Untunglah Mas Gusti memiliki adik baik seperti Pak Desta, sehingga aku tertolong. Jika tidak, pasti aku akan awet di dalam penjara.
Perjalanan ke rumah Pak Desta memakan waktu setengah jam saja. Kami tidak banyak bicara, bukan karena sungkan, melainkan aku yang kembali tertidur di mobilnya. Saat mobil itu berhenti, barulah aku membuka kelopak mata yang berat ini.
Kupandangi sekeliling sambil mengucek kedua mata yang terasa sangat berat ini. Kenapa semua perumahan sama? Model dan bentukannya sama. Jalanannya pun sama saja.
"Pak Desta, saya kayak ngerasa pulang ke rumah Mbak Hanin, he he he...," kataku dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa memangnya?" tanya pria itu sambil mengulum senyum.
"Karena perumahannya kayak sama dengan perumahan Mbak Hanin. Itu, ada pos jaga satpam di dekat pohon nangka." Pak Desta tertawa cekikikan lagi. Entahlah, aku tidak pernah merasa menjadi pelawak, tetapi kenapa pria ini selalu saja menertawakanku?
"Zia, nyawa kamu belum ngumpul ya? Ini memang perumahan Pesona Asri. Rumahku, tiga rumah saja dari rumah Mas Gusti. Jadi, kamu bisa kapan saja melihat Hilmi, bagaimana? Gak percaya? Coba menoleh ke belakang?" Aku yang masih terkejut dengan pernyataan Pak Desta, sontak menoleh ke belakang. Benar saja, rumah Mbak Hanin hanya berjarak tiga rumah saja dari depan rumah Pak Desta. Wajahku tentu saja berubah menjadi tidak nyaman. Apa kata orang nanti jika tahu, aku malah bekerja di rumah adiknya suamiku? Suamiku? Suamiku? Ya, paling tidak, status di mata Tuhan, Mas Gusti masih suamiku.
"Pak, kenapa milih rumah dekat dengan rumah Mbak Hanin? Saya yang gak enak," mataku sambil menggaruk kepala.
"Karena emang sudah aku beli. Jadi, aku sengaja beli rumah ini, saat diberitahu bahwa Mbak Hanin hamil. Biar gampang lihat ponakan. Lagian, aku sudah bikin toko bangunan di sini, jadi yang di Jogya, aku serahkan pada asistenku. Begitu ceritanya, Zia. Kamu gak perlu takut sama mama, karena mama gak akan mau ke rumahku. Pokoknya kamu mulai hari ini ART-ku, paham!" Aku pun mengangguk, mencoba untuk meresapi dan memahami kalimat demi kalimat yang dilontarkan Pak Desta.
"Sebentar, aku buka pager dulu!" Pria itu turun dari mobil, lalu mengambil kunci gembok pagar yang ia simpan di saku celananya. Mobil pun masuk ke halaman rumah dan berhenti tepat di garasi.
Aku turun dengan setengah hati. Apakah tidak apa-apa seperti ini? Apa nanti tidak menimbulkan fitnah? Apa nanti Mas Gusti semakin membenciku?
"Pak Desta, tapi saya gak papa di sini?" tanyaku lagi setengah tidak yakin.
"Gak papa, Zia. Santai aja, mereka gak perlu tahu kalau kamu sudah aku bebaskan dengan jaminan." Pria itu menjawab santai sambil memutar anak kunci. Aku pun mengangguk paham. Semoga tidak ada kejadian lebih buruk setelah aku dibebaskan oleh Pak Desta.
"Om Desta, ini Hilmi. Kita main yuk!" Seruan di balik pagar membuatku sontak menoleh. Hilmi sendirian berdiri di sana sambil memegang mobil eskavator kesayangannya.
***
Untunglah saat aku menoleh ke arah pagar, mainan Hilmi jatuh dan anak kecil tampan itu berjongkok untuk mengambilnya. Mungkin ia tidak menyadari ada aku bersama Om Desta-nya. Aku pun berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam rumah Pak Desta.
