"Aaron!" teriak Chlarent.
"Hatimu terbuat dari apa Nak, kenapa kau bisa sekejam ini." Suara Chlarent mulai melemah.
"Apakah ibu pernah mengajarkan hal seperti ini padamu?"
Aaron hanya diam, tidak menjawab pertanyaan wanita paruh baya itu.
"Jawab Ibu Aaron, apa pernah Ibu mengajarimu melakukan hal sekejam ini? Jawab Ibu!" Teriak Chlarent karena Aaron tak kunjung menjawab.
Aaron menghembuskan nafas kasar, "Tidak Bu." jawabnya pelan.
"Lalu mengapa, kenapa kau malah melakukannya? Kenapa Nak?" Chlarent tak kuasa menahan air matanya.
"Dia memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu Bu, ingat Bu dia yang membuatku kehilangan orang tuaku." Aaron masih bersikukuh mempertahankan pendiriannya.
"Ya Tuhan aku telah salah mendidik putraku." ucap Chlarent dan beberapa detik kemudian, pandangan wanita itu mulai menggelap, hingga akhirnya jatuh terkulai di atas lantai granit yang terasa dingin itu.
"Ibu..." Aaron tersentak melihat Chlarent jatuh pingsan di lantai. Dengan sigap Aaron menghampiri, lalu mengangkatnya ke tempat tidur.
Aaron terkejut ketika melihat ternyata Evelyn sudah bangun. Mata sendu itu menatapnya, hingga pandangan mereka terkunci selama beberapa detik. Aaron tersadar dari lamunannya, dan mengabaikan Evelyn.
Aaron merebahkan tubuh rentan Chlarent di sebelah Evelyn, dengan wajah panik pergi keluar dari kamar.
Beberapa saat kemudian, Dokter Lenin yang masih belum jauh dari kompleks mansion, datang kembali ke mansion Aaron.
"Apa yang terjadi pada Ibuku?" cerca Aaron begitu Dokter Lenin selesai memeriksa keadaan Chlarent.
"Tidak ada hal yang serius, hanya saja tekanan darah Nyonya Chlarent mengalami kenaikan. Anda tau sendiri, Nyonya Chlarent menderita hipertensi, jika terlalu banyak pikiran akan seperti ini jadinya. Maka untuk itu, Nyonya Chlarent jangan dibuat terlalu banyak berpikir dulu. Itu tidak baik untuk kesehatan beliau." jelas Dokter Lenin seraya melepaskan stetoskop yang menempel di telinganya.
Aaron mengangguk mengerti, kemudian menyuruh Dokter Lenin pergi dari sana.
Setelah Dokter Lenin pergi, Aaron beralih pada Evelyn yang kini sudah duduk bersandar di kepala ranjang.
Aaron masih saja menatap gadis itu dengan tajam sampai membuat Evelyn bergetar ketakutan. Tidak ingin berlama-lama di sana, Aaron melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.
Tapi terurungkan ketika mendengar suara Chlarent melenguh.
"Kepalaku sakit sekali." ucapnya seraya memegangi kepalanya.
"Ibu? Ibu sudah sadar?" Tanya Evelyn, menyentuh lengan Chlarent.
"Ibu. Ibu tidak apa-apa?" tanya Aaron lalu duduk di tepi tempat tidur. Tangan kekarnya bergerak memegang lengan Chlarent.
"Ibu tidak apa." Jawabnya dengan dingin. Chlarent masih marah kepada putranya itu.
Chlarent mengabaikan Aaron, lalu menoleh pada Evelyn yang duduk di sampingnya. Senyum wanita itu terbit melihat Evelyn yang juga membalas senyumannya.
"Kau sudah sadar Nak?" tanya Chlarent.
"Sudah Bu." jawabnya.
"Syukurlah, Ibu sangat khawatir padamu." Meraih Evelyn ke dalam pelukannya. "Apa ada yang masih sakit hmm?" Chlarent melepaskan pelukannya kemudian melihat tubuh Evelyn dengan cemas.
"Aku tidak apa-apa Bu." jawab Evelyn. Evelyn senang ternyata masih ada orang yang mengkhawatirkannya.
"Maafkan Ibu Nak. Ibu tidak bisa menjagamu dari kekejaman putra Ibu. Ibu Janji, mulai detik ini kau tidak akan pernah merasakan penderitaan lagi. Mulai besok kau akan ikut tinggal bersama ibu di Mansion utama ya?" tutur Chlarent sembari mengusap kening Evelyn.
"Tidak boleh! Dia akan tetap tinggal di sini Bu." sahut Aaron yang mendengar ucapan Chlarent.
"Ibu tidak meminta pendapatmu. Ibu tidak tahan lagi dengan perbuatan kejammu itu Aaron. Evelyn sudah cukup menderita karenamu!." ujar Chlarent tegas tak terbantahkan.
