Selamat membaca!
Sementara itu, Evans masih terus menembaki beberapa anak buah Rudolph yang masih tersisa. Namun, ia juga harus merelakan 3 rekannya yang telah mati tertembak. Kini anak buah Alex menyisakan 5 orang, dengan jumlah itu mereka benar-benar mampu mendesak Rudolph dan anak buahnya karena kalah jumlah.
"Aku tidak ingin kalah terus!" geram Rudolph merasa sangat jengah atas posisinya yang sudah diujung tanduk.
Rudolph pun langsung mengambil benda pipih miliknya dari saku jas, ia kemudian menghubungi David sebagai kartu as yang sengaja disimpannya bila hal ini terjadi.
"Halo David, jalankan rencanamu! Cepat!" titah Rudolph sambil terus bersembunyi dari muntahan peluru yang terus bersarang ke arahnya.
"Baik Tuan, segeralah keluar, biar aku ledakan bangunan itu agar rata dengan tanah," ucap David menampilkan seringai yang menakutkan di wajahnya atas rencana liciknya.
David yang sudah mendengar perintah dari Rudolph kini segera bersiap untuk melakukan apa yang direncanakannya.
Apa yang dilakukan Rudolph tak luput dari pengawasan Chris yang berada di lantai atas. Ia terus mengawasi pergerakan Rudolph beserta keempat anak buahnya yang kini sudah berada di lantai bawah dan bersembunyi di balik tumpukan peti, sebagai tempat mereka berlindung dari peluru-peluru yang dimuntahkan secara terus menerus oleh Evans, Oscar, dan anak buah Alex lainnya.
Namun, Chris semakin heran saat Rudolph dan semua anak buahnya malah tak membalas. Mereka terlihat melangkah semakin jauh ke arah luar bangunan.
"Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?" tanya Chris yang terus berpikir dengan memutar otaknya. Ia berusaha membaca rencana yang kini akan dilakukan oleh Rudolph. Rencana tersembunyi yang diam-diam memang sudah disiapkan oleh pria paruh baya itu.
Sementara itu, Alex dan Sandra masih tetap bersembunyi di balik tumpukan kayu. Alex masih memegangi bahunya, merasakan sakit yang berdenyut di sana. Bahkan kini bukan hanya pundaknya saja yang terasa remuk, tapi sekujur tubuhnya begitu sakit karena hantaman keras saat mendarat di atas tumpukan kayu.
"Apa kamu tidak apa-apa, Tuan?" tanya Sandra yang mulai cemas akan kondisi Alex. Kondisi yang diakibatkan karena menyelamatkannya.
"Kau pikir aku robot yang tidak bisa merasakan sakit setelah melompat dari tempat yang setinggi itu." Alex dengan ketus menjawab perkataan Sandra yang seketika langsung merasa bersalah atas apa yang ditanyakannya.
"Harusnya, tadi kamu tidak usah menyelamatkanku!" ucap Sandra dengan raut wajah yang masam.
Tiba-tiba tangan Alex bergerak maju, menyentuh wajah Sandra yang kini sedang berpaling darinya. Sentuhan yang membuat Sandra pun jadi terhenyak, terlebih ketika jemari pria itu mengarahkan wajahnya untuk kembali melihatnya.
"Kalau aku tidak menangkapmu, memangnya kamu itu Wonder Woman yang jatuh dari tempat setinggi itu akan tetap baik-baik saja."
Sandra mulai mengulas senyuman di wajahnya, ketika perkataan Alex seolah menggelitik dirinya. Senyuman manis yang membuat Alex semakin menatap kagum padanya. Pandangan keduanya pun kini saling beradu beberapa saat, dalam diam mereka hanya menatap, seolah bicara hanya lewat hati. Sampai akhirnya, suara peringatan dari Chris seketika membuyarkan lamunan keduanya.
