Bab 4: Sikap Dingin Sein

1833 Words
*** Setelah diusir oleh Sein, Stefan langsung masuk ke dalam kamarnya yang terletak tepat di samping kamar wanita itu. Ia tak henti-hentinya membuang napas kasar, mondar-mandir tanpa arah di dalam kamarnya. Sesekali, pria tampan itu mengacak-acak rambutnya, menandakan betapa dia sangat pusing dan frustasi. Pikirannya dipenuhi oleh sosok Sein. Setiap hari, hubungan wanita itu dengan Kai semakin terasa intim, dan semakin membuatnya khawatir bahwa Sein akan benar-benar bersama pria tersebut. Kai dikenal baik oleh Leon dan keluarganya, jelas memiliki latar belakang yang terhormat. Itu sebabnya Leon setuju putrinya menjalin hubungan dengan Kai. Di sisi lain, Stefan merasa tidak rela. Sejak awal, ia memiliki perasaan yang lebih dalam terhadap Sein. Ia tidak lagi menatap wanita itu sebagai seorang adik yang seharusnya dilindungi, melainkan sebagai seorang wanita dewasa yang ia cintai. Namun, Stefan sadar bahwa Leon tidak setuju dengan perasaannya terhadap Sein. Sejak lama, pria yang merupakan Ayah angkatnya itu pernah memberikan peringatan. “Jika kamu benar-benar menghargai aku sebagai Ayahmu, maka ubahlah cara pandangmu terhadap Sein. Anggap dia seperti adik kandungmu, dan… hapus perasaan yang kau miliki untuknya. Lupakan dia dan carilah wanita lain. Belajarlah untuk mencintai wanita lain karena aku yakin, seiring berjalannya waktu, kau pasti bisa melupakan Sein.” Begitulah bunyi kalimat yang disampaikan oleh Leon pada malam pesta ulang tahun Sein yang ke-18. Dan itu, Stefan mulai berubah; ia menjadi lebih dingin dari biasanya kepada Sein. Perubahan sikapnya ini membuat wanita itu kecewa dan sakit hati. Sein berpikir bahwa Stefan tidak lagi menyayanginya. Ia mengira bahwa perubahan sikap Stefan disebabkan oleh kedekatan pria itu dengan wanita lain bernama Taylor. Tanpa dia ketahui bahwa semua perubahan yang terjadi pada Stefan karena Ayahnya sendiri. Taylor adalah putri salah satu kolega bisnis Leon yang sudah sejak lama tertarik pada Stefan. Suatu hari, Ayah Taylor berbicara langsung kepada Leon mengenai ketertarikan putrinya itu terhadap Stefan. Awalnya, Stefan tidak berniat menjalin hubungan dengan siapapun setelah Leon meminta agar ia menghapus perasaannya terhadap Sein. Namun, ketika Leon meminta Stefan untuk berkenalan lebih dekat dengan Taylor, ia pun dengan berat hati menyanggupi. “Kalau kamu menolak berkenalan dengan Taylor, itu artinya kamu tidak benar-benar menghapus perasaanmu terhadap Sein, Stefan,” kata Leon waktu itu. Ucapan pria paruh baya itu bagaikan beban berat bagi Stefan. Sehingga, mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus menjalani hubungan dengan Taylor sebagai bukti kepada Leon bahwa ia tidak menyukai Sein lagi. Menjadi Stefan tidaklah mudah. Ia terjebak dalam posisi yang sulit. Demi keselamatan wanita yang dicintainya, ia rela menjauh, melupakan, bahkan dibenci oleh Sein Fransiska Sanders. Menit berlalu... Sejak beberapa menit yang lalu, Stefan duduk termenung di sisi ranjang. Ia menegakkan tubuh, menghembuskan napas dengan kasar, lalu berdiri. Sebelum melangkah menuju balkon, ia mengambil rokok dan pemantik dari dalam laci nakas samping ranjang. Kini, ia berdiri di balkon sambil menikmati rokoknya, menghisap batang kecil tersebut berulang kali hingga menciptakan asap yang mengepul di udara. Drrttt... Tiba-tiba, ponsel di saku celananya berdering. Stefan segera merogoh benda pipih itu dan mengangkatnya ke depan wajahnya. Taylor is calling... Nama sang kekasih tertera di layar, tetapi Stefan tidak langsung menjawab panggilan tersebut. Sejenak, ia memaku pandangan, seolah-olah menimbang apakah ia harus menjawab atau mengabaikannya. Panggilan pertama telah berakhir, dan Stefan berpikir bahwa Taylor tidak akan menghubunginya lagi. Namun, ia salah. Detik berikutnya, ponselnya kembali berdering. Menghela napas pelan, mau tidak mau, Stefan terpaksa menjawab panggilan telepon dari kekasihnya itu. “Halo…” sapanya setelah panggilan terhubung, ponsel menempel di telinga kanannya. “Sayang, kamu lagi di mana sekarang? Tadi aku ke rumahmu, kata penjaga di sana kamu tidak pulang,” tanya Taylor di ujung