apa pun di dunia ini. Saya anggap itu sebagai awal mula dari karma saya.    "Karma itu terus berlanjut tanpa saya sadari. Kemudian saya dipertemukan dengan Mas dan serangkaian cerita hidup Mas. Asal Mas tahu aja. Karena pertemuan kita, saya akhirnya dapet inspirasi buat nulis sebuah cerita baru yang spektakuler."     Rori menaikkan sebelah alisnya. "Jangan bilang Mbak Vanila mau ...."    "Ya, saya mau nulis kisah nyata kita dalam work baru saya di Dreame. Saya cantumin keterangan 'Based on True Story' di deskripsinya, sebagai click bait, alias penarik perhatian buat nge - klik work baru itu."    Rori terlihat tidak senang dengan paparan Vanila. "Wah, kalo gitu berarti Mbak Vanila aja dong yang untung? Saya menderita sendirian. Mbak Vanila bersenang - senang di atas penderitaan saya."    "Kok gitu?"    "Ya iya lah. Mbak kan nulis ceritanya di Dreame. Sementara keluarga dan sahabat saya nggak ada yang ngeh itu aplikasi apaan. Sementara tujuan Mbak Vanila nulis cerita itu biar mereka pada baca, kan? Ya sama aja bohong! Gimana cerita itu bisa menjelaskan kebenaran pada mereka?"    "Mas, saya kan belum selesai ngomong tadi. Main nyela aja!" Vanila merasa kesal karena tuduhan Rori.    Rori masih tidak terima dengan ide Vanila. Tapi ia juga merasa bersalah karena telah membuat Vanila kesal akibat tuduhannya. "Emang apa lanjutannya?"    "Aish, saya telanjur kesel sama Mas. Saya udah kehilangan mood buat lanjutin! Mas lupain aja, deh." Vanila beranjak dan mulai membereskan barang - barangnya yang tercecer di atas meja.    Rori menggenggam pergelangan tangan Vanila. Rasa kesalnya karena rencana Vanila tadi tersisa sangat sedikit kadarnya. Yang semakin banyak, justru rasa bersalahnya. Juga rasa menyesal karena ia telah membuat satu-satunya orang yang percaya padanya saat ini, nyaris ikut meninggalkannya seperti yang lain.    "Mbak Vanila, sorry. Tolong jangan pergi, ya. Maaf karena tadi terburu - buru ngambil kesimpulan sepihak. Saya beneran nyesel."    "Nggak, saya mau pulang aja."    "Mbak Vanila ... jangan gitu. Jangan pergi. Sekarang cuman Mbak Vanila seorang yang percaya sama saya. Kalo Mbak Vanila ikutan marah sama saya, saya nggak tahu harus gimana lagi."    Vanila melihat siratan kesedihan dan ketakutan yang besar di wajah Rori. Ia jadi menyesal. Harusnya ia tidak mempermainkan seseorang yang sedang dalam keadaan terpuruk sekaligus dalam masa penolakan atas keadaan yang terjadi padanya saat ini.    Vanila lalu terkikik, untuk menunjukkan pada Rori, bahwa kekesalannya tidak lah serius. "Nggak enak, kan, rasanya di - prank? Beuh ... akting saya ternyata bagus, ya, Mas?" Vanila membongkar kedoknya. Kemarahannya pada Rori memang hanya main - main.    "Syukur, deh, Mbak Vanila nggak bener - bener marah." Bukannya jengkel atau bahkan tersulut amarah, Rori justru terlihat sangat lega.    Vanila jadi semakin menyesal. Karena itu tandanya saat ini Rori benar - benar membutuhkan dirinya. Tak peduli jika Vanila memperlakukannya dengan buruk, Rori akan tetap memohonnya untuk tinggal meski Vanila memaksa untuk pergi.    "Habisnya Mas Rori ngeselin banget, sih. Rencana saya ini, bukan untuk keuntungan saya sendiri, Mas. Saya nggak serakus dan seegois itu. Saya menyusun dan memikirkan rencana ini sedemikian rupa, agar menguntungkan kita bersama."    "Iya, Mbak. Saya percaya. Maafin saya karena sempat mikir yang nggak - nggak."    Vanila menggeleng. "Nggak perlu minta maaf, deh. Bikin saya makin ngerasa bersalah."    "Jadi, apa rencana Mbak Vanila sebenarnya?"    "Kita bikin reality show."    "Ha?" Rori terkejut sampai tak dapat mengontrol dirinya untuk bangkit dari pembaringan. Menciptakan sensasi berputar yang membuatnya oleng.    Untung Vanila sigap untuk menegapkan tubuh kurus Rori. 'Ngomong - ngomong apa orang ini nggak pernah makan? Kenapa kurus banget? Tubuhnya sangat ramping dan semampai seperti Kendal Jenner, Gigi Hadid, dan jajarannya. Sebagai wanita tulen gue merasa gagal.' Vanila meratapi nasib dalam hati.    