Suudzon-Able 2

1447 Words
Vanila berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari rumah reot nan angker milik Rori. Ia tadi harus bergegas agar Rori tidak menghentikan kepergiannya. Sekarang ia harus berhenti untuk melihat alamat yang tertera dalam KTP Rori.    Pertama - tama ... Vanila langsung salah fokus pada foto Rori di sana. Bahkan ini hanya foto KTP. Kenapa pemuda itu tetap terlihat sangat kece?    Kedua ... Vanila salah fokus pada tanggal lahir. Gadis itu memekik keras. Menjadikannya dipaandangi oleh orang - orang yang kebetulan lewat. Disangka sedang kumat.    Vanila sibuk beristighfar. Ternyata Rori kelahiran tahun 1998, Saudara - Saudara. Rori lima tahun lebih muda darinya!    Apa - apaan ini?    Batin Vanila benar - benar tidak terima. Gadis itu pikir, sekali pun Rori lebih muda darinya, tapi tidak sampai lima tahun juga kali!    Vanila pikir, Rori seumuran dengan teman - temannya saat ini. Hanya sekitar 2 - 3 tahun lebih muda darinya. Tapi kenyataannya ....    Vanila menggeleng cepat. Seakan belum bisa percaya bahwa hatinya telah bergetar untuk laki - laki yang ... bukan laki - laki ... Rori ternyata masih bocah!    Berarti saat ini Rori masih semester awal perkuliahan. Astaga .... Vanila benar - benar harus segera memberantas perasaan yang sedang bersemi dalam hatinya. Demi apa? Ia tidak boleh jatuh cinta pada seorang bocah!    Vanila kecewa. Vanila sakit hati. Vanila tidak rela. Tentu saja.    Saat ini Vanila harus hanya fokus pada tujuannya untuk menolong pemuda itu. Ya, hanya untuk menolongnya.   Hanya untuk alasan kemanusiaan.    Vanila mengangguk. Berusaha menerima kenyataan. Berusaha memantapkan hati, meski sangat sulit.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ "Assalamualaikum!" Vanila celingukan di depan sebuah pagar hitam yang megah dan tinggi.    Vanila berusaha berjinjit. Ia ingin mengintip apakah di dalam ada orang atau tidak.    Hari sudah hampir petang. Untung saja alamat rumah Rori tidak sulit untuk dicari. Rumah ini terlihat paling mencolok dibanding yang lain. Mengingat ukurannya yang luar biasa megah.    Vanila berniat akan menjalankan semuanya dulu hari ini. Baru ia bisa pulang dengan tenang. Ia merasa bersalah karena belum menjawab chat dari Ibu. 'Tenang, Bu. Bentat lagi aku pulang. Ini demi kemanusiaan, Bu,' batinnya.    "Assalamualaikum." Vanila mengulang salamnya.    Terdengar bunyi langkah kaki dari dalam. Vanila lega sekali. Akhirnya ada seseorang yang berkenan membukakan pintu untuknya.    Bunyi besi berat terdengar nyaring dan mengganggu. Pagar terbuka sedikit, hanya agar seseorang yang berada di baliknya, bisa bicara pada Vanila secara langsung.    Seorang laki - laki paruh baya berpakaian serba hitam, dengan nametag bertuliskan Maliki.    "Ada perlu apa, Mbak?" tanyanya.    "Saya temennya Rori, Pak. Saya mau ...."    Belum selesai Vanila bicara, Pak Maliki sudah menyela. "Oh ... Mas Rori udah nggak tinggal di sini, Mbak. Dia sekarang ting - ...."    Vanila balas menyela ucapan Pak Maliki. "Saya udah tahu, Pak. Urusan saya ke sini mau ketemu sama keluarganya Rori."    Pak Maliki mendelik seketika. Entah mengapa pandangannya segera terfokus pada perut Vanila. "Udah berapa bulan, Mbak?"    