"Cepat pergi dari sini! Mereka akan meledakkan seluruh bangunan ini." Chris mulai panik karena entah dalam beberapa menit atau beberapa detik lagi bangunan ini akan meledak. Namun, yang jelas Rudolph beserta anak buahnya kini sudah hampir keluar dari bangunan tersebut.
Peringatan dari Chris membuat, Alex langsung meraih tangan Sandra dan mulai mengajaknya berlari tanpa menghiraukan rasa sakit pada tubuhnya.
"Cepat kita tidak punya banyak waktu!" Alex dengan cepat menarik tangan Sandra sambil memacu langkah kakinya.
"Tapi bagaimana ayahmu bisa tahu rencana penjahat itu?" Sandra terlihat bingung. Namun, ia terus mengikuti langkah Alex yang terus berlari di depannya, tanpa membantah sedikit pun.
"Sudah, kau tidak perlu banyak tanya. Daddy tidak mungkin asal bicara, kau tahu tidak dia itu siapa?" Terlihat kening Alex sudah tercetak kerutan dalam dengan nada suara yang terdengar tegas.
"Aku tahu kok, dia itu kan ayahmu," jawab Sandra dengan wajah polosnya.
Alex mengesah kasar sambil menggelengkan kepalanya. Di tengah situasi seperti saat ini saja, wanita itu sempat menggelitiknya. Mencairkan sejenak ketegangan yang belum mereda.
"Wanita ini benar-benar polos!" batin Alex dengan senyum tipis yang terulas. Pria itu masih terus berlari tanpa melepas genggamannya dari tangan Sandra.
Sementara itu, Sandra yang terus mengikuti langkah Alex hanya termangu menatap pria itu dengan beragam pertanyaan di dalam hatinya.
"Kenapa aku merasa Tuan Alex lebih perhatian kepadaku ya? Ia bahkan sampai rela menyelamatkanku, walau tubuhnya harus merasakan sakit seperti saat ini. Bukan hanya itu saja, sekarang dia sampai menggenggam tanganku dengan erat untuk membawaku keluar dari bangunan ini. Walaupun semua yang dilakukannya saat ini masih tak mengubah pandanganku terhadapnya, tapi kejadian ini membuatku mengerti bahwa memang benar, cinta itu adalah sebuah perasaan yang bisa datang kapanpun secara tiba-tiba."
Alex dan Sandra sudah keluar dengan melewati pintu yang berada di sisi kanan bangunan. Sementara Evans, Oscar, Aaron, dan anak buah Alex yang lain juga sudah keluar dari bangunan, lewat pintu yang berada di sisi sebaliknya dengan Alex.
"Akhirnya kita selamat, ayo kita berlindung. Cepat!" titah Alex sambil menarik tangan Sandra untuk berlindung beberapa langkah menjauh dari bangunan.
Setelah menunggu beberapa menit, suara ledakan masih belum terjadi. Bahkan saat ini bangunan itu masih tampak kokoh berdiri di mata Sandra yang terus memerhatikan gudang tua tersebut yang katanya akan meledak.
"Tuh tidak ada apa pun yang terjadi. Aku sudah bilang, bagaimana mungkin ayahmu bisa tahu kalau bangunan ini akan diledakkan?" tanya Sandra yang tak mempercayai apa yang dikatakan oleh Chris. Namun, selang beberapa detik di saat Sandra baru saja mengedikkan bahunya, suara ledakan pun terdengar sangat keras hingga membuat wanita itu berlari ketakutan ke arah Alex dan langsung mendekap tubuh pria itu untuk berlindung dari rasa takut akibat ledakan tersebut.
Alex hanya termangu tanpa suara. Hatinya kini mulai dihinggapi rasa nyaman yang sudah lama tak dirasakannya, semenjak peristiwa kelam yang terjadi sore itu. Peristiwa yang menyebabkan Sierra, wanita yang sangat dicintainya pergi dari hidupnya.
Pikiran Alex mulai menuntunnya untuk kembali mengingat memori kelam itu. Sebuah memori yang merubah hidupnya dalam beberapa tahun setelahnya.
Sore itu seperti biasanya, Sierra datang ke kantor Alex dengan menampilkan wajah cerianya. Namun, berbeda dari biasanya, senyumnya kali ini terlihat dipaksakan, seperti ada beban yang sedang dipikirkannya.
Sierra terlihat sedang termangu di depan lift. Bahkan beberapa kali pintu lift terbuka, sosok wanita itu seolah enggan beranjak. Pikirannya seakan membatu raganya. Membuat Sierra tetap berada di posisinya berdiri tanpa menghiraukan orang lain yang menatap aneh lamunannya.
"Apa aku harus cerita semua yang aku lihat kepada Alex ya?" batin Sierra merasakan bimbang.
Tiba-tiba suara teguran seseorang membuyarkan lamunan wanita itu.
"Hai, kamu kenapa masih di sini?" Sepasang tangan dengan lengan yang kekar, tiba-tiba melingkar di tubuh wanita itu yang sedari tadi hanya termangu di depan pintu lift.
Sierra menengadahkan kepalanya melihat wajah Alex yang semakin manja bertumpu pada pundaknya.
"Iya sayang maaf ya, aku lagi kepikiran sesuatu yang aku lupakan." Sierra berusaha menutupi apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya.
"Memang apa sayang yang kamu pikirkan?" Alex semakin bergelayut manja pada tubuh Sierra.
Sierra sejenak terdiam. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Alex.
"Aku tidak mungkin menceritakan apa yang aku lihat kepada Alex, dia pasti akan sangat emosi, lebih baik aku menceritakan terlebih dahulu kepada Mommy Grace," batin Sierra memutuskan, sambil melepaskan dekapan Alex yang semakin erat memeluknya.
Setelah melepaskan kedua tangan Alex dari tubuhnya, Sierra kini menghadap ke arah pria yang sudah dicintainya selama dua tahun itu. Seorang pria yang ditemuinya di sebuah bar ketika dirinya sedang kalut karena hubungannya baru saja berakhir.
"Aku harus bersikap biasa agar Alex tak menaruh curiga padaku," batin Sierra memutuskan.
Setelah merubah ekspresi wajahnya menjadi ceria, Sierra pun mulai melabuhkan kecupan singkat ke arah bibir Alex yang membuat pria itu seketika terhenyak karena mendapatkan ciuman dari kekasihnya itu. Sebuah ciuman yang ternyata adalah ciuman perpisahan, tanpa dapat disadari oleh keduanya.
"Sayang aku lupa, kalau hari ini aku harus pergi ke rumahmu karena aku sudah ada janji dengan Mommy Grace untuk pergi ke salon bersama." Sierra menyentuh tengkuk lehernya untuk menepis rasa cemas di dalam hatinya. Ia mencari alasan untuk dapat pergi dari Alex.
Sierra langsung pergi keluar dari kantor dengan masih mengulas senyum manisnya ke arah Alex. Namun, belum lama Sierra keluar dari kantor, ia sudah terlihat kembali ke hadapan Alex sambil memasang wajah polosnya.
"Sayang, aku pinjem mobil kamu ya, soalnya mobil aku enggak bisa keluar, terhalang mobil lain."
Alex pun dengan senang hati memberikan kunci mobilnya kepada Sierra. Setelah menyambar kunci tersebut dari tangan Alex, Sierra langsung memberikan kunci mobilnya dan kedua saling bertukar mobil kala itu.
Kini Sierra mulai beranjak keluar dari kantor, sementara Alex bergegas untuk kembali menuju ruang pribadinya.
"Semoga keputusan yang aku ambil ini sudah tepat untuk menceritakan semua kepada Mommy Grace," batin Sierra sambil terus melangkah dengan keraguan yang masih singgah di hatinya.
Bersambung✍️