"Ada Hilmi, Pak, jangan sampai dia tahu saya ada di sini." Aku pun masuk saja tanpa tahu harus ke arah mana dan harus bersembunyi di mana. Dapur adalah tujuan pertamaku, bersembunyi di kolong meja.
"Eh, ada anak Om Desta. Sini, ayo, masuk!" Kudengar suara riang Pak Desta menyapa Hilmi. Tidak lama kemudian, suara pagar dibuka. Jantung ini semakin berdegub kencang karena langkah Hilmi dan Desta terasa semakin dekat.
"Assalamu'alaikum, Hilmi masuk ya, Om," suara anakku yang lucu itu. Ah, ingin sekali memeluknya dan mengatakan berapa ia sangat pintar. Anak yatim yang pintar dan tampan itu, sungguh sangat disayangkan tidak dipedulikan oleh papanya.
"Masuk sini, Gantengnya Om Desta! Kalau mau nonton, di kamar Om saja ya. Di luar, TV-nya rusak," suara Pak Desta berbicara pada Hilmi, tidak lama kemudian, terdengar suara pintu kamar dibuka. Aku tahu, Pak Desta pasti sengaja menggiring Hilmi ke kamar agar memberikan waktu padaku untuk keluar dari persembunyian.
"Zia, cepat keluar! Kamar kamu ada di sebelah kanan dekat dapur ya. Kamarnya tidak aku kunci," ujar Pak Desta sambil berbisik. Aku pun mengangguk paham, lalu mengendap-ngendap berjalan dengan berjinjit untuk sampai di depan pintu kamarku.
Pelan kututup pintu kamar, lalu kukunci dari dalam. Napasku pun masih terengah-engah karena terkejut sekaligus khawatir Hilmi menyadari kehadiranku di rumah om-nya.
Tunggu, ini kamarku? Yang benar saja. Ini lebih mirip kamar nona muda, bukan pembantu. Lemari pakaiannya saja berwarna merah muda. Ranjang single yang sepreinya juga berwarna merah muda. Kenapa bisa seperti ini? Apakah Pak Desta sengaja menyiapkannya, tapi untuk apa?
Aku terus bermonolog sambil terus memperhatikan kamar bagus yang mulai malam ini akan aku tinggali. Lemari, laci, meja kecil, serta cermin yang menempel di dinding, tidak luput dari perhatianku. Tangan ini pun ikut menyentuh benda-benda yang sangat bagus di kamarku ini. Jika ingin jujur, saat aku masih di panti, kamar seperti inilah yang menjadi kamarku. Namun, itu saat aku masih usia SD, sekarang aku sudah tua, rasanya lucu mempunyai kamar layaknya kamar anak SD.
Wah, ada kamar mandi juga di dalam kamar yang masih kosong. Tidak ada botol sampo ataupun sabun.
Tok! Tok!
"Zia, buka!" Aku pun berjalan cepat untuk membukakan pintu bagi Pak Desta. Pria itu masuk dan menutup pintu dengan rapat. Jari telunjuknya ia taruh di bibir, tanda aku tidak boleh bersuara keras.
"Aku dapat ide, kamu sebaiknya tidak menampakkan diri sebagai Zia. Keadaan Mas Gusti juga sepertinya belum baik. Kata Hilmi, papanya tidak keluar dari kamar sejak pagi. Neneknya sudah pulang dan dia ke sini karena lapar."
"Ya ampun, Pak, kasihan sekali Hilmi," ujarku dengan mata berkaca- kaca.
"Mas Gusti benar-benar mengabaikan Hilmi. Saya takut Hilmi diantar ke panti lagi," isakanku akhirnya tumpah juga.
"Nanti, aku akan mengajak Hilmi pergi. Kamu bisa beberes rumah. Aku akan ajak Hilmi main dan makan, lalu aku kembalikan pada Mas Gusti setelah Hilmi lelah. Terus, aku akan belikan kamu rambut palsu. Kamu harus berlakon dan bergaya bukan seperti Zia yang dikenal Hilmi maupun Mas Gusti. Aku yakin, begitu Mas Gusti tahu aku punya ART, pasti Hilmi dititip di sini dan kamu masih bisa mengurus Hilmi, tapi bukan sebagai Zia, bagaimana?"