Vanila mengernyit tak mengerti. Apanya yang berapa bulan? Vanila kemudian mengikuti arah pandang Pak Maliki pada perutnya. Astaga ... Vanila sekarang mengerti.    Well, perutnya memang tidak seramping wanita - wanita sempurna dalam n****+ - n****+ yang ia baca atau pun ia tulis sendiri. Tapi ... tidak sampai seperti orang hamil juga kali.    Sialan! Atas dasar apa juga Pak Maliki menyangka jika ia ke sini untuk menuntut pertanggungjawaban karena sudah dihamili oleh Rori?    "Pak, perut saya emang buncit, ya. Emang suudzon - able." Vanila mengikuti gaya bicara Rori. "Tapi juga jangan terlalu frontal kali! Sakit hati saya!" Vanila seperti sudah mau menangis.    "Jadi Mbak e ini nggak hamil?" Pak Maliki terlihat kikuk.    "Nggak, Pak!" Vanila cemberut maksimal.    "Saya kira Mbak e hamil. Makanya nyari keluarga Mas Rori buat minta pertanggung jawaban."    "Nggak, Pak. Saya ke sini mau ambil kartu asuransi kesehatannya Mas Rori. Soalnya dia lagi sakit. Perlu kartu itu buat berobat."    Pak Maliki menaikkan sebelah alisnya. "Mbak ini pasti baru kenal sama Mas Rori, ya? Makanya Mbak belum ngerti. Mbak, saya kasih tahu, ya. Mas Rori, tuh, nggak beneran sakit. Dia cuman nge - prank Mbak buat dimasukin Youtube!"    Vanila menggeleng. "Pak, saya emang baru kenal sama Mas Rori. Tapi saya udah tahu tentang kebiasaannya nge - prank orang. Dan yang perlu digarisbawahi, saya tahu betul, Mas Rori bener - bener sakit. Bukannya lagi nge - prank!"    "Mbak tuh cuman dibohongin! Udah, deh. Mbak mendingan sekarang pulang, ya. Masih banyak hal lain yang lebih penting daripada ngurusin Mas Rori. Sumpah itu anak nggak jelas banget. Ada aja kelakuannya yang aneh - aneh. Tuan sampai pusing gimana caranya didik dia biar jadi orang yang bener. Sampai - sampai disuruh tinggal di rumah angker biar tobat!"    "Pak, justru itu. Mas Rori sekarang lagi kena karma. Mas Rori beneran sakit parah, tapi nggak ada yang percaya. Kasihan banget tahu, nggak? Udah, deh, Pak. Kita nggak usah debat tentang Rori. Terserah Bapak mah percaya apa nggak sama Rori. Saya ke sini cuman mau ambil kartu asuransinya."    Pak Maliki menggeleng. "Udah, Mbak pulang aja. Waktu Mbak terlalu berharga buat kena prank dari Mas Rori. Bahkan sampai rela ke sini, berkorban waktu dan tempat demi nolongin Mas Rori yang sebenernya nggak kenapa - kenapa!"    Vanila benar - benar tidak habis pikir. Kenapa orang ini sulit sekali diberi tahu?    Sebuah mobil Pajero warna hitam terlihat menepi. Pak Maliki menyadarinya, kemudian segera membuka pintu gerbang lebih lebar.    "Mbak, sepeda motornya tolong pinggirin. Biar mobilnya Tuan bisa lewat!" perintah Pak Maliki.    Oh, jadi mobil itu adalah milik ayah Rori yang baru saja pulang kerja. Bagus lah. Pucuk disayang, ulam pun senang. Daripada bicara tak ada habisnya dengan Pak Maliki, lebih baik Vanila segera bicara pada yang bersangkutan -- keluarga Rori yang memang ingin ia temui dengan pergi ke sini.    Bukannya segera meminggirkan mobil, Vanila justru melangkah mendekati mobil hitam itu. Ia berdiri di hadapannya, lalu menelentangkan kedua tangan.    "Lho, Mbak. Itu motornya dipinggirin! Kok malah hadang - hadang mobilnya Tuan segala! Kayak adegan sinetron aja! Ini dunia nyata, Mbak. Nyata!" Pak Maliki ngomel - ngomel.    "Justru Bapak, tuh, yang ribet macem sinetron Indonesia! Saya udah ngomong baik - baik tentang tujuan saja ke sini. Eh, bapaknya malah ngomong melulu. Pakek nuduh saya hamil segala pula!" Vanila membalas ucapan Pak Maliki dengan telak.    Seorang lelaki paruh baya yang terlihat rupawan, dengan aura orang kaya yang tumpah ke mana - mana, turun dengan priyayinya dari mobil.  Sementara seorang wanita paruh baya, dan juga gadis muda -- seumuran Vanila mungkin -- juga turun melalui pintu belakang.    "Ada apa ini?" tanya si laki - laki. "Pak Maliki, bisa dijelaskan?"    Sebelum menjelaskan, Pak Maliki melirik Vanila dulu dengan sengit. "Ini lho, Pak. Mbak ini tiba - tiba datang. Katanya mau ketemu Tuan sama Nyonya buat minta kartu asuransinya Mas Rori. Katanya Mas Rori lagi sakit. Udah saya kasih tahu baik - baik kalo dia lagi di - prank sama Mas Rori. Saya kurang baik apa? Eh, Mbak - nya malah nyolot terus. Mbak - nya ngeyel kalo Mas Rori beneran sakit."    Lelaki itu kemudian menatap Vanila. "Seperti yang dikataka oleh Pak Maliki, Anda sedang di - prank oleh anak saya, Mbak. Jadi lebih baik Mbak - nya pulang aja. Okay?"    Vanila menggeleng. "Saya nggak akan pulang sebelum dapetin kartu asuransinya Mas Rori."    "Mbak cuman buang - buang waktu. Rori tuh nggak kenapa - kenapa. Kalo Mbak nggak ngerti apa itu di - prank. Okay, saya jelasin dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti. Mbak lagi dikerjain sama anak saya."    Vanila segera naik pitam. Astaga, kenapa sulit sekali bicara dengan orang - orang dewasa ini? Mana dua wanita di belakang itu hanya diam sambil menatap Vanila dengan aneh. Tidak berniat membantu Vanila sama sekali.    Wanita paruh baya yang diyakini Vanila sebagai ibunya Rori, apa ia sama sekali tidak memiliki firasat tentang keadaan putranya sama sekali?    "Pak, saya ke sini cuman mau ambil kartu asuransinya Mas Rori. Hanya itu. Terserah kalian mau percaya atau nggak sama kata - kata saya. Mas Rori saat ini lagi sakit dan butuh pengobatan intensif. Nggak apa - apa kalau kalian nggak mau rawat. Biar saja aja. Biar ntar kalian nyesel setengah mati kalau udah tahu kenyataan yang sebenarnya."    Lelaki itu terlihat geram. Meski tak bisa dipungkiri kalau hatinya sedikit takut karena ancaman Vanila. Tentang penyesalan yang akan mereka rasakan kelak.    Tapi untuk apa mereka menyesal? Toh, Rori sebenarnya tidak kenapa - kenapa, kan?    "Kami sudah berbaik hati dengan berusaha memberi tahu bahwa Mbak hanya sedang di - prank. Tapi Mbak justru ngeyel dan bersikeras bahwa Rori benar - benar sakit. Kenapa Mbak bisa seyakin itu? Emang Mbak ini sebenernya siapanya Rori, hm?" Pertanyaan itu akhirnya meluncur dari bibir sang Ayah.    Napas Vanila tertahan. Pasti akan terlalu panjang jika menjelaskan hubungannya dengan Rori yang sebenarnya. Tentang karma yang mengikat keduanya. Sementara Vanila harus buru - buru. Tak mau mengulur waktu semakin panjang.    Vanila menarik napas dalam, kemudian mantap mengatakan, "Saya pacarnya Mas Rori!"    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ -- t b c --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD