"Ini, undangan untukmu," Dany menyodorkan sebuah undangan berwarna silver kepada Hana. Undangan yang terlihat sangat elegan dan indah.
Hana kehilangan reaksi. Seketika dia tak tahu apa yang harus dia lakukan, Bahkan dia tidak mengerti harus berekspresi seperti apa. Undangan yang disodorkan Dany. Seperti tamparan baginya. Tak pernah dia menyangka akan merasakan hal seperti ini. Hana menarik nafas dalam lalu memaksa dirinya untuk tersenyum.
"Ah, iya. Terimakasih," ucap Hana sembari mengambil undangan tersebut.
"Tanggal dua puluh delapan, jangan lupa datang," sambung Dany kemudian.
"Kau tahu. Hidup ini memang sangat aneh. Dulu aku tak sengaja bertemu denganmu, kita bersama untuk waktu yang lama, lalu berpisah. Kini bertemu lagi, dan kita sudah dengan kehidupan masing-masing. Menurutku, jalan takdir itu sangat rumit."
"Begitulah, walau bagaimanapun, kita harus menjalaninya," Dany menatap Hana lekat. Menatap setiap garis wajah Hana. Tak ada maksud lain. Dia hanya ingin mengingat Hana yang mungkin tak bisa dia dekati lagi.
Hana tersenyum tipis, lalu memasukkan undangan ke dalam tas tangannya, "Aku tak janji bisa datang, tapi aku mendoakan yang terbaik untukmu," ucapnya lalu beranjak pergi.
Beberapa detik kemudian, tiba-tiba Dany mengejar Hana dan menangkap tangan Hana. Hana terhenti. Sesuatu di hatinya bergejolak. Seperti ada kupu-kupu yang tak menyenangkan yang ingin keluar dari sana. Dany menggenggam tangan Hana erat, dia menutup mata sesaat. Mengendalikan dirinya agar tidak melakukan hal aneh.
"Dany, kenapa kau tiba-tiba ..."
"Hana Brown!" suara Dany hampir melengking, dia menarik nafas panjang, dan menatap Hana dengan mata nanarnya, "Kenapa kau menikah?"
"Maksudmu?"
"Kau pernah mengatakan padaku. Kau tak ingin ada hubungan pernikahan. Tak ingin ada menyusahkan dirimu untuk menikah. Bahwa kau takut akan konsekuensi jika menikah taj ada jaminan untuk tidak berpisah. Tapi sekarang, aku melihatmu punya keluarga baru. Kau bahkan memiliki anak. Kenapa kau lakukan itu? kau mengatakan padaku tak ingin menikah, tapi mengapa kau mengatakan iya kepada orang lain? kenapa kau menikahi orang lain?!"
"Dany, jangan begini. Orang-orang melihat kita."
"Memangnya kenapa? sekarang kau sangat peduli terhadap pandangan orang lain? dulu. Kau berganti pasangan setiap minggu, dan kau tak peduli itu!"
"Tapi sekarang aku sudah menikah ..."
"Itu sebabnya!" Dany menarik Hana mendekat, "Aku masih tak mengerti. Mengapa kau lakukan ini padaku. Kau meninggalkanku dengan alasan tak ingin menikah, tapi kau bersama orang lain,"
Hana menatap wajah Dany. Wajah yang yang sama seperti dulu. Tatapan mata yang sama, dan juga genggaman tangan yang sama. Hana baru menyadari, tak ada yang berubah dari Dany. Terlebih genggaman tangannya. Begitu sama seperti dulu. Hangat dan nyaman.
Sepertinya, kini keduanya mengerti. Tak ada yang berubah. Meski raga bersikeras melawan hati. Namun, hati terlalu egois untuk mengalah. Hati kedua insan itu masih sama, dengan detak yang sama, dengan perasaan yang sama.
Hana kembali menatap tangan Dany. Jari-jari yang menggenggamnya begitu erat. Hana tersenyum, lalu melepaskan genggaman tangan Dany darinya dengan lembut.
"Kenapa kau menanyakan itu? aku ... hanya tidak ingin menikah denganmu, dengan orang lain sih tak masalah," ucap Hana dengan senyum di wajahnya yang masih tak dimengerti oleh Dany.
"Kenapa aku melakukan ini padaku? aku benar-benar tak mengerti. Kenapa kau tega-teganya ..."
"Pembicaraan ini tak akan ada habisnya. Yang harus kau lakukan sekarang adalah menjalani hidup. Kau akan segera menikah. Kau akan membuka lembaran baru. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja."