telepon. “Ya, sekarang aku di Mansion,” jawab Stefan seadanya. “Kamu menginap di sana?” Stefan menghela napas sejenak sebelum menjawab singkat, “Ya.” “Tumben?” gumam Taylor. “Tumben kenapa? Bukankah Mansion ini adalah kediaman orang tuaku? Lantas, apa yang menurutmu aneh?” tanya Stefan dengan nada sarkastis, meski tetap rendah. “Ah, tidak. Maksudku… tumben saja. Biasanya kamu selalu di rumah. Aku pikir di Mansion mungkin ada acara atau lainnya,” balas Taylor dengan nada agak berbeda. Sepertinya wanita itu gugup. Entah apa yang membuatnya seperti itu. “Tidak ada acara apa-apa. Aku hanya menginap malam ini,” jelas Stefan. Ia jeda sejenak, kemudian melanjutkan, “Mengapa belum tidur?” “Aku baru selesai bekerja. Sisa dari kantor aku sengaja bawa pulang karena aku malas lembur di sana,” jawab Taylor. “Oh iya, besok kita bisa makan siang bersama? Aku saja yang datang ke kantormu, tidak apa-apa,” kata Taylor dengan antusias. “Boleh. Tapi kita lihat besok, di kantor atau di luar,” balas Stefan. “Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa besok, sayang. I love you!” ucap Taylor dengan penuh semangat. “Ya, terima kasih,” sahut Stefan, sebelum menjauhkan ponsel dari telinga dan memutuskan panggilan. Setiap kali Taylor menyatakan perasaannya padanya, balasan Stefan selalu sama: "terima kasih." Ia tidak pernah membalas ungkapan cinta wanita itu dengan kalimat "I love you too" atau sejenisnya. Sejenak, Stefan melirik ke arah balkon kamar Sein sebelum ia menjauh dan masuk ke dalam kamar. Setelah menutup pintu balkon dengan rapat, Stefan menuju kamar mandi untuk membersihkan wajah dan menggosok gigi. Setelah selesai, ia melangkah menuju ranjang. Dengan tubuh lelah, ia merebahkan diri di kasur yang empuk. Dalam posisi terlentang, Stefan berusaha memejamkan mata di tengah perasaan yang berkecamuk. *** Esok harinya… Pagi-pagi, Sein sudah bangun. Seperti biasa, wanita cantik itu langsung menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhnya. Setelah selesai, ia segera bersiap-siap untuk berangkat kerja. Di usia 23 tahun, Sein menjabat sebagai Marketing Coordinator di Sanders Corporation. Selain tanggung jawabnya di perusahaan, ia juga sedang menempuh pendidikan S2 di bidang Manajemen Bisnis di universitas ternama. Sein dengan cermat membagi waktunya antara pekerjaan dan studi, berusaha menerapkan pengetahuan yang diperolehnya dari kuliah ke dalam strategi pemasaran yang dikembangkan di perusahaan. Keterlibatannya dalam dunia bisnis sejak usia muda, ditambah pendidikan lanjutan yang dijalaninya, semakin memotivasi Sein untuk membawa inovasi dan pertumbuhan bagi perusahaan keluarganya. Keseharian Sein tampak sangat sibuk dan padat. Dari hari Senin hingga Jumat, ia bekerja di kantor sebagai Marketing Coordinator. Setiap pagi, Sein tiba di kantor sekitar pukul 08:00 dan segera menyelesaikan berbagai tugas, seperti merencanakan kampanye pemasaran, berkoordinasi dengan tim lain, dan melakukan riset pasar. Setelah jam kerja, Sein sering meluangkan waktu untuk belajar atau menyelesaikan tugas kuliah. Pada hari Sabtu dan Minggu, ia fokus pada perkuliahannya, mengikuti kelas dan mengerjakan proyek-proyek yang diberikan oleh dosennya. Setelah menghabiskan waktu kurang dari 30 menit, Sein kini tampil dengan outfit yang seksi namun tetap profesional untuk pergi ke kantor. Ia mengenakan blus hitam dengan potongan V-neck yang menonjolkan lehernya, memberikan sentuhan feminin yang elegan. Sebagai bawahan, Sein memilih rok pensil berwarna abu-abu yang pas di tubuhnya, menampilkan siluetnya dengan anggun. Di kakinya, ia mengenakan sepatu hak tinggi berwarna hitam yang menambah kesan seksi dan percaya diri. Rambutnya tergerai, memberikan kesan stylish yang chic. Setelah mengambil tas branded-nya yang tersimpan di atas meja, Sein segera keluar dari kamar menuju lantai dasar untuk sarapan bersama keluarganya. Ceklek! Ketika Sein membuka pintu kamar, pada saat yang bersamaan, Stefan keluar dari kamarnya. Sejenak, mereka saling bertatap muka, dengan Sein menatap Stefan tanpa ekspresi. Berbeda dengan Stefan yang terpukau oleh kecantikan sang adik angkatnya. Bagaimanapun penampilan Sein, di