Rori menutup mulutnya dengan telapak tangan karena kembali merasa mual. Vanila buru - buru mengambil baskom di atas lantai. Hanya air yang keluar. Yang berarti saat ini perut Rori benar - benar kosong.    "Mas, saya beliin bubur lagi, ya? Ntar tambah lemes lho kalo nggak makan?"    Rori menggeleng. "Percuma kali, Mbak. Habis makan saya bakal muntah lagi. Aish ... tahu begitu saya nggak minum obat yang bikin muntah - muntah terus kayak gini?" Rori perlahan kembali dalam posisi berbaring. "Kira - kira obat yang mana, sih, yang bikin saya muntah begini?"    "Nih." Vanila menyerahkan obat yang dimaksud Rori.    Rori terlihat tak percaya. "Beneran yang ini, Mbak? Kok Mbak tahu?"    "Mas jangan raguin saya. Saya hafal obat - obat model begini di luar kepala. Obat itu adalah obat kemoterapi oral yang harganya paling mahal."    "Kok Mbak bisa tahu, sih?"    "Dibilangin hobi saya nulis n****+ yang temanya begitu - begitu. Saya nggak sembarangan kalo mau nulis, Mas. Saya pasti riset dulu. Makanya jadi pinter beneran juga. Harusnya tuh ya, saat ini Mas ada di rumah sakit. Biar bisa diinfus. Kalo udah diinfus, kan, nggak perlu makan. Kalo nggak diinfus, Mas Rori harus makan. Atau tubuh Mas Rori bakal kekurangan nutrisi."    "Ke rumah sakit gimana? Duit aja saya nggak punya, Mbak. Dibilangin saya lagi dihukum. Kartu kredit yang kemarin itu, sekarang udah nggak sama saya lagi."    Vanila meringis prihatin. "Kalo kartu asuransi Mas Rori punya, nggak?"    "Ada, sih. Tapi nggak kebawa, deh, kayaknya. Di rumah."    "Alamatnya Mas Rori mana, sih? Biar saya ambilin. Itu perlu banget buat nerusin pengobatannya Mas Rori."    "Takutnya Ayah ntar nggak percaya kalo Mbak temen saya. Saya takut kalo Mbak malah diusir. Kan saya nggak enak, Mbak."    "Masalah itu, mah, gampang. Saya udah biasa diusir kok, Mas." Vanila mengatakannya dengan yakin. Memang benar, ia sering diusir oleh Bu Nora ketika hendak bimbingan skripsi.    "Yang reality show tadi, lho, Mbak. Jelasin dulu. Saya beneran nggak ngerti. Jadi nanti kita bikin proposal ke salah satu production house, terus kita shooting, terus kisah kita ditayangin di TV nasional macem acara termewek - mewek?"    "Bukan kayak gitu, Mas!"    "Terus apa kita bakal nunjukin kehidupan sehari - hari di TV nasional macem keluarga Kardashian atau macem Nadya Suleman yang anaknya 16 biji itu?"    "Nadya Suleman anaknya ada 14 orang, Mas."    "Oh iya, maksud saya 14 biji."    "Ya ... semacam itu lah. Kita bakal sibuk shooting tiap hari. Tapi ...."    "Tapi?"    "Reality Show kita nggak bakal tayang di TV nasional. Tapi ...."    "Kalau nggak tayang di TV nasional terus di mana, dong? Di TV daerah? Ya Allah, Mbak. Percuma. Keluarga saya nggak pernah nonton acara TV daerah. Apalagi sahabat saya si Sushi, dia terlalu sibuk buat sekadar nonton TV. Itu nggak bakal berhasil!"    "Mas Rori beneran pengin tahu rencana saya nggak, sih? Katanya tadi suruh jelasin. Begitu saya lagi berusaha jelasin, tapi Mas Rori - nya nyela terus. Mana selaannya nyengak banget! Kesel benaran, nih, saya! Sakit hati!"    Rori terlihat kembali menyesal karena kelakuannya sendiri. "M - maaf, Mbak .... S - saya nggak bermaksud buat bersikap ngeselin. Saya cuman menduga - duga. Saya sendiri juga nggak ngerti kenapa mulut saya ngomong ngelantur melulu dari tadi! Habisnya Mbak Vanila suudzon - able, sih."    Vanila hampir saja tergelak. Tapi ia tahan dan berusaha tetap mempertahankan wajah ketus. "Suudzon - able apaan, sih? Nggak jelas!"    Vanila tersenyum tanpa sepengetahuan Rori. Ia akan memanfaatkan kelabilan emosi Rori saat ini -- yang Vanila tahu sebagai akibat dari sakit dan ketidaknyamanan yang dirasakannya karena kondisi kesehatannya -- untuk menyelamatkan hidup pemuda itu sendiri.    "Gini aja. Kita bikin kesepakatan," ucap Vanila kemudian.    "Kesepakatan apa, Mbak? Apa aja bakal saya lakuin, asal saya kembali dapet kepercayaan dari keluarga saya, dan dari Sushi."    Vanila tersenyum puas. Pertama karena rencananya berjalan sukses sejauh ini. Kedua karena Vanila sedang merasakan sebuah kepuasan batin.    Apa itu?    Selain penggemar cerita bertema penyakit - penyakit kronis, Vanila juga merupakan seorang penggemar cogan. Apalagi jika cogannya bersahabat atau bersaudara, dan hubungan mereka sangat dekat. Saking dekatnya sampai sering bermesra - mesraan. Uhm ... bukan mesra dalam tanda kutip, ya. Maksudnya, mesra karena rasa saling sayang dan peduli.    Setahu Vanila sahabat Rori yang bernama Sushi itu juga sama keren dan cogannya dengan Rori. Meski Vanila belum terlalu menamatkan wajah si Sushi. Tapi Vanila tetap sangat menyukai momen mesra antar keduanya -- Rori dan Sushi -- tak terkecuali saat Rori berkali - kali menyebutkan nama Sushi saat bicara dengan Vanila.    Rasanya seperti banyak kupu - kupu yang terbang dalam perut Vanila. Perasaan geli yang menyenangkan. Dikarenakan sebuah momen yang sering disebut dengan nama bromance, oleh para penikmatnya seperti Vanila ini.    "Jadi setuju, ya, sama rencana saya? Apa pun itu?" Vanila ingin meyakinkan Rori sekali lagi.    Rori segera mengangguk. "Ya, saya setuju."    "Dengan syarat apa pun?"    "Dengan syarat apa pun." Rori membeo pertanyaan Vanila dengan sebuah pernyataan.    "Saya jelasin tentang reality show, tapi Mas Rori harus ngasih alamat rumah, biar saya bisa ke sana buat ambil kartu asuransinya Mas."    "T - tapi, Mbak ... s - saya bukannya nggak mau ngasih tahu. Saya cuman khawatir kalo Mbak tersinggung karena perlakuan orang tua saya. Soalnya mereka bukan tipe orang yang gampang percaya sama orang baru."    "Mas Rori tadi udah bilang setuju dengan apa pun syarat saya. Syarat saya ya itu. Kalo Mas Rori batal setuju, ya nggak apa - apa. Kesepakatan batal."    Rori terlihat sangat frustrasi. Vanila kasihan sebenarnya. Sudah sakit, dibuat frustasi pula. Tapi sekali lagi ini, kan, demi keselamatan Rori sendiri.    Uhm ... sebenarnya Vanila merasa tersanjung karena Rori menolak memberi alamat rumahnya, sebab khawatir Vanila akan diusir. Manis sekali. Membuat jantung Vanila berdesir - desir saking tersanjungnya.    "Saya janji, saya nggak bakal diusir sama keluarga Mas," lanjut Vanila.    "Saya nggak yakin."    "Mas nggak percaya sama saya? Mas meragukan saya?"    "Saya cuman khawatir, Mbak."    Vanila tersenyum lagi - lagi. Manisnya si Rori ini.    Vanila mengambil handphone dari dalam saku, langsung menyalakan kembali benda yang baterainya sudah hampir habis itu. Ia lalu berlutut di sebelah Rori yang masih terbaring di atas sofa.    "Mbak Vanila mau ngapain?" Rori terlihat kebingungan.    Vanila mengarahkan kamera depan pada mereka berdua. "Selfie ...."    Vanila nyengir pada kamera. Rori yang tidak siap hanya memasang muka bingung saat Vanila menekan simbol bulat di layar.    Belum selesai kebingungan Rori, Vanila tiba - tiba mengambil dompet milik Rori yang tergeletak di atas meja.    "Mbak Vanila mau ngapain?" Rori berusaha mengambil dompetnya kembali.    "Yang tenang, Mas. Saya cuman mau ngambil ini." Vanila menunjukkan KTP milik Rori pada pemiliknya.    "Mbak jangan, kembaliin!" Rori terus berusaha mengambilnya.    Vanila buru - buru menjauhkan KTP itu sebelum direbut oleh pemiliknya. "Pinjem sebentar, ya, Mas. Nanti saya balikin." Vanila memasukkan kartu itu ke kantong kemejanya." Vanila mengambil tas selempangnya. "Udah sore, Mas. Saya pulang dulu."    "Lhoh, Mbak Vanila kan belum lanjut jelasin tentang rencananya?"    "Saya bakal lanjut, setelah syarat yang saya minta terlaksana dulu."    "Mbak Vanila!"    "Bye, Mas Rori. Assalamualaikum."    "Mbak Vanila!"    "Orang salam itu dijawab!"    "Waalaikumussalam." Rori hanya bisa pasrah karena Vanila telanjur sudah pergi.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ T B C
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD