48. Kau Kasim? Itumu tidak Berdiri

1078 Words
Burung berkicau dengan sangat merdu, sampai-sampai membuat kedua sejoli itu masih betah dalam tidurnya. Vania memeluk Leo, mencari kehangatan, begitu juga sebaliknya. Meskipun sudah bangun, pria itu enggan membuka kedua mata. Sinar matahari yang masuk lewat jendela tidak menjadi penghalang untuknya. Padahal sangat menyilaukan mata. Saat matahari mulai meninggi, Vania merasa kepanasan. Tidurnya yang nyenyak terusik. Tanpa sadar, ia meraba-raba Leo yang dikira guling olehnya. Dahi Vania berkerut, sebab gulingnya terlihat sangat keras tapi hangat. Biasanya guling yang ada di kamar empuk. Apakah guling ku berubah jadi batu? Semakin meraba ke daerah atas, Vania menyentuh detak tanda kehidupan manusia. Leo yang merasakan tidak kuat menahan belaian demi belaian itu terpaksa membuka kedua matanya. "Sampai kapan kau akan terus menyentuhku?" Tubuh Vania menegang dan kaku. Matanya pun terbuka lebar. Hal yang pertama dilihat adalah d**a bidang seseorang. Pupil matanya langsung melebar saat melihat tangan yang lancang menyentuh sana sini. Vania langsung berteriak histeris, memenuhi ruangan hingga akhirnya terjatuh mencium lantai. Leo yang panik langsung menggendongnya kembali ke ranjang. "Apakah sakit? Kenapa kau berteriak seperti itu?" Sumpah, Vania tidak bisa berpikir lagi. Yang dilakukan hanya menunjuk ke arah Leo. "Apa yang ingin kau katakan?" Kenapa suaranya susah keluar? Vania sangat kepayahan, padahal mau bicara saja. "A-ku, kau." Akhirnya suara itu mampu keluar dari mulutnya sendiri. "Kita tidur bersama," jawab Leo tanpa keraguan. Bagai dihantam petir disiang bolong. Vania kaget setengah mati. Kenapa mereka bisa tidur bersama? Apakah sekarang dia tidak perawan. Gadis itu segera bangkit dari kasur, menarik selimut tebal untuk melihat darah. "Mana darahnya?" tanya Vania dengan wajah hampir menangis. Leo diam saja, menatap gadis itu dengan senyuman. Biarlah dia salah paham. "Kenapa diam saja? Mana darahnya? Tidak…! Masa depanku!" Vania akhirnya meneteskan air mata, membuat Leo merasa bersalah. "Kita tidak melakukan apapun." Boom, jantung Vania seakan meledak karena dilanda malu luar biasa. Bisa-bisanya dia berpikir negatif lagi. "Jadi, kita hanya tidur saja!" Sekali lagi ia memastikannya. "Apakah kau berharap kita melakukan ini itu!" cibir Leo sambil tertawa. Vania merasa lega karena kehormatan nya terjaga. Ternyata mereka berdua hanya tidur bersama tanpa melakukan apapun. "Jadi, kau seorang kasim?" tunjuk Vania kepada Leo. Gadis itu menatap area terlarang milik Leo terang-terangan. "Apa yang kau lihat?" Leo langsung balik badan. "Jaga sikapmu." "Itumu tidak berdiri, berarti kau seorang kasim. Sewajarnya dipagi hari itu mu berdiri." Vania sudah sering melihat punya Raul berdiri tegak, seperti mau berperang. Kadang kala dia malah bangga memamerkan tongkat emasnya itu kepada Vania. "Siapa yang memberitahumu?" Vania pun turun ranjang, "Raul selalu memperlihatkannya kepadaku." Memang dasar kakak laknat, bisa-bisa dia membuat otak polos Vania ternodai. Suatu hari nanti, Leo akan memberinya pelajaran. "Jangan memikirkan hal kotor." Pria itu segera bergegas ke kamar mandi. Bohong jika dia tidak terpancing, faktanya bahwa miliknya juga berdiri. "Aku pria normal," kata Leo sambil membasuh seluruh wajahnya dengan air dingin. Pria itu segera mengguyur tubuh untuk menetralkan rasa memanas sejak tadi. Rasa Leo ingin menertawai dirinya sendiri karena tidak bisa memuaskan hasrat. Tapi dia juga bisa bertindak seperti penjahat kelamin. "Tenang saja. Kau akan mendapatkan tempat seharusnya." Di waktu yang sama, Vania membuka pintu kamar itu. Dia merutuki kebodohannya sendiri saat ini. Kenapa dia tak menyadari saat dibawa masuk ke kamar? Apakah dia tidur seperti babi? "Aku sangat malu!" emang Vania dengan lirih. Kalau Raul tahu, pasti dia akan marah. Yang dipikiran gadis sekarang adalah kabur dari rumah Leo. Sayangnya tidak semudah itu, belum keluar dari ruang utama, dia dipergoki oleh Ben. "Kemana anda pergi, Nona?" Vania seperti maling yang jalan mengendap-endap hendak kabur, makanya Ben segera menghentikan langkahnya. Dia terlihat gugup dan salah tingkah. "Pulang karena ini bukan rumahku." "Lebih baik nona sarapan dulu, pelayan sudah menyiapkan makanan." Vania ingin menolak karena tidak bisa berhadapan dengan Leo. Jujur ia malu, sudah menumpang tidur seranjang pula. Pasti memang pria itu yang menggendongnya. "Aku tak akan membiarkan kau pergi," ujar Leo dengan menggunakan piyama. Disini kewarasan Vania yang dipertaruhkan. Otaknya sangat blank, dan tak bisa berpikir lagi. "Air liurmu menetes." Vania sigap mengusap bibirnya sendiri. Matanya melotot saat melihat kebohongan di wajah Leo. Lihat, dia seperti menikmati setiap rasa malu dari dirinya. "Aku harus pulang." "Tanggung jawablah kepadaku lebih dulu." Tanggung jawab? Seperti apa? Yang ada ia yang rugi. Kehormatan nya sudah ternodai lantaran tidur bersama dengan seorang pria meski tidak melakukan apapun. "Kau menghampiriku saat tidur," kata Leo mengangkat alis sebelah tangan. Well, dilihat juga muka Leo sedang mencemooh Vania. Aku ingin memukul wajah itu, batin Vania mengepalkan kedua tangannya cukup kuat. "Tidak mungkin," selak Vania tidak percaya. Karena dalam kamus hidupnya ia tak pernah sama sekali tidur berjalan. "Apa aku perlu memperlihatkan CCTV padamu." Leo melipat kedua tangannya melihat reaksi Vania. Meski adanya CCTV hanya omong kosong belaka, ia juga khawatir kalau gadis itu menyetujuinya. "Tidak perlu." Bisa dirundung malu yang tak terkira jika gambar dirinya terpampang nyata. "Karena kau sudah melanggar privasi, sebaiknya turuti permintaanku." Sekali Vania terjebak oleh jeratan Leo yang semakin erat. Seperti mengikat seluruh tubuhnya dengan tali besi. Sialan, batin Vania tertahan. Kenapa di depan Leo dia tidak bisa berkutik sama sekali? Bagaimana cara mengalahkan pria itu? Ia tidak bisa hanya diam tertindas oleh Leo. Dalam benaknya, menyusun beberapa rencana agar terlepas dari orang yang ada di depannya itu. "Apa maumu?" Tanya Vania dengan nada Ketus. "Penuhi tiga permintaanku. Baru aku memaafkanmu." Hah, gadis itu melongo cukup lebar kalau Leo mengeluarkan syaratnya. "Sebarkan saja video itu ke internet. Biar aku malu sekalian," tantang Vania kesal. Ia marah dengan Leo karena persyaratan yang tidak masuk akal. "Baiklah…, aku akan melakukan sesuai perintahmu." Leo mengkode Ben supaya mendekat. "Ben, sebarkan video itu sekarang." Tidak! Vania tidak bisa menerimanya. Jika video itu tersebar, bagaimana nasibnya di masa depan. "Jangan! Aku akan melakukannya," kata Vania dengan pasrah. Sekali lagi, Leo menang dan mendapatkan untung dari rencana yang disusun. Seolah menjadi korban memang sangat menyenangkan. "Bagus…, aku suka jawabanmu." Leo berjalan mendekat. "Kita sarapan. Aku akan memberitahu tiga permintaan itu." Vania menghela nafas kasar, berjalan dibelakang Leo dengan wajah ditekuk. "Ben, hapus video itu!" "Baik, Tuan." Video mana? Jelas di kamar Leo tidak ada CCTV sama sekali. Vania benar-benar dibodohi oleh pria itu. Ben yang melihat kepergian mereka berdua menggelengkan kepala sambil tersenyum. Bisa-bisanya sangat tuan bertingkah layaknya anak kecil? "Rumah jadi hidup jika ada Nona Vania," gumam Ben terus berdiri sampai kedua punggung itu masuk ke ruang makan. Apakah Vania akan menyerah? Tentu saja tidak. Gadis itu akan menunggu tiga permintaan yang akan dibicarakan oleh Leo. Di jual, Vania beli, maka harus ada timbal baliknya. Ia tak ingin jadi pihak merugi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD