Sukses Besar

1256 Words
Selamat membaca! Alex dan Evans sudah bersiap untuk menyerang balik. Keduanya perlahan keluar dari tempat persembunyian dan melangkah saling memunggungi dengan membidik musuh-musuh mereka yang berada di lantai atas. Mereka terus memuntahkan peluru dari pistol yang mereka genggam, Evans terlihat sangat lihai menggunakan kedua pistolnya, tembakannya selalu tepat melumpuhkan orang-orang yang berada di sisi kiri atas, sementara Alex berhasil menumbangkan beberapa orang yang berada di sisi kanan atas. Tak ada perlawanan yang berarti dari orang-orang yang mereka hadapi saat ini. Keduanya terus menembak dengan saling melindungi satu sama lain, mereka terlihat begitu santai menghadapi situasi yang saat ini penuh dengan suara bising tembakan, yang berderu memenuhi seisi gedung. Evans berguling ke sebuah pilar besar untuk melakukan sebuah serangan, dengan cara meluncur dirinya sambil menembaki orang-orang berada dibalik pilar tersebut. Namun, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan sebuah tembakan yang tepat mengenai perut Alex yang membuatnya mundur beberapa langkah. "Tuan." Evans sangat geram dengan kedua orang yang berada di seberang sana. Ia langsung membidik keduanya dengan kedua pistol di tangannya, tak butuh waktu lama, kedua orang itu seketika langsung terkapar dengan luka tembak tepat di dahi mereka. Evans langsung berlari untuk menghampiri Alex yang kini sudah terlihat berdiri dengan tegap. "Tuan, kau tidak apa-apa?" tanya Evans tampak cemas. Alex pun terkekeh dengan seringai khasnya. "Sakitnya seperti pijatan pembantuku Evans, kau tenang saja," jawab Alex meremehkan. Tak lama sebuah tepukan terdengar nyaring disertai dengan tawa yang keras. Alex dan Evans pun seketika membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah belakang. "Sungguh kalian berdua sangat hebat, nama baik kalian yang mentereng ternyata benar adanya, Alex dan Evans sungguh menakjubkan." Seorang pria berperawakan tegas pimpinan orang-orang yang telah berhasil dilumpuhkan oleh Alex dan Evans, muncul di hadapan mereka didampingi keempat orang yang berbadan besar, lengkap dengan senapan di tangannya masing-masing. "Apa maksudnya ini Tuan Rudolph?" tanya Alex sambil mengangkat sebelah alisnya dengan suara lantang. Rudolph terkekeh puas mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Alex. "Aku hanya memberikan sambutan pada kalian, sekaligus untuk membuktikan bahwa kabar burung itu benar adanya, tapi sepertinya kalian sangat menikmati permainan yang telah aku suguhkan." Jawaban dari Rudolph membuat rahang Alex mengeras hebat, sorot matanya tajam menatap wajah Rudolph, yang terlihat menyeringai licik penuh rencana. "Kurang ajar kau Rudolph, memang kau pikir nyawa itu seharga permainan yang telah kau ciptakan ini. Jika saja sebuah nyawa itu dapat aku beli dengan uang, aku pasti sudah membelinya untuk menghidupkan Siera kekasihku!" gumam Alex dengan kepalan tangan yang semakin erat. Kepalan yang membuat urat kehijauan terlihat di leher Alex, menandakan bahwa dirinya sangat tidak suka dengan cara Rudolph menjamu kedatangannya, yang mengorbankan banyak nyawa dari anak buahnya. Seketika Alex teringat akan memori indahnya bersama Siera. Wajah gadis berparas cantik dengan surai hitam yang berkilau itu, tiba-tiba menyelinap masuk ke dalam pikirannya, membuat Alex kembali mengingat masa dimana hatinya begitu tergila-gila kepada Siera. Alex menjadi rindu dengan semua keisengan Siera, saat mengganggunya tidur dan saat keduanya sedang memadu kasih. Hubungan yang hampir mereka resmikan, seketika hanya tinggal kenangan, saat tiba-tiba mobil yang dikendarai oleh Siera, meledak dan hancur tak tersisa karena sebuah bom yang terpasang di mobil itu. Selama dua tahun Alex terus mencari pelaku dari serangan itu. Namun, sampai saat ini ia masih belum dapat membalaskan dendam atas kematian Siera. Dehaman Evans seketika membuyarkan lamunan Alex. Ia sudah hafal betul dengan sikap tuannya itu, di saat Alex sedang melamun berarti ia teringat akan sosok wanita yang hampir menjadi istrinya. Alex pun langsung menoleh ke arah Evans yang seperti biasa selalu menyadarkannya saat bayangan Siera datang di waktu yang tidak tepat. Alex memberikan sebuah kode lewat tatapan matanya kepada Evans, sebuah lirikan yang hanya dapat dimengerti oleh partnernya itu. Tiba-tiba Alex dan Evans langsung menembak keempat orang yang mengawal Rudolph dengan cepat, dalam sekejap mata keempat orang itu roboh tak berdaya. Rudolph tercekat kaget dengan keringat yang kini memenuhi dahinya. "Apa maksudmu Alex? Apa kau berpikir akan membunuhku?" tanya Rudolph dengan bibirnya yang sudah gemetar menghadapi Alex dan Evans yang sudah mendekatinya. "Aku hanya tidak suka dengan caramu Rudolph! Kau itu terlalu meremehkan makna dari sebuah nyawa yang sebenarnya lebih berharga dari suara tawamu yang keras itu. Lihat akibat permainanmu, seluruh anak buahmu jadi mati sia-sia!" Alex menyodorkan pistol pada dahi Rudolph dan mulai menarik pelatuk pada pistolnya. "Aku tanya padamu, apa pentingnya sebuah nyawa untukmu?" kecam Alex penuh penekanan. Rudolph yang merasa gugup seketika langsung memutar otaknya untuk menemukan sebuah jawaban yang dapat meredam kemarahan Alex. Namun, karena terlalu lama, Alex tanpa aba-aba merubah arah pistolnya dan menembak sebelah kaki pria itu hingga membuatnya mengaduh kesakitan dan berlutut sambil memohon belas kasihan Alex. "Tolong Alex! Ingat! Aku memiliki seorang anak laki-laki. Jadi bila kau membunuhku, pasti dia akan membalas dendamku dan kau akan mendapat masalah yang besar." Alex pun berdecih kasar saat mendengar ancaman Rudolph yang terasa menggelitik perutnya hingga membuat dirinya tertawa terbahak-bahak. "Mana nyali besarmu tadi!" ucap Alex menyeringai licik dengan tatapan mata yang masih menyimpan amarah terhadap Rudolph. Namun, saat sebuah tawaran yang menguntungkan diberikan kepada Rudolph, amarah Alex seketika sirna. "Kita lanjutkan saja transaksi kita ini Alex. Lupakan tentang kesalahanku! Maka semua senjata ini akan aku jual padamu dengan setengah harga, kau tidak perlu membayar seperti yang kita sepakati, asal kau mau memaafkanmu." Tanpa berpikir lama, Alex pun mengiyakan penawaran Rudolph sambil menarik sebelah sudut bibirnya hingga membentuk seringai khasnya. "Cepat bawa mobil kita ke sini, Evans!" titah Alex dan Evans pun langsung melangkah untuk mengambil mobil dan membawanya masuk ke dalam gedung tua tersebut. Tak berapa lama kemudian, tampak sebuah mobil masuk ke dalam gedung dan Evans langsung turun dengan membawa satu koper uang untuk Rudolph. "Apa kau ingin menghitungnya?" tanya Alex mengangkat kedua alisnya dengan dahi yang berkerut dalam. Rudolph tersenyum kecut karena merasa semua rencana gagal dan ia harus menderita kerugian yang besar. "Tidak perlu Alex, aku percaya padamu. Anak dari seorang Chris Decker tidak mungkin berbohong." "Baik kalau begitu." Alex dan Evans secara bersamaan mulai memasukan semua senjata-senjata itu ke dalam bagasi belakang mobilnya. Setelah selesai keduanya pun masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Rudolph sendirian di dalam gedung dalam posisi yang masih berlutut kesakitan. Rudolph hanya menatap sinis kepergian mobil yang dikendarai oleh Evans dengan penuh dendam. "Awas kau Alex, aku akan membalas perbuatanmu ini!" kecam Rudolph yang merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh Alex. Sementara itu, di depan gedung ketika mobil yang dikendarai oleh Evans keluar. Tampak dua mobil yang berisikan beberapa anak buah Alex terlihat datang di sana. "Kau yang memanggil Aaron dan lainnya Evans?" tanya Alex mengangkat kedua alisnya. "Iya Tuan, hanya untuk berjaga-jaga, tapi ternyata keadaan di dalam masih bisa kita atasi berdua." Seketika Alex terkekeh hingga suara tawa renyahnya memekikkan telinga Evans. "Sejak kapan kau tidak percaya diri seperti ini Evans?" tanya Alex sambil memukul lengan partnernya itu. Evans pun menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Alex. "Maaf Tuan, tapi kan lebih baik sedia payung sebelum hujan, daripada nanti pas hujan kita kebasahan." Perumpamaan yang diucapkan oleh Evans membuat Alex kembali tertawa. Ia sangat terhibur dengan sikap Evans yang saat ini sedang kurang percaya diri. Namun, walau begitu, apa yang dilakukannya adalah sebuah keputusan tepat untuk berjaga-jaga apabila ternyata kondisi mereka berubah menjadi tak terkendali di dalam sana. Kini Evans pun mulai memacu kecepatan mobilnya untuk meninggalkan dermaga yang diikuti oleh kedua mobil anak buah Alex lainnya. Mereka pulang dengan penuh suka cita karena mendapatkan kemenangan yang besar. Ya, Alex berhasil membawa semua senjata-senjata itu dan hanya membayar setengah dari harga kesepakatan awal dengan Rudolph. Sesuatu yang membuatnya pantas dijuluki sebagai mafia paling mengerikan di kota Paris. ()()()()() Bersambung✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD