Bab 10: Kemunculan Matias Anderson

1348 Words
*** “Bersama siapa Stefan datang ke pesta itu?” Seorang pria berusia lanjut bertanya dengan suara yang terkesan dingin. Sorot matanya yang keriput tampak tajam menatap seorang pria dewasa di depannya. “Tuan Stefan datang bersama kekasihnya, Tuan,” jawab pria itu. Dia menatap Tuannya dengan tatapan ragu, seolah ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, namun tidak yakin. “Kau yakin?” tanya pria itu. Matanya yang keriput memicing, menatap ragu pada Billy, yang merupakan tangan kanannya. “Aku melihat ada yang kau sembunyikan, Billy,” katanya, menebak dengan tepat. Billy menghela napas berat. Meskipun dia berupaya menyembunyikan keraguan yang bergelayut dalam benaknya, dia yakin bahwa sang Tuan Anderson memiliki kemampuan untuk membaca ekspresinya. “Ya … sepertinya dugaan Anda benar, Tuan. Tuan Stefan memiliki perasaan terhadap Putri Sanders,” ujar Billy. Matias Anderson sontak melepas kekehan pelan, seolah apa yang dikatakan oleh Billy adalah sesuatu yang lucu dan menggelikan baginya. “Hem, lalu…? Apa yang terjadi dengan cucuku yang keras kepala itu?” tanya Matias, merujuk kepada Stefan. Billy mengangkat bahu diiringi desahan pelan. “Dia memendam perasaannya. Seperti itulah yang saya lihat,” jawabnya. “Putri Sanders memang memiliki daya tarik yang luar biasa,” gumam Matias seraya mengangguk pelan berulang kali. Matanya menatap jauh, seolah membayangkan sosok yang dimaksud. Sein Fransiska Sanders. Billy sontak mengerutkan kening, menatap Tuan Anderson dengan dahi berkerut. “Apakah Anda juga tertarik pada gadis muda itu? Oh Tuhan … semoga saja dugaan saya ini salah.” Matias tertawa. “Aku hanya mencintai satu wanita, yaitu mendiang istriku. Kau jangan sembarangan bicara, Billy,” guraunya. Billy pun tersenyum. Setelah hening sejenak, Billy menatap lekat pada Matias. “Tuan … saya rasa sudah waktunya Anda menemui Tuan Stefan secara langsung. Saya khawatir, jika Anda terus mengulur waktu; mereka akan bertindak lebih dulu sementara Anda belum sempat menceritakan kebenarannya pada Tuan Stefan,” bicaranya dengan harapan bisa mendorong Matias untuk mengubah keputusan. “Aku perlu bertemu dengan Leon terlebih dahulu,” ujar Matias. “Tetapi beliau menolak bertemu dengan Anda. Tuan, sebelumnya saya minta maaf jika menurut Anda saya terlalu lancang. Tapi … menurut saya, Anda harus secepatnya bertemu dengan cucu Anda sebelum Tuan Owen menyadari bahwa Tuan Stefan masih hidup. Saya tidak dapat membayangkan kekejaman apalagi yang akan Tuan Owen lakukan terhadap penerus Anderson yang sesungguhnya.” Matias terdiam, memandangi Billy dengan lekat. “Billy, bagaimana jika … Stefan tidak menerima semua ini?” “Tuan Stefan tidak akan punya pilihan selain menerima, Tuan,” jawab Billy dengan tegas. “Mengapa kau begitu yakin, sedangkan aku, sebagai kakeknya, ragu?” tanya Matias, suaranya dipenuhi keraguan. “Karena Tuan Stefan tidak akan mau berakhir seperti kedua orang tuanya. Saya yakin sekali,” jawab Billy, menatap Matias dengan sorot mata penuh keyakinan. “Sampai ke ujung dunia sekalipun, Tuan Owen pasti akan mengejar Tuan Stefan seandainya dia mengetahui bahwa Tuan Stefan masih hidup. Sedangkan Tuan Stefan sendiri … selama ini dia tumbuh dalam lingkaran orang-orang yang sangat berpengaruh.” Billy menarik napas sejenak dan menghembuskannya perlahan. “Saya yakin Tuan Sanders telah mempersiapkan Tuan Stefan sebaik mungkin. Tolong … jangan tanyakan lebih lanjut; alasan mengapa saya seyakin ini karena saya sendiri tidak tahu jawabannya. Saya hanya mengikuti insting saya, Tuan.” Matias terdiam, terus memandang Billy tanpa berkedip. “Meskipun Anda sendiri belum pernah menyampaikan apapun kepada Tuan Sanders, tetapi saya yakin beliau sudah tahu semuanya. Tuan … mana mungkin seorang Sanders mau membesarkan seorang anak yang dia sendiri tidak tahu asal-usulnya?” Billy menatap serius pada Matias. “Pendapat saya ini sangat masuk akal, bukan?” Matias mengangguk pelan. “Ya, kau benar. Aku sependapat denganmu. Mungkin sebelumnya Verdan sudah bercerita kepada Leon tentang Stefan dan kehidupan sebenarnya.” Verdan yang dimaksud oleh Matias adalah orang yang telah menyelamatkan Stefan pada malam pembantaian orang tuanya. Setelah kejadian tragis itu, Verdan memutuskan untuk membesarkan Stefan seorang diri, menyayangi anak itu layaknya anak kandung. Ketika Stefan berusia tujuh tahun, Verdan dinyatakan tewas saat menyelamatkan Leon. Verdan, yang merupakan asisten setia Leon, mengorbankan nyawanya untuk Tuannya dan menitipkan Stefan kepada Leon. “Selain itu, Tuan Sanders pasti sudah mencari tahu latar belakang Tuan Stefan secara menyeluruh. Beliau tidak mungkin hanya mendengarkan cerita dari satu pihak,” tambah Billy. Matias terdiam sejenak, menarik pandangannya dari Billy diiringi oleh helaan napas berat. “Baik,” katanya pelan. “Baiklah … Aku akan coba. Aku akan beranikan diri untuk bertemu langsung dengan cucuku itu,” ucapnya dengan keputusan yang bulat. *** Di Mansion Sanders… Sebuah mobil berhenti di depan pintu gerbang Mansion. Pria pemilik kendaraan tersebut menoleh ke belakang, menemukan Stefan duduk malas di kursi. Punggungnya disandarkan dengan santai, wajah tampannya menghadap ke atas dengan kedua mata tertutup rapat. Pria itu tidak tidur; dia hanya menutup mata berharap dapat meredakan rasa pusing yang mendera. Kepalanya berdenyut hebat akibat minuman beralkohol yang ia teguk cukup banyak saat di nightclub tadi. “Tuan, kita sudah sampai,” ucap pria itu. Stefan bergeming. Pria itu melepas sabuk pengaman, membuka pintu, dan segera turun dari mobil. Dia membuka pintu di samping Stefan. “Mari, saya bantu.” Stefan membuka mata dan mengangkat kepalanya, menatap pria itu lekat-lekat. “Sein?” gumamnya dengan kedua mata menyipit. Kening pria itu sontak berlipat, menatap bingung pada Stefan. “Bukan…” Stefan mengerjapkan mata dan menggelengkan kepala setelah menyadari bahwa orang di depannya itu bukan Sein. Sial! Kini dalam benaknya hanya ada tentang Sein, sampai pria berperawakan tinggi itu dia kira adalah Sein yang seksi dan menggoda. Stefan terkekeh pelan. “Sein sangat cantik. Bagaimana mungkin dia bisa mirip denganmu?” gumamnya tidak jelas, khas orang yang sedang teler. ‘Astaga … apakah dia sedang patah hati?’ batin pria itu bertanya-tanya dalam hati. Dia bergidik pelan, tanpa sengaja membayangkan Stefan berbuat yang tidak-tidak padanya karena pengaruh alkohol. Detik berlalu, Stefan turun dari mobil dengan agak sempoyongan. Maklum, namanya juga lagi teler; jalan saja terlihat seperti anak spesial. “Mau saya bantu?” tanya pria itu, agak cemas melihat kondisi Stefan. Stefan menggeleng pelan. “Thanks sudah mengantarku. Sampai jumpa di lain waktu,” jawabnya, lalu segera melangkah ke pintu gerbang. Pria itu tak langsung pergi. Dia tetap berdiri di sana, memastikan Stefan masuk ke dalam kediaman yang mewah dan megah itu. Seorang penjaga yang bertugas di pintu gerbang segera membuka pintu saat menyadari kehadiran sang Tuan. Penjaga tersebut kaget menemukan Stefan yang mabuk. Bau alkohol menguar dari mulut pria itu. Stefan bergerak menuju pintu utama Mansion setelah menolak bantuan bodyguard untuk mengantarnya sampai ke dalam. Setelah Stefan masuk, suasana Mansion tampak sangat sepi. Dia bergerak menuju tangga dengan langkah yang susah payah. Tak berapa lama, akhirnya dia tiba di lantai atas. Sesekali, Stefan membuka lebar matanya sambil menggelengkan kepala, berusaha menghalau rasa pusing yang membuat penglihatannya buram. ‘Di mana kamarku?’ batinnya, dengan langkah sempoyongan. Lalu, dia berhenti di depan sebuah pintu kamar yang diyakini adalah kamarnya. Stefan mengangkat tangan, menggenggam tuas pintu tersebut, lalu ditekannya pelan sambil mendorong hingga terbuka lebar. Dengan napas terengah-engah, Stefan berdiri di ambang pintu, menatap jauh ke dalam kamar yang memiliki pencahayaan remang-remang. Dahinya mengernyit. Dalam alam bawah sadarnya, dia menyadari bahwa kamar ini bukan kamarnya, tetapi kakinya tetap melangkah masuk semakin jauh setelah menutup pintu dan menguncinya. “Sein…?” gumamnya saat matanya memandang sosok yang terlelap nyenyak di atas ranjang berukuran king size itu. Dadanya berdebar, tampak naik turun akibat deru napas yang memburu, seiring dengan bayangan wanita itu berciuman dengan Kai berseliweran dalam benaknya. Berdiri lemah dalam kondisi di bawah pengaruh alkohol, Stefan mengepalkan tangan yang menggantung di sisi tubuhnya. Semakin dia ingin menghalau bayangan itu, semakin jelas wajah Sein yang tengah menikmati sentuhan Kai. “Kau … kau sialan, Sein!” geramnya, menahan emosi. Detik berikutnya, tanpa disangka-sangka, Stefan bergerak maju semakin dekat ke ranjang. Dengan kasar, dia menarik selimut yang menutupi tubuh Sein dan membuangnya ke lantai. Stefan naik ke tempat tidur, menyentak tubuh Sein yang berbaring miring sehingga menjadi terlentang. Dia mengungkung wanita itu, mengawasi wajahnya yang masih terpejam. “S-Stefan…” suara Sein terdengar lirih, seolah terbangun dari mimpinya yang indah. Namun, detik berikutnya, matanya melotot; kaget menemukan Stefan yang mengungkung tubuhnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD