Hana mengepalkan tangan bersiap meninju Dany. Namun Dany malah menyodorkan wajahnya, membuat Hana terdiam, lalu mengurung niat untuk memukulnya.
"Hahaha, kenapa tidak jadi memukul? biasanya kau langsung menghajarku tanpa ampun," ucap Dany sambil tertawa.
"Diamlah, ini masih pagi. Jangan memancing emosiku,"
Hana kembali pada teh hangat yang belum dia aduk di depannya. Dany duduk di samping Hana, lalu terpana menatap wanita itu. Hana Foster, wanita ini awalnya hanya orang asing yang mengikutinya ke rumah. Namun, sekarang bisa dikatakan dia sudah menjadi pemilik rumah ini. Dany tanpa sadar tersenyum. Mengingat semua yang telah dia lewati. Mengingat perkembangan hubungannya dengan Hana selama ini. Dia terus saja menatap wanita itu. Semakin hari, wajah Hana tampak semakin bersinar, dan semakin hari, Dany dapat merasakan, bahwa cintanya kepada Hana begitu dalam.
"Hei, Gingsul. Coba ini, aku membuatnya tadi," Hana mengambil sesendok bubur, lalu menyodorkannya kepada Dany. Dany tanpa sadar menuruti kata-kata Hana. Dengan matanya yang masih menatap Hana, dia langsung memakan bubur yang Hana suapkan, dan langsung berlonjak karena panas.
"Akh, panas sekali. Kenapa kau tidak meniupnya!" seru Dany sambil mengipas-ngipas mulutnya.
"Sejak kapan aku meniupkan makanan untukmu, dan sejak kapan kau makan dari suapanku. Aku tadi ingin memberimu sesendok dan kau menyuapkan sendiri ke mulutmu. Salah siapa,"
"Wah, dasar tega. Kau benar-benar tidak meniupnya sama sekali? pantas saja, panas sekali, huah!"
"Itu salahmu yang langsung saja melahap makanan dari tanganku."
"Iya, iya, itu salahku," Dany mengalah. Karena Dany tahu bagaimana Hana. Jika terus diperdebatkan, maka perkara bubur panas tak akan pernah selesai.
"Bagaimana, enak?" tanya Hana kemudian.
"Kau masih bertanya padaku, padahal aku tak bisa merasakan buburnya karena lidahku terbakar,"
"Hah, jadi tak enak?"
"E-Enak, enak kok," Dany kembali mengikuti apa yang Hana inginkan.
"Hmm, tapi aku rasa kurang gurih."
"Kenapa kau memasak bubur? kau sedang sakit?"
"Memangnya bubur hanya untuk orang sakit?"
"Yah, biasanya seperti itu, kan?"
"Dasar. Orang sehat memangnya tidak punya hak makan bubur!"
"Ya ampun. Kenapa jadi rumit begini, ya sudah aku tak akan bertanya lagi. Kau bisa makan apapun yang kau mau selama kau menginginkannya dan baik untuk kesehatanmu. Tapi ingat, jangan berlebihan, karena kau sering begah."
"Hmm, aku tau,"
Dany lalu menunduk, dan tersenyum malu. Dia kemudian menarik nafas panjang, dan menatap Hana dengan penuh cinta, "Hana, bagaimana dengan hubungan kita. Apa aku sudah bisa menjadi pacarmu?"
"Soal itu ..."
"Jika tidak mau pacaran, langsung menikah saja. Kita sudah lima tahun bersama. Kau sudah tahu semua tentangku, dan aku juga begitu. Tak perlu ada perkenalan lebih lanjut lagi, kan?"
"Maaf, aku tak bisa."
Dany menghela nafas. Dia sudah sering mendapatkan jawaban seperti ini. Namun, ciuman pada saat itu memberikan tambahan harapan bagi Dany. Dany berpikir, Hana bisa menerimanya kali ini. Namun, ternyata jawabannya masih sama. Bagaimanapun, Dany tetap ingin mendengar apa alasan dari Hana kali ini.
"Tidak bisa lagi? kali ini kenapa?"
"Dany ..."
"Kau tak percaya padaku? dari dulu aku mencintaimu, aku selalu mencintaimu, Hana. Kau tahu itu."
"Aku tak bisa. Aku tak mau menjalin hubungan apapun denganmu,"
"Lalu kau mau bagaimana? mau bermain-main dengan laki-laki tak jelas di luar sana? mau terus putus nyambung dan akhirnya menangis?"
Hana tak menjawab. Dia malah bangun dari duduknya dan mengambil tas yang dia taruh di meja sofa ruang tamu.
"Aku pergi dulu. Sebenarnya Ibuku sudah menyuruh pulang beberapa kali."
"Kau mau menghindar lagi? berhenti menghindariku! setiap kali membahas masalah ini, aku selalu saja melarikan diri."
"Tak ada yang bisa menjamin hubungan kita tak akan putus jika pacaran kelak," Hana menatap Dany lekat. Dany mengerti maksud Hana. Hana tak bisa mempercayai sebuah hubungan karena orang tuanya. Namun, Dany benar-benar mencintai Hana. Mana mungkin Dany bisa meninggalkan Hana.
"Hana, aku tak akan pernah meninggalkanmu. Aku mencintaimu,"
"Dulu, ayahku juga sangat mencintai ibuku,"
"Ini kita, Hana. Ini aku dan kau. Kita berbeda dari orang tuamu. Kita bisa melewati semua masalah, dan mempertahankan hubungan kita."
"Tidak. Aku masih tak percaya dengan ikatan itu. Biarkan kita tetap seperti ini. Dua sahabat yang saling melindungi, itu lebih baik." Hana kemudian beranjak pergi, dan Dany tak bisa berkata apapun lagi.
Seperti biasa. Saat Hana pergi, Dany selalu menunggu setiap hari di beranda rumahnya. Dia selalu mondar-mandir seperti setrika. Menatap ke pagar kayu di depan saja. Berharap pintu pagar itu berderit, dan sosok Hana yang tersenyum memasuki pagar tersebut. Kali ini Hana pergi cukup lama. Di minggu yang ketiga, taj ada terlihat sosoknya. Ponselnya tak bisa dihubungi. Tak ada kabar sama sekali.
Dany memeriksa ponsel untuk kesekian kalinya. Berharap Hana menelepin, membalas, atau sekedar membaca pesannya. Namun, tak ada tanda-tanda Hana menggunakan ponsel beberapa minggu ini.
"Hah, pesanku saja belum dibaca. Kebiasaan buruknya kambuh lagi. Jika pergi dia selalu menghilang seperti di telan bumi," gumam Dany sambil menghela nafas lemah.
Dany kemudian berjalan lunglai memasuki rumah. Dia menghempaskan diri ke sofa ruang tamu, lalu kembali menatap ponselnya yang tak ada tanda-tanda kehidupan.
"Hana, kau dimana? kenapa senang sekali menbuatku menderita," ucap Dany dengan lemah.
Dany kemudian mengotak-atik ponselnya. Mencoba untuk menghubungi Hana. Hari ini tak terhitung banyaknya dia mencoba menghubungi wanita itu. Namun, hasilnya masih tetap sama. Hana Foster tak bisa dihubungi.
"Dia benar-benar pintar membuat orang cemas. Sebenarnya dia kemana?" Dany mengacak rambutnya. Beberapa menit kemudian, Dany berdiri. Laki-laki dengan wajah agak kusut karena tidak mendapat kabar dari orang yang dicintainya tersebut melangkahkan kaki masuk ke kamar Hana. Tepatnya, kamar yang sudah menjadi hak milik Hana. Dany melihat sekeliling. Dia kembali mengerjakan apa yang setiap hari dia lakukan jika Hana tak ada. Yaitu memberantakan kamar Hana, dan merapikannya kembali. Sebab itulah yang dilakukan Hana setiap ada di rumah ini. Hanya saja, bagian memberantakan barang-barang adalah keahlian Hana, dan merapikan tentu saja pekerjaan Dany. Hana tak pernah tahu, bahwa Dany melakukan kebiasaan merapikan kamarnya untuk mengusir kesepian Dany jika dia tidak ada. Dany tentu saja laki-laki yang tak akan menunjukkan kelemahan dan kesepiannya kepada orang yang sangat dia cintai tersebut.
"Kamar ini serasa kosong. Setidaknya datang saja untuk memberantakan barang-barang, lalu pergi. Setiap hari begitu, aku tak keberatan. Asal bisa melihatnya, walau sebentar," ucap Dany sambil menarik selimut dari dipan kayu sederhana yang menjadi tempat tidur Hana disana. Padahal, di rumah orangtuanya, barang seperti itu hanya akan dibuang menjadi rongsokan.
Dany berbaring di tempat tidur Hana, lalu menghela nafas panjang, "Sepertinya dia akan pergi cukup lama kali ini," gumam Dany lagi.
Beberapa saat kemudian, Dany mendengar suara mobil di depan rumahnya. Suara mobil yang sangat dihapal oleh Dany. Yah, itu suara mobil Hana. Tanpa pikir panjang lagi, Dany langsung beranjak dari tempat tidurnya, dan berlari menuju pintu depan.
"Hana!" Dany berseru sesaat setelah membuka pintu. Namun, dia tiba-tiba terdiam. Lalu mundur selangkah dan menatap orang di depannya.
"Dany Brown?"