Mentari pagi menyambut ketika Evelyn membuka manik sendunya. Pagi yang damai dirasakannya untuk pertama kali setelah menikah dengan Aaron. Tidak ada tekanan maupun beban yang harus dipikul gadis itu di rumah ini.
Senyum Evelyn terpancar kala melihat Chlarent sedang berdiri di ambang pintu kamar. "Bagaimana tidurmu?" sapa wanita itu.
"Cukup nyenyak Bu."
Chlarent tersenyum, "Baguslah, segeralah mandi, kita akan sarapan bersama." Evelyn mengangguk lalu melenggang memasuki kamar mandi.
Selang beberapa menit kemudian, kedua wanita itu sudah sampai di meja makan yang terlihat mewah. Berbagai macam makanan lezat yang khusus dibuatkan oleh koki profesional sudah tertata rapi di sana. Evelyn meneguk liurnya ketika aroma makanan masuk menyeruak dalam indra penciumannya. Melihat itu Chlarent terkekeh dibuatnya, "Kau pasti sangat lapar ya?" goda wanita itu.
Wajah Evelyn memerah, ternyata Chlarent melihatnya.
"Duduklah, kita sarapan bersama." Chlarent dengan cekatan mengambilkan makanan untuk Evelyn.
"Jangan Ibu, aku bisa mengambilnya sendiri." tolak Evelyn tidak mau merepotkan.
"Tidak usah sungkan, Nak. Biarkan Ibu melayanimu, sebagai tanda permintaan maaf atas perbuatan Aaron padamu." jawab Chlarent.
Evelyn menggeleng, "Ibu tidak perlu meminta maaf, karena ibu tidak salah apa-apa di sini,"
"Tapi Nak..."
"Aku ikhlas Bu, aku menerima semua perbuatan Tuan Aaron dengan lapang d**a. Mungkin ini sudah menjadi takdirku, dan aku tidak bisa menolaknya sekalipun aku menghindar. Jadi mulai sekarang jangan menyalahkan diri lagi ya? Aku sudah sangat bersyukur, karena ternyata masih banyak orang yang memperdulikanku, termasuk Ibu." tutur Evelyn.
Mendengar penuturannya, Chlarent memeluk Evelyn erat, "Mulia sekali hatimu Nak. Ibu malu, karena Ibu tidak..."
Evelyn menggeleng, "Jangan lagi Bu.."
***
"Ayah kau datang?" sapa Myke ketika pintu terbuka menampilkan seorang pria tua dengan rambut yang sudah mulai memutih. Morrone Towers, lelaki yang dipanggil Myke sebagai ayah.
"Hmm.." Pria tua itu bergumam tidak jelas.
"Ada apa Ayah, apa yang membuatmu datang kemari. Bukankah kita bisa membicarakannya di rumah?"
Morrone mendengus, "Kau saja tidak pernah pulang." kesalnya.
Myke terkekeh, "Maaf Ayah, Ayah putramu ini sangat sibuk."
"Alasan saja. Kau pikir Ayah tidak tau apa yang kau lakukan di luar sana? Setiap malam kau hanya bermain dengan para wanita j*lang." timpalnya.
"Ayolah Ayah, aku hanya ingin bersenang-senang. Aku bisa gila jika hanya memikirkan pekerjaan."
"Ini yang tidak Ayah suka. Bagaimana kau bisa mengembangkan perusahaan ini jika kau masih berleha-leha di luar sana. Come on Son, buatlah Ayahmu ini bangga."
"Apakah semua keberhasilan ini belum cukup?" batin Myke.
Myke menghela nafas dalam, inilah yang tidak dia sukai dari sang ayah. Pria tua itu selalu memaksanya melakukan apa yang dia inginkan. Apa pun yang dia lakukan semua harus sesuai dengan perintahnya tanpa bantahan.
Myke bagaikan boneka yang yang dikendalikan oleh Morrone. Terkadang Myke jenuh akan aturan Ayahnya dan ingin lari dari semua ini. Tapi mengingat hanya Ayahnya yang merawatnya sejak kecil, memberikan kasih sayang sama seperti ibu sekaligus, membuat Myke tak kuasa melawan pria itu.
Keheningan meliputi selama beberapa menit.
"Bagaimana penelusuran mu, sudah sampai dimana?"
Myke paham apa yang dimaksud Morrone, "Ternyata Aaron sudah menikah Ayah."
"Menikah? Bagaimana mungkin?"
"Pernikahan mereka disembunyikan. Apa Ayah tau siapa gadis itu?"
"Memangnya siapa"
"Putri dari Alexander Karl."
"Alexander Karl?" Morrone nampak berpikir. "Bukankah pengusaha yang melakukan korupsi beberapa bulan lalu?"
"Ayah benar. Cukup mengejutkan bukan?"
Morrone mengangguk, "Lalu apa hubungannya dengan rencana kita?"
Myke tersenyum menyeringai, kemudian membisikkan sesuatu pada Morrone.
TBC