"A-Apa yang harus aku lakukan?"
Dalam keraguan Dany, tiba-tiba Hana mendekat dan melumat bibir Dany cukup dalam. Hana bahkan memasukkan lidahnya ke dalam mulut Dany, membuat Dany terbelalak, lalu mendorong Hana.
"Hana! prttt ... kau ini apa-apaan. Kenapa masukka. lidahmu ke mulutku!?" Dany panik dan agak sedikit geli. Tentu saja, dia melajang seumur hidupnya dan tak pernah merasakan ciuman sekalipun.
"Itu namanya french kiss, dasar b*doh," Hana memukul kepala Dany, lalu menggelengkan kepalanya sambio memasang wajah mengejek.
"Kau benar-benar gila, jadi begitu caramu berciuman dengan para pacarmu itu?"
"Makanya jangan terlalu yakin dengan dirimu. Ciuman hebat apanya? hahaha menempelkan bibir saja tidak berani," Hana langsung masuk ke kamar, dan menutup pintu.
"F-Fress apa tadi? ya ampun mengagetkan saja. Si gendut itu benar-benar gila. Untung saja imanku kuat."
Sementara itu di kamar Hana terdiam beberapa saat. Matanya tak berkedip dan pikirannya kosong. Beberapa menit kemudian, dia menggelengkan kepala lalu merebahkan dirinya ke tempat tidur.
"Masa bodoh. Dia yang menantangku untuk ciuman. Aku hanya menerima tantangannya."
***
Keesokan harinya. Seperti biasa Dany menyiapkan sarapan untuk Hana. Dia selalu memastikan Hana untuk sarapan dan memperhatikan semua yang dimakan Hana, karena wanita itu selalu mengalami kram perut jika makan sembarangan, atau dalam jumlah yang besar.
Dany menarik nafas puas atas pekerjaannya. Dia membanggakan diri sebagai koki hebat. Walaupun yang pernah mencoba masakannya selama ini hanyalah Hana.
"Hana, ayo sarapan. Aku sudah masakkan ayam goreng kesukaanmu, dan juga yogurt dari toserba biasa," panggil Dany kepada Hana yang belum juga keluar dari kamar.
"Hana, kau dengar aku? ayo kita sarapan,"
Beberapa menit kemudian, Hana keluar sambil membawa tas. Dia sudah berpakaian rapi, dengan celana jins panjang berwarna hitam, crop top berwarna putih dilengkapi sweater yang dia kancingkan sebagian.
"Kau mau kemana?"
"Pulang. Mama mencariku dan menyuruhku pulang sekarang."
"T-Tunggu dulu! kau harus sarapan,"
"Tidak bisa."
"Hana!" Dany Berdiri dari duduknya lalu menarik Hana ke meja makan, sarapan sebentar. Aku sudah masak untukmu,"
"Dasar tukang paksa!" Hana memasang wajah jutek, tapi dia akhirnya duduk untuk sarapan.
"Tak biasanya orang tuamu mencarimu, ada apa?"
"Mana aku tahu, aku tak tanya."
"Mungkin ibumu sadar, kau jarang pulang ke rumah."
"Masa bodoh," Hana menggigit potongan ayam besar, pipinya menggembung, Dany tersenyum karena Hana terlihat imut.
"Bagaimana? enak, kan?"
"Kau selalu membuat ini untukku. Sudah pasti kau ahli sekarang."
"Ah, begitu caramu mengungkapkan bahwa makananku enak."
"Aku selesai. Aku pergi dulu. Jangan terlalu merindukanku, ya." Hana berdiri lalu memperbaiki pakaiannya, "Ah, bonekaku. Jangan pindahkan tempatnya, dan jangan disembunyikan. Awas saja, jika aku kembali salah satu dari mereka tak ada di tempatnya, aku akan memukulmu."
Hana segera beranjak. Dany hanya menatapnya hingga menghilang. Beberapa detik kemudian, Dany menunduk.
"Akhirnya, orang tua Hana mencarinya juga. Tapi ... jika dia pulang, kapan dia akan kembali ke rumah ini lagi?"
***
Hana keluar dari mobilnya. Dia berkaca sejenak, lalu merapikan pakaiannya berkali-kali. Setelah dirasa cukup rapi, Hana melenggang masuk ke rumahnya. Dia sudah lama tidak menginjakkan kaki di rumah itu. Rumah Dany sudah seperti rumahnya sendiri. Sementara rumah aslinya, hanya lebih seperti penginapan yang dia datangi beberapa kali dalam sebulan.
"Hana, kau dari mana saja?" Megan, ibu Hana. Punya watak yang agak sedikit keras. Kesehariannya disibukkan dengan bisnisnya di bidang fashion. Megan memiliki sebuah perusahaan fashion ternama, dimana orang-orang penting selalu memesan gaun atau pakaian glamor lainnya. Karena bisnisnya itu, Megan jarang ada di rumah, dia juga tidak terlalu sering memperhatikan Hana.
Hana yang tadinya hendak melangkah ke kamar, berhenti lalu menatap kearah ibunya, "Kenapa menyuruhku pulang?" tanya Hana dengan nada suara rendah.
"Tentu saja aku menyuruhmu pulang. Ini rumahmu, bukan hotel yang hanya kau datangi sekali dalam sebulan,"
"Sepertinya ada yang lupa. Bahwa ada seseorang juga yang tak pernah pulang ke rumah. Ah, bukan hanya seorang, tiga orang di rumah ini tak pernah pulang, lebih baik rumah ini dijual saja, daripada hanya menjadi pajangan,"
Megan menutup majalah yang tadinya dia baca lalu berdiri menatap Hana.
"Hana, kau terlihat semakin liar sekarang, apa kau bergaul dengan laki-laki bodöh lagi?"
"Namanya Dany."
"Dany atau siapapun itu. Bukankah sudah kukatakan kau tidak boleh berteman dengannya!"
"Kenapa mendadak peduli?"
"Hana!"
"Apa aku salah? kau tak pernah peduli sebelumnya. Kau bahkan tak mencariku saat aku menghilang, sekarang kenapa peduli dengan apa yang aku lakukan?"
"Kau benar-benar ..." Megan menarik nafas dalam, lalu menghembuskan nafas perlahan untuk meredam emosinya.
"Sekarang bisa kau katakan mengapa kau menyuruhku pulang?"
"Masuk ke kamarmu. Jangan keluar hingga papamu pulang ke rumah!"
"Kau pikir aku anak usia lima tahun?"
"Hana Foster, masuk ke kamarmu, sekarang!"
Hana bergegas masuk ke kamar, lalu membanting pintu kamarnya dengan kesal. Megan kembali duduk, lalu membuka majalahnya. Namun, karena suasana hatinya sedang buruk. Dia melempar majalah tersebut ke atas meja, lalu memijit kepalanya.
Megan, Hana dan juga suaminya. Walau mereka keluarga, namun keadaan mereka terlalu asing untuk disebut keluarga. Megan menikah dengan suaminya John Foster awalnya atas dasar cinta. Namun, entah mengapa semakin lama cinta diantara mereka semakin memudar. Hak itu semakin parah karena mereka berdua selalu sibuk mengurusi bisnis masing-masing. Sementara Hana, dibesarkan oleh baby sitter, dan ketika berusia lima tahun dia mulai dibesarkan oleh asisten rumah tangganya. Mereka bertiga benar-benar seperti orang asing saat berada di rumah. Mereka makan tanpa bersuara, mengangkat piring masing-masing, setelah selesai, lalu masuk ke kamar masing-masing. Tak ada senda gurau antara orang tua dan anak, tak ada acara menonton tivi keluarga. Bahkan tak ada acara natal. Keluarga Foster adalah keluarga yang sangat tidak harmonis, setidaknya itulah yang dirasakan Hana.
Sesampainya di kamar, Hana membanting tasnya, lalu menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Matanya memerah, dan tangannya gemetar menahan marah.
"Sîàl! sebenarnya kenapa dia menyuruhku pulang? hanya untuk mengurungku di kamar? orang tua itu, benar-benar tidak masuk akal," Hana memukul bantalnya beberapa kali, lalu mengacak rambutnya.
Beberapa saat kemudian nada dering dari ponsel Hana berbunyi. Hana memaksakan diri untuk bangun, lalu mengambil tas yang telah dia lempar sebelumnya ke lantai untuk mengambil ponselnya. Setelah merogoh beberapa kali, Hana menemukan apa yang dia cari. Melihat siapa yang menghubungi, Hana menghela nafas. Dia enggan menjawab, dia hanya menatap layar ponselnya, menatap nama penelepon tersebut, hingga nada dering dan panggilan masuk ke ponselnya berhenti.
"Maaf, Dany. Aku sedang tidak ingin bicara,"
TBC