Kesombongan yang Hakiki 2

1248 Words
Sushi keluar dari bank yang terletak di kampus bagian depan. Di sini memang banyak berjajar berbagai bank yang bekerja sama dengan kampus sebagai sarana p********n mahasiswa.    Anak TI mulai UAS minggu depan. Dan ia baru bisa melunasi p********n semester sekarang. Di awal semester dulu ia membayar setengah dari jumlah yang seharusnya. Ia membuat pernyataan pada Ketua Prodi bahwa ia akan melunasi semuanya sebelum UAS. Syukurlah, ia sudah menepati janji.    Sushi kini berjalan menuju BAU untuk melegalisir bukti p********n. Ia berjalan sembari melihat ponsel. Siapa tahu ada pesan baru yang penting. Uhm ... sebenarnya Sushi juga menunggu pesan baru dari Rori. Ingin tahu apa isinya.    Kemarahan Sushi pada Rori memang sudah banyak berkurang. Tapi rasa kesal itu masih tersisa. Rasanya ia belum bisa bersikap biasa saja pada Rori jika mereka berinteraksi sekarang. Sushi membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyembuhkan hatinya sendiri.    PRAK ....    Ponsel Sushi terjatuh dan terlempar cukup jauh. Sushi merasa kesal tentu saja. Itu ponsel satu - satunya, yang ia beli dengan hasil keringatnya sendiri. Kalau rusak, ia harus bekerja keras lagi untuk memperbaiki atau bahkan beli yang baru.    Setelah mengambil ponselnya dan memastikan semua baik - baik saja, Sushi menatap seseorang yang tadi menabraknya. Ya ... si biang kerok yang membuat ponselnya terjatuh dengan nahas.    Seorang perempuan ternyata. Memakai rok span panjang warna hitam, kemeja putih, hijab warna hitam, dan juga jas almamater. Oh, mahasiswa yang sedang UAS rupanya. Pasti anak Fakultas Pendidikan karena UAS gelombang pertama.    Perempuan itu tengah berjongkok, sedang mengambil ponselnya yang juga terjatuh.    Sushi bersiap menghampirinya, juga mempersiapkan serangkaian kata mutiara untuk menegur si penabrak. Walaupun ponsel mereka sama - sama jatuh, tapi biar bagaimana pun gadis itu tetap salah.    Seandainya ia lebih berhati - hati, pasti tak perlu ada insiden ponsel jatuh dan terancam rusak, kan? Padahal Sushi setinggi ini, apa ia tidak bisa melihat?    "Mbak, lain kali hati - hati, ya!" ucap Sushi langsung pada intinya.    Gadis itu berbalik, kemudian berdiri. Oh, ia tak terlalu tinggi rupanya. Hanya setara pundak Sushi.    Sushi merasa terhipnotis ketika akhirnya menatap paras gadis itu. Bukan tipikal gadis Korea yang imut. Tapi juga tak seperti gadis Indonesia pada umumnya. Wajahnya terbilang unik. Kedua matanya bulat dan lebar, hidungnya tidak mancung namun indah, dengan bibir tebal yang dipoles lipstik warna koral. Ada sesuatu darinya yang membuat Sushi merasa sulit untuk tak menatapnya lekat.    "Maaf, ya, Mas," ucapnya dengan raut penuh sesal. "Saya lagi buru - buru banget soalnya udah telat. Ujian saya udah mulai sejak 40 menit yang lalu."    Ia sibuk membuka tas, mencari pulpen dan secarik kertas. Sementara Sushi masih bergeming, tenggelam dalam pesona gadis yang baru saja menabraknya. Entah hilang kemana semua amarah yang sejenak lalu masih menguasai hatinya.    "Ini nomor saya. Misal nanti ada kerusakan di HP Mas, tinggal WA saya aja. Saya permisi dulu, ya, Mas. Sekali lagi saya mohon maaf." Ia menyerahkan secarik kertas pada Sushi kemudian pergi begitu saja.    Sushi bahkan tak sempat mengucapkan apa pun. Rasanya tidak rela melepas gadis itu pergi. Tapi mau bagaimana lagi?    Sushi membaca tulisan yang tertera di atas kertas. Tepatnya tertulis sebelum rentetan nomor. Sebuah nama yang unik -- seperti pemiliknya -- Vanila.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ "Beneran kamu udah selesai?" Pengawas itu terlihat tak percaya.    "Serius, Bu. Nih, saya udah jawab semua pertanyaan secara lengkap, runtut, jelas, disertai alasan yang ilmiah sesuai dengan data." Vanila menunjukkan lembar jawabannya yang sudah penuh terisi dengan tulisan tangannya.    "Nggak kamu periksa dulu? Kamu tadi dateng paling akhir, lho. Yang lain aja masih ngerjain, tuh." Si pengawas masih berusaha menahan Vanila.    "Udah saya periksa tadi, Bu." Vanila kembali menyerahkan lembar jawabannya. "Bu, saya mau sekalian tanda tangan buat mata kuliah selanjutnya. Soalnya saya mau pulang. Saya nggak perlu ikut UAS buat mata kuliah Pendidikan Politik, karena nilai saya udah penuh."    "Jadi kalau nilai udah penuh nggak perlu ikut UAS?"    "Kata Pak Yatmin, sih, gitu." Vanila menyebutkan nama dosen Pendidikan Politik.    Pengawas itu akhirnya pasrah saja. Toh mahasiswi di hadapannya ini memang sudah selesai. "Ini." Ia menyerahkan daftar hadir untuk mata kuliah selanjutnya pada Vanila.    Vanila segera membubuhkan tanda tangannya di sana. "Makasih, ya, Bu. Saya pamit dulu. Assalamualaikum." Vanila mencium tangan pengawas.    "Waalaikumsalam. Kamu, tuh, pinter. Tapi telatan melulu dari dulu. Dikurang - kurangin, ya, telatnya!"    "Haha, iya, Bu." Vanila keluar kelas sambil cengengesan.    Ia mendapat kode dari sebagian besar teman - temannya yang masih mengerjakan. Biasa, mereka meminta Vanila untuk berbagi jawaban.    Vanila bukan tipe orang yang pelit berbagi jawaban. Ia sudah memotret lembar jawabannya tadi. Ia memberi gestur okay pada mereka semua.    Sampai di luar, Vanila segera mengirim foto lembar jawabannya di grup kelas. Tak lupa ia menambahkan sebuah peringatan di bawahnya.    'Inget, kata - katanya jangan ngeplek sama, biar dosen nggak curiga!'    Kini, Vanila pun bisa pergi dengan tenang.    Ia terlebih dahulu membeli bubur ayam di belakang kampus untuk diberikan pada Rori. Ia juga mampir ke warung terdekat untuk membeli sabun cuci yang berhadiah piring cantik. Ia sudah berjanji pada Rori, kan, tadi.n.  Langkah Vanila stabil dengan kecepatan tinggi sampai ia berada di rumah kosong yang sekarang ditinggali oleh Rori.    Ia harus menggali beberapa informasi dari Rori. Termasuk alasan kenapa ia mau - maunya tinggal di rumah hantu seperti ini?    "Mas ...." Vanila memanggil, karena ia tak menemukan Rori di ruang tamu.    "Wah, beneran udah kelar sebelum sejam!"     Vanila menoleh pada sumber suara. Rori keluar dari salah satu kamar. Ia terlihat sudah lebih segar. Ia juga sudah berganti baju dengan tema yang lebih santai. Ia mengenakan celana training dan kaos oblong warna putih. Dengan penampilan sederhana seperti itu saja, Rori tetap terlihat sangat menawan.    "Beneran, lah, Mas. Sekali lagi saya bilang, saya ini pinter banget!" Vanila cekikikan lagi seperti tadi saat menyombongkan kepintarannya juga. Kesombongan yang hakiki. "Nih, Mas, piring cantiknya. Sekalian ini sabun cuci sebagai hadiah pindahan rumah buat Mas."     Rori tak bisa menahan tawanya. "Njir, dibawain piring cantik beneran!"    "Ya beneran, lah, Mas. Saya, kan, orangnya selalu nepatin janji. Dan ... ini makanannya. Saya beliin bubur ayam. Doyan, kan?"    "Doyan banget!" Rori menerima styrofoam berisi bubur yang diberikan oleh Vanila. "Ini gratis, kan?"    "Nggak. Ini, kan, balas jasa saya gara - gara udah titip motor."    "Lah, jangan gitu, Mbak! Saya tadi cuman bercanda. Ya kali saya tega minta gratisan. Padahal Mbak udah sering nolongin saya."    "Nggak apa - apa, Mas. Saya ikhlas. Beneran! Saya tadi inisiatif beli bubur, soalnya waktu itu Mas, kan, sakit perut. Hari ini juga sakit perut. Orang yang sakit perut, kan, rata-rata nggak bisa makan yang kasar - kasar."    Rori tak segera menjawab perkataan Vanila. Vanila pun merasakan perubahan suasana hati Rori. Ia pasti merasa tidak nyaman. Membuat Vanila merasa semakin yakin bahwa diagnosa dari pemeriksaan Rori tempo hari, hasilnya tidak terlalu baik.    "Mas pindah ke sini mulai kapan?" Vanila lanjut bertanya.    "Baru kemarin."    "Kenapa Mas pindah ke sini? Padahal rumah ini serem banget. Kalo saya, mah, ogah. Takut!" Vanila menggunakan jurus pancingan lain untuk membuat Rori mau bercerita. Entah lah, biasanya ia tak se - kepo ini tentang kehidupan orang lain.    Hanya saja ... kasus Rori ini berbeda. Vanila merasa bahwa Rori sangat membutuhkan bantuan.    Rori sendiri sedang dilema saat ini. Ia ingin bercerita pada Vanila tentang masalahnya. Mengingat seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, ia tak bisa menghadapi semua ini sendirian.    Tapi ... Rori merasa ragu. Ia merasa bukan pada tempatnya bercerita dan meminta pertolongan terus-menerus dari Vanila, yang notabene masih tergolong orang asing.    Atau Vanila ini memang lah seseorang yang dikirim Tuhan untuk menemaninya menghadapi fase terburuk dalam hidupnya saat ini?    Rori belum bisa memutuskan apa pun.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ -- t b c --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD