Pak Desta biasa aku memanggilnya. Pria berusia dua puluh sembilan tahun; adik dari Mas Gusti. Selama ini, Pak Desta bekerja mengelola toko bahan bangunan milik papanya di daerah Yogyakarta. Itu yang pernah aku dengar dari Mbak Hanin.
Dalam setahun, Pak Desta pulang ke Jakarta hanya satu tahun sekali, pada saat lebaran saja dan datang bertamu ke rumah Mas Gusti sangat jarang sekali.
Selama aku bekerja dan tinggal di rumah Mbak Hanin, baru dua kali aku bertemu Pak Desta. Orangnya tidak banyak bicara, tetapi masih bisa dibilang ramah. Kenapa aku panggil Pak Desta? Karena Mas Gusti yang memintanya. Kata Mas Gusti, aku harus sopan dan hormat pada Pak Desta. Mereka memang kakak beradik, tapi sepertinya karakter mereka berbeda.
Sebuah kejutan dalam hidupku yang di ujung tanduk ini, saat seorang Pak Desta datang dan menjaminkan diri ini agar bisa keluar dari penjara. Sungguh aneh, tapi semua mungkin memang takdir bagiku yang memang sebenarnya tidak bersalah.
"Zia, malah bengong! Ayo, kamu mau tidur di penjara atau di rumah saya yang ada kasurnya?" tanya Pak Desta terlihat mulai tidak sabar. Aku menggaruk rambut yang tidak gatal.
"Tapi kasurnya springbed atau kasur kapuk, Pak? Kalau kapuk saya gak bisa, soalnya saya ada sakit lambung," tanyaku dengan wajah penasaran. Pria itu malah tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Zia, Zia, apa hubungannya kasur kapuk dengan lambung? Pokoknya kamu tidur nyaman mulai malam ini. Di kamar kamu ada AC-nya, gimana?" tentulah mata ini berbinar senang mendengar pendingin ruangan disebut.
Saat menjadi istri Mas Gusti, aku tidur di kamar berdua Hilmi berpanas-panasan dengan kipas angin saja sebagai pereda gerah. Namun, saat diminta jadi pembantu, malah aku ditawari kamar ber-AC. Tahu gitu, mending jadi pembantu saja.
"Zia, ya ampun, ngelamun lagi! Ayo, ambil tas kamu di dalam sana! Ikut aku!" Aku pun mengangguk. Semoga ini jalan terbaik bagiku. Dengan air mata penuh haru, aku berjalan ke dalam sel yang tidak dikunci itu, untuk mengambil tas ransel berisi pakaianku.
Aku bersalaman dengan beberapa petugas di sana, sambil mengucapkan kalimat perpisahan. Padahal aku baru saja di sana sejak pukul sembilan pagi sampai pukul tiga sore, tetapi rasanya begitu berat meninggalkan kantor polisi ini.
"Maafin saya ya, Mas Polisi, jika selama saya di sini, saya sudah menyusahkan dan banyak dosa," kataku pada petugas yang tadi pagi menggiringku masuk ke dalam sel.
"Iya, udah, sana! Untung kamu ada yang jamin, kalau tidak, penyakit darah tinggi saya bisa kambuh ketemu kamu setiap hari. Lagian, kamu di sini tadi cuma numpang sarapan dan tidur siang doang, jadi gak akan berdosa! Udah, pergi sana!" Aku pun mengangguk paham. Lalu menyusul Pak Desta yang sudah di parkiran.
"Kenapa?" tanya Pak Desta saat aku terus saja memandangi kantor polisi yang baru sebentar aku kunjungi.
"Saya gak enak sama polisi di dalam, Pak, masa cuma numpang makan ketupat sayur doang sama tidur siang di sana," jawabku masih dengan tidak enak hati. Pak Desta tertawa cekikikan, lalu membukakan pintu mobilnya Toyata Avaanaza untukku.
"Dah, kamu ini aneh. Kenapa Mas Gusti malah gak bisa jatuh cinta sama kamu, padahal kamu ngeselin loh!" Kali ini aku yang terbahak. Untunglah Mas Gusti memiliki adik baik seperti Pak Desta, sehingga aku tertolong. Jika tidak, pasti aku akan awet di dalam penjara.
Perjalanan ke rumah Pak Desta memakan waktu setengah jam saja. Kami tidak banyak bicara, bukan karena sungkan, melainkan aku yang kembali tertidur di mobilnya. Saat mobil itu berhenti, barulah aku membuka kelopak mata yang berat ini.
Kupandangi sekeliling sambil mengucek kedua mata yang terasa sangat berat ini. Kenapa semua perumahan sama? Model dan bentukannya sama. Jalanannya pun sama saja.
"Pak Desta, saya kayak ngerasa pulang ke rumah Mbak Hanin, he he he...," kataku dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa memangnya?" tanya pria itu sambil mengulum senyum.
"Karena perumahannya kayak sama dengan perumahan Mbak Hanin. Itu, ada pos jaga satpam di dekat pohon nangka." Pak Desta tertawa cekikikan lagi. Entahlah, aku tidak pernah merasa menjadi pelawak, tetapi kenapa pria ini selalu saja menertawakanku?
"Zia, nyawa kamu belum ngumpul ya? Ini memang perumahan Pesona Asri. Rumahku, tiga rumah saja dari rumah Mas Gusti. Jadi, kamu bisa kapan saja melihat Hilmi, bagaimana? Gak percaya? Coba menoleh ke belakang?" Aku yang masih terkejut dengan pernyataan Pak Desta, sontak menoleh ke belakang. Benar saja, rumah Mbak Hanin hanya berjarak tiga rumah saja dari depan rumah Pak Desta. Wajahku tentu saja berubah menjadi tidak nyaman. Apa kata orang nanti jika tahu, aku malah bekerja di rumah adiknya suamiku? Suamiku? Suamiku? Ya, paling tidak, status di mata Tuhan, Mas Gusti masih suamiku.
"Pak, kenapa milih rumah dekat dengan rumah Mbak Hanin? Saya yang gak enak," mataku sambil menggaruk kepala.
"Karena emang sudah aku beli. Jadi, aku sengaja beli rumah ini, saat diberitahu bahwa Mbak Hanin hamil. Biar gampang lihat ponakan. Lagian, aku sudah bikin toko bangunan di sini, jadi yang di Jogya, aku serahkan pada asistenku. Begitu ceritanya, Zia. Kamu gak perlu takut sama mama, karena mama gak akan mau ke rumahku. Pokoknya kamu mulai hari ini ART-ku, paham!" Aku pun mengangguk, mencoba untuk meresapi dan memahami kalimat demi kalimat yang dilontarkan Pak Desta.
"Sebentar, aku buka pager dulu!" Pria itu turun dari mobil, lalu mengambil kunci gembok pagar yang ia simpan di saku celananya. Mobil pun masuk ke halaman rumah dan berhenti tepat di garasi.
Aku turun dengan setengah hati. Apakah tidak apa-apa seperti ini? Apa nanti tidak menimbulkan fitnah? Apa nanti Mas Gusti semakin membenciku?
"Pak Desta, tapi saya gak papa di sini?" tanyaku lagi setengah tidak yakin.
"Gak papa, Zia. Santai aja, mereka gak perlu tahu kalau kamu sudah aku bebaskan dengan jaminan." Pria itu menjawab santai sambil memutar anak kunci. Aku pun mengangguk paham. Semoga tidak ada kejadian lebih buruk setelah aku dibebaskan oleh Pak Desta.
"Om Desta, ini Hilmi. Kita main yuk!" Seruan di balik pagar membuatku sontak menoleh. Hilmi sendirian berdiri di sana sambil memegang mobil eskavator kesayangannya.
Bersambung