mata Stefan, dia tetap terlihat seksi dan… menggoda. Tepatnya, menggoda iman. Tidak ada sapaan selamat pagi dari Sein untuk Stefan. Wanita itu memalingkan wajahnya dengan angkuh dan melanjutkan langkahnya menuju tangga. Sementara itu, Stefan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Ia kemudian melangkah mengikuti Sein dari belakang, memperhatikan tubuh molek itu dengan intens. Tubuh ramping dan pinggulnya yang terbentuk sempurna membuat Stefan tak bisa berpaling. Matanya turun, bertemu dengan kaki jenjang Sein yang tampak menggoda. Sekali lagi, Stefan membuang napas kasar. Semakin lama, ia merasa semakin sesak napas. Tidak tahan dengan pemandangan indah yang seolah membuatnya terbakar, dan inilah adalah salah satu alasan mengapa Stefan memilih tinggal terpisah dari keluarga Sanders. Sein adalah ujian terbesarnya. Ia takut gelap mata dan tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal intim terhadap wanita itu. Sebab, di matanya, Sein terlalu sempurna dan… menggoda. Tiba di lantai dasar, mereka menuju ruang makan. Di sana, keluarga sudah duduk di tempat masing-masing. Nick dan Sarah, Leon dan Maureen, serta si bungsu yang tampan dan mempesona, Glenn Sanders, adik Sein. “Selamat pagi semuanya…” sapa Sein dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya, menatap mereka bergantian dengan wajah ceria. “Pagi sayang…” balas mereka dengan kompak, kecuali Glenn. Seperti biasa, pemuda itu hanya fokus dengan sarapannya. Sein menuju tempat duduk kakek dan neneknya, memberikan kecupan sayang seperti biasa. Setelah itu, ia menghampiri kedua orang tuanya untuk melakukan hal serupa. Di belakang Sein, Stefan juga melakukan hal yang sama, menyapa keluarganya dengan hangat, memeluk, dan mengecup penuh kasih sayang di kepala neneknya, Sarah. Setelah itu, ia duduk di kursi yang posisinya saling berhadapan dengan Sein. “Semalam pulang jam berapa sayang?” tanya Sarah kepada cucu perempuannya. Sein melirik sebentar pada sang nenek, lalu mengulas senyum. “Sekitar jam 11 atau 12 sepertinya, Grandma. Aku lupa,” ia terkekeh pelan tanpa suara. “Aku pulang bersama Stefan semalam,” imbuhnya, tanpa melirik sedikitpun pada pria itu. Sarah mengangguk pelan dengan senyum sebagai tanggapan. “Sayang, mau sarapan apa?” tanya Maureen pada putra angkatnya, bersiap melayani. “Aku buatkan sendiri saja, Mom. Terima kasih,” jawab Stefan. Tidak lupa, senyum penuh kasih ia tujukan untuk Maureen, wanita yang menurutnya sangat baik dan penyayang, terutama pada dirinya. “Glenn, tolong ambilkan selai kacang,” pinta Stefan. “Yang ini?” tanya Glenn sambil menunjuk. Ada dua macam selai kacang di sana. “Ya,” Stefan menjawab. “Thanks!” ucapnya. Glenn mengangguk santai. “Kuliah hari ini?” tanya Stefan pada Glenn sambil mengoleskan selai di atas rotinya. “Hem, tapi aku masuk siang,” jawab Glenn seraya melirik sebentar pada Stefan. “Kalau besok bagaimana? Jadwal di kampus padat?” tanya Stefan lagi. “Besok?” Glenn tampak berpikir, lalu melanjutkan, “Sepertinya tidak. Kenapa?” “Aku butuh bantuanmu besok. Aku tunggu di kantor. Kalau bisa datang pagi. Bagaimana?” tanya Stefan. Glenn mengangguk pelan. “Oke,” jawabnya dengan singkat. Keduanya terlihat akrab, saling menyayangi layaknya kakak dan adik kandung, membuat Maureen dan Leon selalu bahagia melihat kedekatan mereka. Berbeda ketika Stefan berinteraksi dengan Sein; wanita itu selalu bersikap acuh pada Stefan. “Sein, Stefan… jangan lupa besok malam kalian wakilkan Dad,” ujar Leon seraya menatap kedua anaknya itu. Besok malam, salah satu kolega bisnis Leon merayakan pesta, namun Leon dan istrinya tidak dapat hadir karena ada acara lain. “Ya, aku tidak lupa, Dad,” jawab Sein. “Besok aku pergi bersama Kai. Kebetulan dia juga hadir di pesta itu. Bolehkan?” tanya Sein seraya menatap sang Ayah. Leon tersenyum lembut. “Boleh, sayang,” jawabnya, melirik sebentar ke arah Stefan yang tampak tenang, fokus pada sarapannya tanpa menunjukkan reaksi apapun. Suasana hangat di meja makan seolah menutupi ketegangan yang tersimpan di antara Sein dan Stefan, meskipun keduanya berada dalam satu ruang yang sama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD