"A-Apa, kau mau apa?" Dany terlihat gugup.
"Ambilkan bonekaku," ucap Hana dengan nada memerintah yang manja.
"Hah, kau ini," Dany beranjak, lalu mengambilkan tomat yang terletak di atas meja rias, "Jangan tidur dulu, kau belum menjawab pertanyaanku. Kau dari mana saja?"
"Masa bodo. Aku mengantuk. Lebih baik kau keluar. Jangan lupa matikan lampu."
"Hana,"
Hana menutup tubuh hingga kepalanya dengan selimut. Sambil memberi kode dengan tangannya agar Dany segera keluar.
Dengan terpaksa Dany keluar kamar. Sebelum menutup pintu, Dany menekan kontak listrik yang ada di samping pintu lalu menatap Hana sekali lagi, "Dasar. Selalu bertindak semaunya," gumam Dany lalu beranjak pergi.
Dany berguling dengan gelisah di sofa ruang tamu. Dia masih penasaran kemana Hana selama beberapa minggu ini. Namun Dany tak bisa memaksa Hana untuk bicara. Dia selalu seperti itu. Selalu mengikuti keinginan Hana. Dany paham sekali. Jika Hana didesak, maka wanita itu pasti akan diam dan selalu memberikan berbagai macam topik agar dia tidak menjawab pertanyaan Dany. Cara satu-satunya, Dany harus menahan rasa penasarannya saat ini. Meninggalkan Hana menceritakan sendiri tanpa mendesak bertanya ini dan itu.
Walau tidak mudah, Dany yang telah biasa dengan sifat Hana akhirnya memutuskan untuk mengalah. Dia menekan rasa ingin tahunya, dan menunggu. Seperti yang selama ini biasa dia lakukan.
Keesokan harinya. Hana bangun dengan wajah ceria. Dany yang imsonia, dan baru saja tertidur selama satu jam sejak tadi malam terbangun karena Hana mengganggunya. Dany menggeliat, matanya jelas terlihat sembab karena mengantuk. Lingkaran hitam di bawah matanya tampak begitu jelas. Dany duduk dengan rambutnya yang acak-acakan. Pandangan matanya yang kabur lama kelamaan menjadi jelas, walau terasa sedikit pedih.
"Kau, tak bisakah membiarkanku istirahat? aku baru saja tertidur," keluh Dany sambil menguap.
"Bangunlah. Sudah pagi. Ayo buatkan aku sarapan,"
"Ya ampun, aku lelah sekali. Kau buat saja sarapanmu sendiri."
"Dany," Hana menghentakkan kakinya dan memasang wajah cemberut.
"Aku benar-benar mengantuk. Biarkan aku tidur satu jam lagi,"
"Aaa, tidak. Aku lapar sekarang. Ayo buatkan aku sarapan. Buatkan mi rebus hmmm, dengan dua telur dan sosis. Yang pedas,"
"Kau ini ..."
"Aaa, Dany!" Hana semakin merengek.
"Hah, baik, baik. Aku buatkan."
Dany dengan sangat terpaksa beranjak dari tempatnya. Jika Hana sudah menginginkan sesuatu, Dany tidak mampu menolak, meski sudah mencoba.
Tiga puluh menit kemudian. Dany yang masih mengantuk akhirnya selesai membuat sarapan. Dia menyiapkan meja makan. Mi rebus dengan telur dan sosis yang dipesan Hana terhidang rapi, dilengkapi dengan jus semangka segar agar Hana tidak merengek lagi.
"Makanan sudah siap!" teriak Dany memanggil Hana yang dengan santainya menunggu sarapan sambil merebahkan diri di dalam kamar.
Lima menit kemudian, Hana keluar dengan senyum cerahnya. Dia langsung duduk di kursi makan, lalu menghirup aroma harum yang menguap dari mi rebus di depannya.
"Wuahh, Gingsul memang yang terbaik." Hana mengacungkan jempolnya ke arah Dany. Dany hanya menghela nafas lalu hendak beranjak.
"Tunggu dulu, kau mau kemana?" Hana menahan Dany yang tampak terkantuk-kantuk.
"Tidur, kau sarapanlah. Biarkan aku istirahat,"
"Aaa, tidak. Kau harus menemaniku. Ayo duduk."
"Kau kan bisa sarapan sendiri,"
"Kau harus duduk. Kau tahu, kan. Aku tidak suka makan sendirian."
Dany menarik nafas panjang. Dia kemudian duduk di samping Hana dengan kesal, sambil meletakkan kepalanya ke atas meja.
"Makanlah, aku menemanimu," ucap Dany dengan mata terpejam.
Hana tersenyum, lalu mulai memakan sarapannya, "Dany, sebenarnya aku menginap di hotel beberapa minggu ini," ucap Hana kemudian dengan mulut penuh.
Dany mengangguk. Dia tahu Hana akhirnya akan berbicara. Yang harus dia lakukan sekarang, adalah menjawab seadanya dan berlagak tak peduli, agar Hana mau menceritakan semuanya.
"Setiap malam aku pergi ke club," sambung Hana lagi. Kini dia mencoba jus semangka segar yang dibuat Dany, "Wah! Gingsul. Kau semakin mahir saja, jus ini segar segini."
"Tentu saja. Kau pikir siapa yang memaksaku memasak untuknya setiap hari?" ucap Dany hampir taj terdengar karena dia berusaha mempertahankan diri untuk tidak tidur. Dia harus mendengar semua cerita Hana, agar dia tidak penasaran. Untuk itu, dia tak boleh melewatkan satu katapun. Karena Hana tidak akan mengulangi apa yang telah dia ceritakan.
"Kau tahu, aku menghabiskan begitu banyak uang selama beberapa minggu ini. Aku menghabiskan uang orang tuaku. Berharap mereka miskin, namun ternyata uang keluargaku terlalu banyak."
"Kau ini sedang pamer atau apa?"
"Tidak, aku juga cukup merasa takjub. Aku tahu keluargaku kaya. Tapi, aku tak tahu jika sekaya ini."
"Sudah jelas kau kaya raya. Tapi masih saja makan dan tinggal gratis di rumahku. Setidaknya kau harus membayar biaya pemeliharaan."
"Hah, dasar pelit. Selalu saja minta bayaran."
"Kau yang pelit. Ah, bukan pelit. Tapi tidak peka."
"Hei, Dany Brown. Bukankah kau mengantuk? sebaiknya kau tidur saja. Aku tak mau bicara denganmu lagi."
"Hmm, aku memang mengantuk."
Dany menyamankan kepala diantara kedua tangannya di atas meja. Dia sedikit mengintip. Memeriksa reaksi Hana, lalu tersenyum lembut dengan masih menutup mata.
Hana, menatap Dany lalu melambai-lambaikan tangannya ke wajah Dany. Wanita itu lalu menyuapkan sesendok besar mi ke dalam mulutnya dan kembali menoleh ke arah Dany.
"Hei, Gingsul. Kau tidur?" tanya Hana kemudian. Namun, Dany tak menjawab. Hana terus saja mengunyah tanpa henti, membuka lebar-lebar mulutnya untuk memasukkan sebutir utuh telur hingga pipinya menggembung.
"Kau tahu, aku meminta mantan pacarku datang untuk menemaniku saat itu," ucap Hana kemudian. Mendengar itu, Dany mengepalkan tangannya erat. Tak bisa dipercaya. Bukannya mengabari Dany yang cemas, Hana malah menelpon mantan pacarnya saat menghilang. Dany hampir mengomel, namun dia mencoba menahan diri.
"Aku juga menelepon beberapa temanku. Lalu menelpon laki-laki yang beberapa bulan ini dekat denganku."
"Dia dekat laki-laki lain lagi? dasar wanita ini, kapan dia akan berubah?" batin Dany kesal.
"Aku menelpon semua orang yang aku tahu."
"Dan kau tidak meneleponku. Jadi selama ini kau anggap aku apa!" Dany hanya bisa berteriak di dalam hati. Dia bisa saja berteriak dan memarahi Hana. Namun, dia terlalu kecewa untuk melakukannya.
"Kau tahu, ternyata kenalanku dab mantan pacarku banyak juga. Hahaha,"
"Saat seperti ini masih saja tertawa. dasar tidak punya perasaan," racau Dany.
"Aku menghubungi semuanya. Bahkan menghubungi mantan pacar yang bermusuhan denganku."
"Sialan. Sudah cukup dengan cerita mantan pacar ini." Dany semakin kesal.
"Tapi, tak ada satupun yang kubiarkan datang menemuiku."
Mendengar pernyataan Hana, Dany tertegun dalam diamnya sejenak. Dia kemudian mengendorkan kepalan tangannya, dan urat dahinya kini tidak menegang lagi.
"Mereka semua sama saja. Mereka bertanya mengapa aku menelpon mereka. Mengapa mereka harus menemuiku. Ada juga yang bertanya. Apakah ada imbalan jika mereka membantuku."
Hana menghabiskan sarapannya. Termasuk jus semangka yang ada di depannya. Dia kemudian menghela nafas. Mendengar hal tersebut Dany membuka mata, lalu duduk dengan benar, dan menatap Hana.
"Hana, kau sudah putus hubungan dengan mereka, dan kau juga jarang menghubungi kenalanmu. Tentu saja saat kau meminta mereka menemuimu, mereka akan bertanya-tanya. Tentang yang meminta imbalan, itu memang keterlaluan. Tapi yang lain tentu saja karena mereka ingin mengetahui maksudmu. Makanya mereka bertanya," ucap Dany dengan lembut.
"Mereka bisa saja datang tanpa banyak tanya. Mengapa harus mengajukan pertanyaan membosankan itu? semua pertanyaan mereka hampir sama."
"Mana mungkin ada orang yang datang begitu saja jika diminta. Pasti mereka ingin mengetahui tujuanmu memanggil mereka."
"Ada. Seseorang yang selalu datang tanpa banyak tanya saat aku membutuhkannya."
"Hah, yang benar saja. Kenalkan aku pada orang bodoh itu."
Hana menunjuk Dany. Dany terdiam beberapa saat lalu menunjuk dirinya sendiri, "Aku?"
"Hmm, orang bodoh itu adalah kau."