"Sebenarnya apa yang kau pikirkan? aku tak mengerti jalan pikiranmu. Aku yakin, bukan hanya aku yang mencintaimu, kau juga mencintaiku. Tapi kenapa? kenapa kau pergi? aku benar-benar tak habis pikir,"
"Berhenti memikirkan masa lalu. Ingat, sebentar lagi kau akan menikah."
"Tapi ... sebenarnya, aku tak mencintai Laura. Aku setuju menikah karena permintaan ayah Laura yang seorang dokter. Dia dikter sekaligus sahabat ibu yang merawat ibuku saat sakit dulu. Sebelum bertemu denganmu hari itu, aku ingin membatalkan pernikahan ini. Tapi, melihat kau dan suamimu ... dan juga anakmu ..."
"Dany Brown. Dengarkan aku. Awalnya aku menikah juga karena terpaksa. Agar aku tak kembali ke tempat ini. Agar aku tak ada alasan untuk menemuimu. Tapi, Max ternyata adalah laki-laki baik. Dia selalu sabar dan menerima semua perlakuanku padanya. Menerima aku yang masih memiliki perasaan pada orang lain. Kau juga akan seperti itu. Laura adalah wanita baik. Dia pasti bisa membuatmu mencintainya. Semua itu butuh proses."
"Kau benar-benar Hana yang aku kenal? perkataanmu tidak mencerminkan dirimu dimasa lalu sama sekali."
"Hah, kau saja yang selalu menganggapku merepotkan. Hei, Dany. Kau harus bahagia. Jika tidak, aku akan memukul kepalamu agar kau waras. Dan jangan berpikir untuk menyakiti Laura hanya karena kau terpaksa menikah dengannya. Kau harus membuka hatimu. Dany Brown yang aku kenal, adakah laki-laki baik yang tak akan menyakiti wanita manapun."
"Hana Foster. Tapi, dari awal aku memperhatikanmu. Saat melihatku, matamu masih bersinar. Kau masih memendam perasaan padaku. Kau juga tak boleh melakukannya. Itu namanya selingkuh mata,"
"Sialan, siapa yang selingkuh?"
"Kau menatap suamimu seperti kau menatapku? aku tak yakin, pasti tatapanmu padanya berbeda."
"Ya, tentu saja beda. Aku menatap suamiku lebih lembut karena aku mencintainya. Sudah, aku mau pulang. Tiba-tiba aku menyesal sudah bicara padamu. Kau sangat menyebalkan." Hana berlalu meninggalkan Dany menuju mobilnya.
"Jangan lupa datang ke pernikahanku!" seru Dany, yang dibalas dengan lambaian Hana yang berjalan membelakangi Dany.
"Hana Foster. Bagaimana aku bisa mencintai orang lain, jika suaramu saja tak bisa aku lupakan?" batin Dany lalu berbalik.
Hana sudah tiba di mobil, dia berhenti lalu menunduk sambil berusaha menyadarkan dirinya, "Aku tak boleh seperti ini. Bisa-bisanya aku berniat melarang Dany untuk menikah. Sadarlah Hana. Kau punya Max dan Lily. Biarkan Dany. Saatnya dia menemukan kebahagiaannya sendiri."
***
"Ibu, nenek menelpon!" Lily berlari ke ruang tamu sambil membawa ponselnya. Gadis kecil itu memberikan ponsel ke Hana yang sedang menonton televisi. Tidak, lebih tepatnya televisi yang menonton Hana. Karena Hana tampak kelelahan dan hampir tertidur.
"Ibu, nenek ingin bicara," ucap Lily sambil menepuk bahu ibunya.
"Hmmm, kemarikan," ucap Hana sambil mengulurkan tangannya. Lily kemudian memberikan ponsel kepada Hana, lalu berbaring di kaki ibunya tersebut.
"Halo, Bu," ucap Hana sambil menguap.
"Hana, kau sedang apa? kau terdengar lelah."
"Hmm, tidak. Aku hanya mengantuk. Ada apa?"
"Kau masih di tenpat mertuamu. Berapa lama kau akan disana?"
"Sebulan. Berarti ... kami masih disini dua minggu lagi."
"Ah, setelah itu kau kembali ke tempat ibu, kan?"
"Iya, memangnya kenapa, bu?"
"Hana, apa kau ... bertemu dengan teman lamamu itu? Dany Brown."