Suara ponsel Vania terus berbunyi. Banyak pesan singkat masuk tiada henti. Gadis itu meraba-raba jam weker untuk mengetahui waktu.
Dia mengusap pelan kedua matanya, untuk memperjelas penglihatan.
"Masih pagi," kata Vania mulai bangkit dari ranjang. Ponsel yang terus menyala itu diraih. Ada pemberitahuan dari grup kampus. Tapi yang lebih mencolok adalah pesan dari Leo.
"Aku lupa dengan janjiku!"
Vania menaruh ponsel itu kembali. "Biarlah dia menunggu, aku tidak akan datang. Lagi pula, mulai hari ini, menjauhi tetangga aneh adalah sebuah misi.
Vania berjalan menuju kamar mandi, melakukan aktivitas paginya sambil bersenandung ria. Setelah usai, baru ia keluar kamar.
"Raul…," panggil gadis itu saat melihat Raul sedang menyeruput kopi.
"Aku libur hari ini. Jadi, kau bisa berangkat sekarang."
Anehnya, Vania malah duduk di depan pria itu, membuat Raul banyak berpikir.
"Kau bisa telat kalau duduk santai seperti ini."
"Satu jam lagi, aku akan berangkat."
Vania pun mengambil roti, lalu memainkan ponsel. Alice memberi tahu kalau dia tak bisa datang, sehingga wajah gadis itu terlihat sedih.
"Alice mampir ke toko buku dulu."
"Dia punya kehidupan pribadi. Sesekali jangan mengusiknya."
Kedua gadis itu berteman sejak masa SMA, wajar kalau tidak bisa dipisahkan. Dan Vania sendiri sudah nyaman bersama dengan Alice. Andai saja ia tahu kalau teman dekatnya menjadi kata-kata, apakah rasa maaf itu ada?
"Aku ke kamar. Kalau berangkat, berangkat saja." Raul mengusap pelan rambut Vania. Saat hendak mencium kening, gadis itu menghindar.
"Aku bukan anak kecil."
"Hahaha, kau memang masih bocah," ejek Raul sambil kabur.
"Sialan!" heran Vania kesal.
Ya begitulah mereka. Saling berdebat atau bertengkar hanya karena hal kecil. Rasa kasih sayang keduanya dicurahkan dengan cara seperti itu.
Sekitar lima belas menit, Vania masih memainkan ponselnya. Ada pesan lagi dari Leo, bahwa dia sedang menunggu.
"Tunggulah sampai berjamur, karena aku tak akan datang."
Untuk pertama kali, Vania berangkat lewat pintu belakang. Gadis itu memulai rute dengan jalan memutar untuk menghindari Leo.
Akhirnya Vania sampai di halte bus tanpa gangguan apapun. Karena senang, gadis itu bersenandung menikmati perjalanan ke kampus.
Tidak ada Dennis atau pun Leo, hidupnya terasa damai. Dan juga, ia harus berterimakasih kepada Raul karena telah mengusir pemuda itu.
Saat memasuki kelas, Vania berpapasan dengan Dennis. Pria itu tersentak, tapi tak bicara sepatah katapun. Artinya Raul berhasil memberi batasan padanya.
"Inilah hidup yang aku inginkan," gumam Vania sambil duduk dengan nyaman. Ponselnya berbunyi beberapa kali. Ia menengok sekilas, lalu mengubah ke mode sunyi.
"Hubungi aku sampai kau lelah."
Vania kegiarangan di dalam hati. Setelah ini ia yakin kalau Leo akan mundur perlahan. Terkadang gadis itu sadis juga, tapi cara tersebut untuk melindungi diri. Lingkungan yang keras telah membuat banyak pengalaman terhadapnya.
Bagaimana dengan Leo? Pria itu sudah menunggu di dekat kompleks selama satu jam. Setelah menghubungi Vania sampai puluhan kali, ia membanting ponsel mahal itu.
Sangat disayangkan barang mahal retak begitu saja.
"Apakah kita menjemput nona saja, Tuan?" tanya Ben mencoba meredakan amarah Leo.
"Tidak perlu, karena dia sudah berangkat."
Leo tahu jadwal keseharian Vania. Kali ini gadis itu benar-benar keterlaluan.
"Dia tidak belajar dari pengalaman kemarin malam." Suara Leo sangat dingin. "Jalan ke kantor."
Ben menyalakan mesin mobilnya kembali, melirik sekilas ke arah Leo yang benar-benar marah. Kenapa gadis itu harus membuat masalah?
"Jalan!" sentaknya cukup keras. Ben segera melakukan mobilnya dengan kecepatan standar.
"Ben…, cari orang untuk mengerjai gadis itu. Dia harus menguntit nya beberapa hari."
Ben mengeratkan pegangan stang setir mobil, enggan untuk menerima perintah Leo.
"Apakah kau bosan kerja denganku? Lakukan sesuai perintah!"
Ben mengambil nafas panjang, "Saya akan melakukannya."
Mobil itu masuk ke parkiran eksklusif, Leo pun turun dengan wajah gelapnya. Para karyawan yang berpapasan tidak berani menatap terang-terangan.
"Kumpulkan semua orang di aula!" titah Leo menggelegar di udara. Ben menghentikan langkahnya, menatap punggung pria itu yang semakin jauh.
"Nona Vania sudah membangunkan sisi lain milik tuan. Kenapa dia bersikap seperti itu?"
Jika bukan Vania, pasti Leo sudah melakukan kekerasan. Sekarang para karyawan akan terkena imbas. Yang tidak bersalah jadi kambing hitam.
Ben pergi ke ruang pengumuman untuk meminta operator membantu memberi instruksi pada semua karyawan.
Karena baru pertama kali, mereka tidak tahu menahu apa yang akan terjadi.
Akhirnya semua orang berjalan masuk ke dalam ruangan cukup gelap. Suara sepatu pun terdengar di telinga masing-masing. Ben ikut masuk ruangan di bagian pintu depan.
Leo berdiri di depan semua karyawan yang telah bekerja kepadanya.
Mereka semua menundukkan kepala, tak berani mengeluarkan suara sedikitpun.
"Aku tak akan berbasa-basi." Suara Leo menggelegar cukup keras. "Bagian dari kalian yang tidak berguna akan dipecat."
wajah mereka langsung pucat pasi. Ben dan Raya yang berada di belakang Leo hanya menghembuskan nafas kasar.
"Jadi, aku harap kalian langsung angkat kaki dari sini jika sudah dipecat."
Kenapa ada pemecatan besar-besaran? Padahal mereka tak bersalah sama sekali. Bahkan penjualan produk dan kerjasama dengan perusahaan selalu terjalin.
"Apakah Tuan Zang benar-benar akan melakukan hal ini?"
"Raya, diam adalah emas," jawab Ben penuh peringatan. Raya pun sadar diri, langsung mengatupkan bibirnya untuk cari aman. Beruntung dia tak akan dipecat.
"Ben, ambil beberapa dokumen yang telah aku siapkan."
Dokumen berada di belakang Ben, letaknya di atas meja. Amplop tebal berwarna coklat itu membuat semua karyawan ketar ketir tidak karuan.
Ada juga yang sudah meneteskan air mata, takut dipecat. Istilahnya mental mereka down.
Setelah mendapatkan berkas itu, Leo membuka lalu melemparnya ke udara.
"Lihat kinerja kalian! Sungguh membuat kecewa!"
Perwakilan dari mereka pun mengambil salah satu lembar berkas. Banyak kejanggalan kerja sama yang belum disetujui oleh Leo.
"Bagian pemasaran dan iklan sangat parah!" sentak Leo membuat mereka menundukkan kepala dalam-dalam.
Kebetulan sekali ada kesalahan. Meskipun tidak seberapa, Leo bisa melampiaskan kepada mereka. Begitulah dia, selalu saja menjadikan orang kambing hitam.
"Aku akan memberikan kartu merah kepada orang yang dipecat!" Leo meninggalkan ruangan karena tidak betah bersama dengan muka labu seperti mereka. Ini semua karena Vania! itulah pikiran pria tersebut.
Leo dan Raya terlihat mengikuti Leo dengan tergopoh-gopoh.
"Raya…, tugasmu menaruh kartu merah!" titah Leo.
"Baik, Tuan."
"Dan kau, Ben," kata Leo sambil menghentikan langkahnya. "Cari orang sekarang untuk mengusik dia! Bisa-bisanya Vania melakukan hal ini kepadaku!"
Ben segera pergi tanpa berkata apapun. Untuk Raya terlihat gemetar ketakutan. Takut kalau berbuat salah dan endingnya nanti dipecat.
Aku seperti masuk ke neraka, batin Raya sambil berkeringat dingin.
Bekerja dengan Leo harus siap mental untuk bertahan. Meskipun tercekik sekalipun, Raya tidak akan meninggalkan pekerjaan karena butuh uang.