Kesombongan yang Hakiki

1337 Words
Vanila belum mempercayai penglihatannya sendiri. Itu benar - benar Rori, kan? Atau Vanila hanya berhalusinasi karena ia selalu memikirkan pemuda itu, sehingga semua orang jadi terlihat mirip Rori?    Tapi siapa pun itu, entah Rori atau bukan, sepertinya sekarang bukan saatnya Vanila berdiam diri. Ia harus berbuat sesuatu untuk menolong pemuda di atas sofa lusuh itu.    Vanila bergegas menghampirinya. Rasanya sangat canggung. Vanila tak tahu harus mulai menolong dari mana. Ia akhirnya memutuskan untuk berlutut di sebelah pemuda itu, berusaha melihat rautnya yang tertunduk, tertutup oleh anak - anak rambut yang bercampur peluh.    "M - mas kenapa? Mas nggak apa - apa, kan?" Vanila benar - benar merasa kasihan pada orang ini. Di saat ia menderita seperti sekarang, kenapa sama sekali tak ada orang bersamanya? Apalagi rumah ini benar - benar ... berantakan dan kotor.    Pemuda itu tak menjawab apa pun. Hanya sedang berusaha mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke sebuah arah.    Vanila mengikuti arah yang ditunjuk olehnya. Kedua mata Vanila membulat melihat sesosok -- maksudnya seekor -- apa itu, ya? Berang - berang? Tapi kenapa seekor berang - berang ada di dalam rumah. Atau itu adalah ... tikus?    Tikus yang sangat besar. Amat sangat besar sekali. Besaaaaaar sekaliiiiii!    Vanila secara otomatis terjingkat dan naik ke atas sofa yang lain. Ia sempat berteriak tadi, untung ia sudah terlatih untuk tetap bisa berpikir jernih meskipun dalam keadaan genting.    Salah satu contoh latihannya adalah, mengerjakan tugas kuliah saat sedang banyak pelanggan rewel di warnet. Atau saat banyak sekali tugas kuliah dengan deadline di depan mata, tapi ia juga harus update cerita di w*****d, dan juga tertekan dengan bimbingan dan revisi dari Bu Nora dengan standar internasional dunia akhirat. Vanila benar - benar sudah terlatih dengan terlampau baik.    Gadis itu meraih sebuah sapu yang berada tak jauh darinya. Ia memberanikan diri turun dari sofa, kemudian perlahan mendekati si Tikus. Ia melangkah sepelan mungkin agar yang bersangkutan tidak kabur.    Sudah semakin dekat, Vanila mengangkat gagang sapu tinggi - tinggi. Satu ... dua ... tiga ....    DUAKKK ....    Vanila memejamkan matanya, takut bila melihat tikus itu berdarah - darah karena pasti akan sangat menjijikan. Tapi dari suara pukulan yang dihasilkan, terlihat jelas bahwa pukulannya tidak tepat sasaran. Bisa jadi karena meleset, atau karena tikus itu sudah kabur duluan.    Ketika Vanila membuka mata, ternyata benar, tikus itu sudah kabur. Badannya yang gembul tidak bisa digunakan lari terlalu cepat. Tikus itu belum terlalu jauh lari dari Vanila. Vanila segera pasang ancang - ancang untuk mengejarnya lagi.    "HYAAAAAAAAA~" Vanila berteriak sembari mengangkat gagang sapu kembali ke udara.    Tikus itu berlari semakin cepat karena sadar bahwa ia sedang dikejar, nyawanya terancam oleh setangkai gagang sapu. Ia tak mau mati dengan cara sekonyol itu.    DUAKKK ....    DUAKKKK ....    DUAAKKKK ....    Vanila memukul ke segala arah di mana pun tikus itu tampak melamban. Sayangnya, Vanila terus menerus gagal. Yang benar saja, ternyata ia kalah pintar dari seekor tikus.    Vanila terus mengejar sampai tikus itu menghilang di balik sebuah lemari besar di sudut ruangan. Lemari yang memiliki aura horor stadium empat. Mengerikan sekali.    Vanila berusaha tetap mencari si Tikus. Ia menemukan sebuah lubang besar di bawah lemari. Wah ... itu pasti adalah jalan para tikus masuk ke rumah ini. Tidak salah lagi.    Vanila berjalan gontai kembali pada Rori. Eh, sebenarnya Vanila masih belum yakin itu Rori.    Vanila tak bisa menahan senyumnya ketika sampai di ruang tamu. Oh, ternyata itu benar - benar Rori, kok. Terbukti. Karena sekarang pemuda itu tak lagi meringkuk seperti tadi, melainkan sudah duduk manis bersandar pada mahkota sofa. Rautnya terlihat pucat dan mengkilat karena keringat.    "Tikusnya masuk ke lubang di bawah lemari itu, tuh!" Vanila menunjuk lemari yang bersangkutan.    "Sumpah, saya geli banget sama tikus, Mbak," lapor Rori. "Apalagi tikusnya segede kucing gitu." Rori terlihat menahan sakit sembari memegangi perutnya.    "Haha ... nggak heran, sih, Mas - nya sampai minta tolong segala! Makanya saya berani masuk ke sini tadi," jawab Vanila. "Eh, tapi Mas - nya nggak apa-apa, kan? Sejak waktu itu sakitnya belum sembuh? Terus diagnosa dokternya kayak gimana?" Gadis itu duduk pada single sofa di hadapan Rori.    "Saya tadi sempat ragu. Tapi sekarang saya yakin kalo Mbak adalah orang yang sama dengan seseorang yang menolong saya tempo hari. Sekali lagi makasih, ya, Mbak," ucap Rori tulus. Tapi terlihat sekali bahwa ia sedang berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia sama sekali tak menjawab pertanyaan Vanila.    "Nggak perlu bilang makasih, Mas. Kebetulan aja saya lagi ada tiap kali Mas butuh bantuan."    Rori terkikik mendengarnya. "Denger - denger nggak ada yang kebetulan di dunia lho, Mbak. Pasti ada hukum sebab akibatnya. Udah dua kali Anda nolong saya tanpa sengaja. Kalo udah tiga kali, bisa jadi kita jodoh!"    Rona Vanila memerah seketika. Apa - apaan si Rori ini! Apa ia berniat membalas pertolongan Vanila dengan membunuhnya? Membunuhnya dengan jurus gombal!    "Haha ... maafin saya, ya, Mbak." Rori malah tertawa. "Saya orangnya emang suka nggak jelas kalo lagi bercanda."    "Hihi ...." Vanila menunjukkan rentetan gigi depannya yang rapi. "Iya, Mas. Nggak jelas banget emang!" tegas Vanila. Demi apa ia pagi - pagi digombali cogan yang bahkan belum berkenalan dengannya secara benar. "Eh, tapi Mas kondisinya gimana sekarang? Ada yang bisa saya bantu? Soalnya saya harus ke kampus sekarang. Saya udah telat banget, jadwal saya UAS hari ini!"    "Yah ... kok nggak bilang dari tadi, Mbak? Wah, ternyata Mbak juga kuliah di sini. Dunia sempit banget, ya. Yaudah, Mbak - nya buruan ke kampus aja sekarang. Saya nggak apa - apa. Perut saya sakit gara - gara kaget pas bangun lihat tikus gede banget itu tadi. Ntar kalo udah baikan saya bisa urus diri sendiri kok."     "Nggak apa - apa. Saya bantuin. Obat Mas di mana? Biar saya ambilin."    "Ntar Mbak - nya nambah telat."    "Kalo Mas - nya ngelak terus, saya bakal lebih telat!"    "Iya juga, ya. Uhm ... minta tolong, ya, Mbak. Itu, obat saya ada di tas kecil yang saya cantolin di atas koper."    Vanila segera beranjak menuju pada koper yang Rori maksud. "Ini?" tanyanya sembari mengangkat tas kecil itu.    "Iya."    Vanila kembali pada Rori sembari membawa tas kecil berisi obat, dan juga sebotol air mineral yang ia temukan dalam salah satu tas lain di sekitar koper. Ia memberikan semuanya pada Rori.    "Makasih." Rori lagi - lagi berterima kasih.    "Sekali lagi Anda bilang makasih, bakal saya kasih hadiah piring cantik." Vanila tertawa mengakhiri kata - katanya. Rori pun ikut tertawa.    "Eh, tapi Mas apa nggak perlu sarapan dulu sebelum minum obat?" tanya Vanila sebelum benar - benar pergi.    "Ada obat yang harus saya minum sebelum makan. Satu jam setelahnya baru boleh makan. Ntar habis minum obat yang itu, saya langsung keluar cari makan."    Vanila mengangguk mengerti. "Mas nggak usah keluar, deh, nanti. Ntar saya balik lagi ke sini setelah UAS, nganter makan. Mas istirahat aja."    "Tapi ...."    Belum selesai Rori bicara, Vanila sudah menyela. "Tenang aja, Mas. Otak saya ini lumayan encer kok. Kurang dari satu jam, saya bakalan selesai ngerjain semua soal. Dijamin!"    "Jadi cuman satu mata kuliah aja?"    "Sebenarnya dua. Tapi mata kuliah berikutnya, saya bebas, nggak ikut UAS. Mengingat nilai saya udah penuh, udah A. Dibilangin saya ini pinter banget!" Vanila tertawa karena pernyataannya sendiri. Tapi ia tidak berbohong. Ia memang bebas tidak ikut UAS pada mata kuliah tersebut karena nilainya sudah penuh.    Rori ikut tertawa bersamanya. "Yaudah, deh, Mbak. Makasih banget sekali lagi."    Vanila menggeleng heran. "Nanti saya balik lagi bawa makanan, sekaligus piring cantik yang udah saya janjikan."    Rori semakin tertawa dengan keras. "Udah, Mbak. Buruan berangkat sana!"    "Iya, ini juga udah mau berangkat." Baru beberapa langkah maju, Vanila kembali berhenti dan menoleh pada Rori.    "Kenapa lagi, Mbak?"    "Itu, saya titip motor di depan!"    "Haha ... iya, saya jagain motornya. Saya jadi terinspirasi buat bikin usaha parkir, deh!"    "Wah ide bagus, tuh. Nggak nyangka, ternyata saya adalah seseorang yang menginspirasi." Vanila terlihat berbangga diri. "Ya udah, saya beneran berangkat. Assalamualaikum!" Vanila berlari secepat yang ia bisa, mengejar waktu.    "Waalaikumsalam," Dalam hati Rori sangat bersyukur karena ada seseorang yang datang menolongnya. Ia benar - benar bertekat membalas kebaikan yang telah dilakukan gadis ini, yang ternyata satu kampus dengannya.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ T B C
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD