Menuju Patah Hati

1635 Words
“Ahhhh!!!” teriak Ella cukup keras. Sudah 2 bulan tetapi tidak ada pesan masuk satupun pada ponselnya. Jujur saja, baru kali ini Hendra tidak mengiriminya pesan selama itu. Bayangkan saja bagaimana kalutnya Abel sekarang, bahkan pekerjaannya jadi terbangkalai sekarang. Sejak beberapa hari yang lalu ketua devisi selalu saja menceramahi Ella untuk segera menyelesaikan desain interface dan juga desain UML untuk pengembangan sistem pada perusahaan. Apa yang bisa Ella lakukan sekarang??? Apa Hendra juga menunggu kabarnya di sana? Oke, Ella tidak boleh egois. Selama ini dia memang jarang untuk menghubungi lebih awal karena gengsi yang terlalu besar. Bahkan Ella menghapus nomor Hendra dari kontaknya agar tidak menghubunginya. Lucu kadang, tapi Ella hanya tidak ingin menganggu. Apalagi Hendra tengah pusing menyelesaikan tesis yang tidak mudah tentunya. “Kenapa teriak aja dari tadi?” ujar Ayah yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamar Ella. Ella kaget, bahkan dia hampir jatuh dari ranjang karena posisinya memang berada di pinggir ranjang. “Eh Ayah!” balas Ella langsung berdiri. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menyengir. “Ada masalah?” tanya Ayah. Ella langsung menggeleng kemudian mengangguk dan membuat Ayah jadi bingung anaknya ini kenapa. “Eh enggak ada kok Yah,” balas Ella langsung. Dia menggigit kukunya karena gugup, jangan sampai sang Ayah tahu anaknya sedang dalam mode galau. Bisa-bisa dia mendapat ceramah yang luar biasa panjang dan amat membekas nantinya. Ayah mendekat, Ella bahkan memejamkan matanya. “Nggak usah dengarin omongan bude, nikah itu bukan ajang perlombaan. Ayah nggak masalah kalau anak-anak Ayah nikah umur berapa, tetapi akan jadi masalah kalau belum siap secara lahir batin sudah memutuskan untuk menikah,” kata Ayah sambil mengusap pucuk kepala Ella. Ayah selalu mengerti tentang dirinya, bahkan ketika satu kompleks menyebut dirinya bodoh karena berhenti bekerja pada perusahaan bagus hanya Ayah dan Ibunya saja yang selalu mensupport semua keputusannya. “Iya Ayah, aku udah kebal kok sama omongan bude. Emang Ayah nggak khawatir kalau aku belum nikah sampai sekarang?” Ayah tersenyum, “Ayah nggak masalah. Jadi jangan merasa terbebani, Ayah selalu berdoa yang terbaik buat anak-anak Ayah.” Ella langsung memeluk sang Ayah dengan sangat erat, kenapa bisa dia menjadi lemah begini. Apa pilihannya salah untuk jatuh hati kepada seseorang yang bahkan mengumbar kata-kata manis? Ella berharap pilihannya tidak salah. Baik Ella maupun Hendra sudah sangat yakin bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain dan serius untuk memasuki jenjang pernikahan. Namun apa sekarang? Kenapa menjadi tidak jelas. Setelah mengobrol santai, Ayah keluar dari kamar meninggalkan Ella sendiri yang kembali berkutat di depan layar monitor. Dia segera menyelesaikan pekerjaan yang baru 10 persen di sentuhnya itu. Ternyata titik fokus Ella hanya bertahan sampai 10 menit saja, dia langsung mengambil ponsel dan membuka akun sosial media yang sudah 1 tahun ini tidak digunakannya. Ella tipe orang yang mudah larut pada satu hal sehingga lebih baik di hindari. Menghapus aplikasi sosial media adalah cara instan yang dia lakukan agar tidak menjadi kecanduan. Tujuan Ella hanya satu, dia ingin melihat dan memastikan sesuatu pada akun sosial media Hendra. Ella harap-harap cemas, bahkan beberapa pesan yang masuk sama sekali tidak dihiraukannya. Bagaimana jika Hendra yang mengirim pesan? Tenang saja, dering notif Hendra berbeda dari yang lain saking spesialnya. Ella menutup mulutnya saking tidak percayanya. Semua perasaannya sedang campur aduk sekarang saat hal pertama yang dia lihat adalah postingan dari Hendra yang memuat foto dirinya sendiri yang tengah berada di sebuah café. Apa menghubunginya sesulit itu? Padahal Hendra cukup aktif di sosial media. Ella tidak meminta untuk selalu di hubungi, dia hanya ingin Hendra memberi kejelasan bagaimana dia di sana. Sudah itu saja, tetapi kenapa semuanya jadi begini. Logika Ella tidak mampu untuk memahami. Ella langsung mencari nomor kontak Hendra yang dia tulis di sebuah kertas. Dia mengetik digit-digit yang tertulis di sana dan langsung menyimpan dengan nama “Hendra”. Tidak ada lagi embel-embel Mas seperti biasa. Ella langsung menunduk dalam, air matanya tiba-tiba keluar saat melihat profil Hendra memuat gambar seorang perempuan yang sama sekali tidak Ella kenal. Perempuan itu bukan kakak, adik atau bahkan saudara perempuan Hendra. Tangan Ella mengepal, dua bulan ini dia masih menunggu dan berusaha berpikir positif tetapi kenapa di balas kejam seperti ini. “Tenang Ella, lo nggak boleh gegabah!” Berulang kali Ella meyakinkan dirinya sendiri agar tetap berpikir jernih. Dia langsung mengirim pesan. Ella : Assalamu’alaikum Mas, gimana kabarnya sekarang? Ella masih menunggu balasan pesan itu, tetapi sayang sudah 30 menit berlalu tidak ada tanda-tanda akan mendapat balasan. Apalagi centang pesan itu tidak berubah warna dari tadi padahal Hendra sedang online. Ella masih menunggu, dia kembali mengirim pesan. Ella : Marah sama aku ya Mas? Ella : Aku minta maaf kalau ada salah. Ella : Kalau ada waktu balas pesan aku ya, semoga Mas sehat-sehat aja di sana. Hasilnya tetap sama yaitu tidak mendapat balasan sama sekali. Ella langsung mendial kontak tersebut, panggilan masuk tetapi tidak di angkat sama sekali. Ella melakukan panggilan sebanyak 5 kali dan endingnya juga sama. Ella meletakkan ponsel di atas meja, dia tidak mampu menahan isak tangisnya lagi. Kenapa rasanya sakit begini? Apa ini yang dinamakan patah hati? Kenapa dia harus mengalaminya, sakit sekali. Ella terbayang segala perlakuan Hendra selama ini. “Tunggu Mas 2 tahun lagi, setelah kuliah selesai dan dapat kerja kita langsung nikah. Jangan pernah ninggalin Mas ya.” “Mas sayang dan cinta banget sama Ella, kalau Mas udah ada kerjaan sekarang kenapa harus nunggu. Kita sama-sama minta sama Allah ya.” “Kalau sudah nikah nanti, Ella kalau nggak mau kerja nggak masalah. Mas lebih suka kalau Ella di rumah. Tetapi kalau mau kerja Mas juga nggak masalah, atau mau lanjut S2 aja gimana?” “Nanti kita bikin rumah dulu baru beli mobil, kita tinggal di Yogyakarta aja ya soalnya enak juga. Nanti sekali sebulan kita pulang ke Riau kalau rezeki lancar.” “Jangan tinggalin Mas ya,” “Makanya Mas udah bilang, jangan begadang terus. Lihat sekarang sakit kan! Bandel si di bilang.” “Mas udah kirim vitamin ya, jangan lupa di minum.” “Jangan lupa olahraganya, belajar hidup sehat mulai sekarang. Mas juga gitu biar besok anak kita terlahir sehat dan kuat.” “Eh tahu nggak? Mas di rekomendasi sama dosen buat lanjut S3 lo!! Nanti kita bisa hidup sama-sama di luar negeri ya. Kita nikah dulu baru Mas ambil S3. Mas si pengen lanjut ke Jepang. Gimana menurut Ella?” “Akhhhhhhhhhhhhhhhh!!!!” teriak Ella yang tertahan bantal sehingga tidak terdengar oleh orang di luar kamarnya. Sekarang sudah pukul dua belas malam. Ella masih menangis karena rasa sesak di dadanya. Dia baru pertama kali merasakan hal ini. Apa emang sesakit ini? “Mas kenapa tega banget sama aku?” lirih Ella sambil menatap pesan yang tidak mendapat balasan itu. “Kenapa nggak bilang baik-baik kalau udah nggak mau sama aku, akhhhh. Jahat banget!!!” “Jadi ucapan selama 1 tahun ini Bullshit doang?” “Lu jahat banget, gue udah kasih hati dan balasannya ini!” “Nggak punya hati, seharusnya omongin baik-baik. Udah sama-sama dewasa gini, tapi main tinggal aja. Hendra jahat!!!!” Ella langsung melempar ponselnya begitu saja, tenang saja dia tidak akan melempar ke lantai. Ella masih bisa berpikir dengan baik. Ella masih saja menangis, entah kenapa sesakit ini. Bayang-bayang Hendra selalu berputar-putar di dalam kepalanya. Ia bahkan sampai tertidur karena sudah kelelahan menangis. Pagi hari seharusnya Ella semangat untuk memulai hari, namun kenyataan berbeda. Ella tidak keluar-keluar dari kamar. Bahkan setelah shalat subuh, dia kembali berbaring ke ranjang dan tidur. Setidaknya dengan tidur dia tidak menunggu berakhirnya hari dengan begini lambat. Gedoran pintu dan panggilan dari sang Ibu membuat Ella mau tidak mau harus bangkit dari ranjang. “Makan dulu, udah jam sepuluh ini!” Ella melihat jam di dinding, ternyata memang sudah jam sepuluh pagi. Dia bahkan tidak membantu sang Ibu memasak hari ini. Akhhh kenapa hidup Ella menjadi seperti ini. Dulu dia berkoar-koar seakan-akan hatinya kuat, jika Hendra meninggalkannya maka dia akan baik –baik saja. Nyatanya Ella salah besar. Dia tidak bersemangat untuk menjalani hari. Kamar berantakan, bahkan tidak mandi sama sekali dan juga matanya sudah membengkak. “Iya Bu, bentar lagi!” balas Ella dengan kepala yang terasa sedikit berat. “Kamu sakit? Buka pintunya dulu.” “Enggak kok Bu, nanti aku keluar buat makan.” Setelah mengatakan itu, suara sang Ibu sudah tidak ada lagi. Ella bersusah payah untuk bangkit dari ranjang. Dia mencari ponsel pertama kali, kali saja Hendra membalas pesannya. Namun notifikasi pesan nol. Dadaa Ella kembali terasa nyeri. Dia menangis dalam diam sambil memegang dadaanya yang terasa sesak sekali. Ella memutuskan untuk mandi, semoga saja Ibunya tidak bertanya yang macam-macam ketika melihat anaknya jadi berantakan begini. Pukul sebelas barulah Ella keluar dari kamar. “Kamu sakit?” tanya Ayah yang baru masuk rumah. Ella menggeleng lemah. “Kenapa? Mau cerita sama Ayah?” Ella lagi-lagi menggelang, “Aku nggak apa-apa ya. Semalam nonton film sedih terus nangis gitu.” Ella tidak berbohong, dia memang menonton film sedih semalam namun air mata yang keluar hanya sekedarnya saja. Ayah mengelus rambut Ella sejenak, ayahnya memang sering berada dirumah karena sudah pensiun dari PNS. Aktivitas Ayah Ella palingan melihat kebun sawit ataupun kebun sayuran yang berada di samping rumah sedangkan Ibu Ella adalah guru TK dulunya dan sekarang sudah berhenti bekerja. “Mas Afzal  besok mau pulang,” ujar Ibu. Wah, Ella jadi kaget. Bahkan ia hampir tersedak karena itu. “Makannya pelan-pelan Nak,” ujar sang Ibu lagi. Ia memberikan minuman kepada sang anak. Ella tidak bisa tinggal diam, dia tidak mau bertemu dengan sang Abang di saat dirinya masih berantakan begini. Abangnya pasti tidak bisa di bohongi dan kalau sudah tahu pasti tidak tinggal diam. Ella buru-buru menghabiskan makanannya. Setelah semua sudah selesai, Ella langsung masuk ke dalam kamar. Dia mondar mandir tidak jelas. Supaya hatinya lebih baik, maka Ella harus bertemu dengan teman-temannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD